Opini

Opini

Opini

Apr 29, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Mewujudkan Manusia Spiritual (Bagian 2)

Oleh : Eko Harianto*

Ketiga adalah  ‘Aql (Akal)

Menurut para sufi, lafaz ‘aql (akal) adalah masdar (kata asal) yang dalam Al-Qur’an digunakan tidak mutlak. Dengan demikian, kata ‘aql dalam Al-Qur’an menunjukkan makna berpikir dalam diri manusia.

Akal merupakan bagian dari sifat spiritual manusia, walaupun masih banyak ilmuwan yang mempertentangkan definisi akal dan posisinya dalam merespon sesuatu sehingga permasalahannya menjadi panjang. Mayoritas ahli bahasa dan orang yang mengetahui sedikit seluk-beluk bahasa berpendapat bahwa intelegensi adalah akal. Padahal di antara keduanya ada perbedaan. Perbedaan antara akal dan intelegensi adalah sesuatu yang tampak jelas, sebab Anda –hampir pasti– memandang bahwa dua orang yang berakal –kekuatan dan cahaya akalnya– tidaklah sama.

Kata ‘aql (akal) mempunyai arti yang bermacam-macam, namun yang berhubungan dengan bahasan di sini ialah:

  • Akal yang berarti pengetahuan tentang hakikat segala keadaan, sehingga akal itu ibarat sifat ilmu yang tempatnya di dalam hati.
  • Akal yang berarti menangkap dan mendapatkan segala ilmu, sehingga akal di sini adalah hati nurani.

Kita mengetahui bahwa setiap manusia yang berilmu mempunyai wujud yang berdiri sendiri, dan ilmu itu suatu sifat yang bertempat didalamnya, sedangkan sifat itu bukan yang disifati. Perkataan “akal” kadang-kadang ditujukan kepada orang yang berilmu, dan kadang-kadang juga berarti tempat pengetahuan yang mengetahui.

Sementara itu, akal juga dipahami sebagai ism musytarak (kata benda beragam makna) yang digunakan untuk empat makna. Masing-masing makna menunjukkan dan mengarah kepada makna akal, yaitu:

  • Sifat yang membedakan manusia dengan hewan-hewan lainnya. Sifat tersebut adalah sarana yang dipakai manusia untuk mengetahui pengetahuan teoritis dan menata aktivitas nalar. Makna inilah yang dimaksud Al-Harits al-Muhasibi ketika mendefinisikan akal: “Gharizah (naluri) dipersiapkan untuk merespon pengetahuan-pengetahuan teoritis dan seolah-olah seperti cahaya yang diletakkan dalam hati untuk mengetahui berbagai perkara. Orang yang mengingkari akal dalam makna ini –alat respon pengetahuan-pengetahuan teoritis– dan menyatakan bahwa akal hanya wahana pengetahuan-pengetahuan dharuri (aksioma) berarti telah menyimpang dari kebenaran.
  • Pengetahuan yang muncul secara aktual dalam diri manusia ketika menginjak umur tamyiz, sehingga dia dapat membedakan mana yang jaiz dan mana yang mustahil. Contohnya adalah mengetahui bahwa dua lebih besar daripada satu (2 > 1). Pengetahuan ini tampak secara aktual dana nama akal pun semakin jelas. Orang yang rusak pemikirannya menolak gharizah Ada sebuah pernyataan, “Tidak ada (pengetahuan) yang wujud secara aktual, kecuali pengetahuan-pengetahuan ini.”
  • Pengetahuan yang diderivasi dari hasil percobaan terhadap perjalanan situasi. Orang yang hanyut dalam percobaan-percobaan dan hanyut dalam mazhab tersebut biasa dinamakan dengan ‘aqil (rasional). Orang yang tidak memiliki sifat ini dikatakan sebagai orang dungu dan bodoh. Inilah salah satu jenis pengetahuan yang disebut akal.
  • Daya untuk mengetahui akibat segala perkara dan dapat membendung syahwat yang memprovokasi dan memaksa seseorang. Orang seperti ini dikatakan sebagai orang berakal, karena maju dan menlangkah untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan analisis sebelumnya tentang akibat yang akan dihadapi, bukan karena pertimbangan syahwat. Ini adalah salah satu keistimewaan manusia yang dapat membedakan dirinya dari binatang.

Al-Kindi membedakan empat bentuk akal yang sebenarnya merupakan tahapan-tahapan proses pemahaman hal-hal yang rasional. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:

  • Akal yang selalu aktif, yaitu merupakan inti (‘illah) dari semua akal dan semua objek pemikiran (ma’qulat). Para ahli sejarah dan peneliti berbeda pendapat dalam mendefinisikan akal ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa akal ini berbeda dengan jiwa. Dan akal ini tidak lain adalah Allah SWT atau akal pertama bagi makhluk.

Sebagian yang lain berpendapat bahwa akal tersebut ada di dalam jiwa dan tidak berbeda dengan jiwa. Akal itulah yang disebut kulliyyat di dalam jiwa. Yang mengubah potensi menjadi akal aktual (akal aktif) adalah ma’qulat mujarradah (hal-hal yang dapat dicapai akal dan bersifat abstrak). Atau dengan kata lain kulliyyat itu sendiri, dan bukan eksternal yang berbeda. Kulliyyat adalah bersatunya spesies dan genus dari segala sesuatu.

Al-kindi menyebutkan dalam bukunya Al-Falsafah Al-‘Ula bahwa: “Yang mengeluarkan jiwa dari potensial menjadi aktual –maksudnya ialah kulliyyat– adalah kulliyyat itu sendiri. Sebab bersatunya kulliyyat dengan jiwa akan mengubah jiwa menjadi berakal atau dengan mengandung kulliyyat segala sesuatu. Selanjutnya, kulliyyat segala sesuatu terdapat di dalam jiwa, sehingga akan terjadi perubahan dari daya menjadi tindakan. Dialah akal perolehan atau akal aktual yang mengeluarkan jiwa dari potensi menjadi aktual…”

  • Akal potensial, yaitu kesiapan yang ada pada manusia untuk memahami hal-hal yang rasional.
  • Akal yang berubah di dalam jiwa dari potensial menjadi aktual. Ketika jiwa memahami hal-hal yang rasional dan abstrak, maka jiwa menyatu dengannya. Akhirnya, hal-hal yang rasional dan akal berubah menjadi sesuatu yang sama. Pada saat itu, akal berubah dari potensial menjadi aktual. Ketika pemahaman tentang hal-hal yang rasional terjadi, maka sesungguhnya jiwa mampu memanggilnya (dalam istilah psikologi kognitif, hal iti disebut proses recall) kapan saja –seperti daya menulis pada akal ini disebut juga dengan akal kepemilikan (akal properties) dan akal mustafad yang berarti awalnya ia bukan milik jiwa, namun kemudian menjadi miliknya.
  • Akal lahir, yaitu jika akal serius memahami hal-hal yang rasional atau mengubahnya menjadi yang lain, maka pada saat itu ia disebut akal lahir. Artinya, pemahaman akal menjadi lahir dengan sendirinya dari satu sisi dan menjadi lahir bagi orang lain di sisi yang lain.

Dengan demikian, semakin jelas bahwa akal dalam pandangan Al-Kindi merupakan suatu potensi yang terdapat di dalam jiwa dan berubah menjadi aktual karena pengaruh sesuatu yang di-akal-kan itu sendiri. Sementara itu Alexander menyebutnya sebagai akal aktif, yaitu akal yang mengubah suatu daya menjadi tindakan. Pendapat yang sama dianut oleh Al-Farabi dan para Islamolog. Sedangkan Plato menganggap proses mengingat itu sebagai cara untuk memahami  sesuatu yang rasional.

Jadi, Al-Kindi memandang sesuatu yang rasional sebagai sesuatu yang mengeluarkan akal daya dari kondisinya semula menjadi seperti sekarang atau akal aktual. Selanjutnya, ketika akal aktual digunakan, maka ia disebut akal lahir. Dan saat akal ini berada di dalam jiwa, maka ia dianggap sebagai qunyah atau malakah (bakat) atau akal yang bernama fi’il mustafad (tindakan yang diperoleh).

Karena itu, akal harus dipahami sebagai daya berpikir ruhaniah dan buka sebagai hasil kerja otak. Hal ini dapat dipahami dari keterangan Musa Asy’ari, bahwa akal sebagai daya piker ruhani merupakan daya yang dimiliki oleh nafs (jiwa). ‘Aql (akal) khusus dimiliki oleh manusia, karena makhluk selain manusia tidak diberi nafs (jiwa). Menggunakan akal berarti menggunakan kemampuan pemahaman baik dalam kaitannya dengan realitas konkret maupun dengan realitas spiritual. Realitas konkret dipahami oleh pikiran dan realitas spiritual dipahami oleh qolbu. Keduanya (pikiran dan qolbu) merupakan instrumen akal sebagai daya ruhani untuk memahami kebenaran.

Islam merupakan agama ilmu dan agama akal. Karena sebelum Islam memberikan beban kepada pengikutnya untuk menghasilkan maksud-maksud keduniaan, lebih dahulu Islam mewajibkan kepada pengikutnya agar menjadi orang yang berilmu, berakal, sehat, paham, berpikiran cemerlang, berpenghasilan yang luar biasa, berpandangan luas, dapat mendalami segala urusan sebelum mengerjakannya, dapat membandingkan sesuatu dengan berbagai perbandingan, serta agar perbuatannya sesuai dengan kebenaran, keadilan, kemaslahatanm dan kewajiban.

Jika akal tumpul dan pengetahuan yang dimiliki itu picik, maka tidak mungkin seseorang bisa mengetahui Keagungan Sang Pencipta. Bagaimana mungkin orang yang hidup dalam kebodohan dan kegelapan dapat mengetahui kebenaran dari-Nya? Bagaimana mungkin mereka dapat mengetahui kebenaran Allah yang mengatur kehidupan?

Tidak mungkin pula untuk menolak perbedaan tingkatan akal manusia. Sebab, jika tidak ada perbedaan tingkat akal, maka tidak akan muncul perbedaan manusia dalam menerima pengetahuan. Selain itu, manusia tidak mungkin terbagi menjadi manusia “telat mikir (telmi)”, yang sulit menangkap pengetahuan, kecuali bersusah payah; dan manusia cerdas yang bisa menangkap pengetahuan dengan cepat dan sedikit rumus.

Al-Hakim dan At-Tirmidzi membedakan antara akal dengan batin. Ia berkata, “Batin menerima pengetahuan secara global. Jika akal memilah-milah pengetahuan yang diberikan oleh pikiran secara global, maka ia menjadikannya per-bagian, sehingga pengetahuan tersebut terbagi-bagi secara per-kelompok. Inilah kerja akal dalam dada”.

Pengetahuan akal adalah pengetahuan analisis teoritis, dan tempatnya adalah di dalam tempurung kepala. Adapun pengetahuan batin adalah pengetahuan intuisi yang merekam segala bentuk informasi global, dan tempatnya ada dalam dada. Batin berada dalam dada, kemudian menyebar ke seluruh jasad. Sedangkan tempat akan adalah di otak dan pengaturannya melalui hati.

Dengan demikian, kegiatan akal adalah kesatuan pemikiran dan qolbu dalam memahami kebenaran. Pikiran dan qolbu adalah bagian dari akal sebagai daya ruhani yang bekerja untuk memahami kebenaran melalui kesatuan organik dalam akal. Pikiran bekerja untuk memahami alam dan manusia, sedangkan qolbu bekerja untuk mengingat kekuasaan Tuhan dan memahami tanda-tandanya, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam Sunnah Allah yang mengatur semua kehidupan makhluknya. Keduanya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Pikiran bekerja dan memahami kebenaran secara parsial dan tidak langsung dengan menggunakan analisis rasional dan bersifat fisik. Sedangkan qolbu bekerja dan memahami kebenaran secara langsung dan menyeluruh dengan ketajaman batin (intuisi) dan bersifat metafisik.

Keempat adalah Qolbu (Hati)

Qolbu merupakan daya ruhani yang dimiliki akal agar bisa digunakan untuk memahami realitas spiritual dan kebenaran metafisik. Yang dimaksud dengan qolbu adalah hati dalam pengertian non-fisik, yaitu indera perasa jiwa (nafs). Dalam non-fisik, qolbu diartikan sebagai kemampuan untuk memahami kebenaran-kebenaran yang bersifat metafisik, tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dan makna dibalik kejadian manusia dalam kehidupan di akhirat kelak.

Qolbu bukan pikiran, karena kata tersebut dalam Al-Qur’an tidak pernah dipakai dalam kaitannya dengan pemikiran. Qolbu sebagai kekuatan yang dapat memahami kebenaran metafisik merupakan bagian dari akal. Karena itu dalam Al-Qur’an, kata qolbu dalam aktivitasnya menggunakan kata kerja ya’qiluunabihaa.

Qolbu tersebut mewadahi cahaya sendiri. Sadar (dada) mewadahi cahaya amaliah dari bentuk praktek agama. Ia disebut sebagai tempat terbitnya nur Islam. Qolbu (hati) mewadahi cahaya iman. Fu’ad (hati lebih dalam) mewadahi cahaya ma’rifat, pengetahuan tentang kebenaran spiritual, sebagaimana dua cahaya (kesatuan atau tauhid dan cahaya keunikan) yang merupakan wajah Ilahi.

Itulah beberapa istilah yang erat sekali hubungannya dengan kecerdasan spiritual dalam Islam. Manusia disebut sebagai makhluk spiritual karena memang segala potensi immaterial yang spiritual ada dalam diri manusia sebagai satu sistem yang utuh. Bukan hanya selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan eksistensial untuk mencari inti dari berbagai penampakkan, tapi juga memiliki struktur eksistensial yang immaterial tersebut. Manusia dikatakan makhluk spiritual karena memiliki kesadaran untuk selalu berhubungan dengan Allah SWT, sebagai wujud pengembangan amanat yang agung (misi hidup) dari Tuhan.

Sebelum dilahirkan ke bumi, nafs manusia telah mengadakan hubungan dengan Tuhan. Peristiwa ini merupakan perjanjian antara jiwa manusia dengan Allah SWT. Pada saat itu, jiwa manusia masih berada di alam nur atau alam atsu.

Sebelum nafs diturunkan ke dunia, maka dalam kesaksian ini, qadha dan qadarnya ditetapkan terlebih dahulu dan amal-amal insan dikalungkan pada lehernya. Ketetapan-ketetapan tersebut berupa misi hidup yang harus dimanifestasikan di muka bumi. Ia merupakan amanah Allah yang telah ditetapkan sesuai dengan kehendak-Nya atas jiwa manusia. Misi hidup setiap insan bersifat unik, tidak ada yang sama antara satu dengan lainnya. Misi hidup jiwa manusia tidak mengalami perubahan, karena ketetapan Allah atas jiwa manusia merupakan fitrah yang tidak berubah, dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena qolbunya terpendam dosa.

Dalam alam nur, nafs telah diamanahi ketetapan-ketetapan Allah beserta ruh yang akan mengisi jasad. Di sini nafs berada dalam tiga kegelapan. Pertama, wajah jasad sendiri; kedua, jasad ibunya; dan ketiga, penjara alam dunia yang bersifat material. Ketika nafs dilahirkan melalui jasmani raganya ke alam dunia, nafs yang sudah terpenjara oleh tabiat-tabiat jasadnya kemudian harus bertabrakan dengan cakrawala dunia “bawah”. Karena itu, nafs yang berasal dari cahaya Ilahi (bersifat metafisika), fu’adnya cenderung menjadi senang untuk diarahkan dan diracuni oleh tabiat-tabiat dalam implikasi-implikasi hukum fisis.

Peristiwa kosmologi ini menjadi dasar potensi spiritual manusia setelah dilahirkan ke bumi. Sehingga pada dasarnya manusia memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan dengan zat immaterial yang menguasai dirinya dan akan selalu cenderung merindukan zat tersebut karena dari sanalah dia berasal. Inilah fitrah manusia sebagai suatu kecenderungan untuk ber-Tuhan dan taat serta tunduk kepada-Nya, atau mengadakan hubungan dengan zat immaterial yang menguasai hidupnya (hubungan spiritual).

Adanya perjanjian antara jiwa dengan Allah dipertegas oleh Sabda Rasulullah dalam sebuah hadisnya yang secara eksplisit menyatakan kefitrahan manusia. “Setiap manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Ketika dilahirkan, manusia dalam kondisi tidak memiliki dosa turunan. Selain itu, dia memiliki potensi dasar untuk taat kepada Allah SWT. Dengan potensi tersebut, manusia memiliki kecenderungan pada kebenaran hakiki. Hadis itu juga secara eksplisit menggunakan istilah fitrah dalam menjelaskan potensi dasar manusia.

Para ulama telah memberikan berbagai interpretasi mengenai fitrah manusia. Muzayyin menyimpulkan, bahwa fitrah manusia adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi kehidupan manusia. Salah satu fitrah manusia di antaranya adalah fitrah beragama. Dengan fitrah beragama, manusia menerima Allah sebagai Tuhannya. Dengan kata lain, manusia dari asal kejadiannya mempunyai kecenderungan beragama, sebab beragama itu sebagian dari fitrahnya.

Hakikat penciptaan manusia adalah proses mewujudkan gagasan dalam pernyataan. Penciptaan adalah suatu aktivitas yang sangat menentukan adanya eksistensi. Eksistensi Tuhan sepenuhnya melekat pada penciptaan, karenanya dalam ciptaan Tuhan termuat eksistensi diri Tuhan. Kesempurnaan dan keteraturan serta keseimbangan yang terkandung dalam ciptaan Tuhan merupakan wujud bagi kesempurnaan Tuhan. Sedangkan penciptaan manusia adalah aktivitas yang menentukan eksistensinya di dunia.

Manusia sebagai makhluk psikis mempunyai potensi ruhani seperti fitrah, hati dan akal. Potensi itu menjadikan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kedudukan tinggi dan berbeda dengan makhluk lain. Apabila manusia tidak menjalankan fungsi psikisnya, manusia tidak ubahnya seperti binatang, bahkan bisa lebih hina. Selain itu, manusia termasuk makhluk yang lalai, sering lupa terhadap tugas dan tanggungjawabnya sehingga mengakibatkan manusia terjerumus dalam penderitaan hidup. Setelah terjadi perjanjian antara manusia dengan Tuhan serta fitrah yang dibawa manusia ketika lahir, manusia diberi potensi-potensi immaterial yang menyatu dalam dirinya untuk dapat melakukan hubungan spiritual. Dengan demikian, pada hakikatnya manusia lahir sebagai makhluk spiritual yang suci dan mempunyai kecenderungan kepada kebenaran hakiki seperti yang telah diembankan dan dititahkan kepadanya.


*Mahasiswa Doktoral PPI UMY

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here