Andai Guru Cuek

Andai Guru Cuek

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Arif Jamali Muis*

MEDIAMU.COM - Akhir-akhir ini dunia pendidikan kita lagi-lagi dikagetkan dengan kasus diadilinya seorang guru honorer atas pengaduan wali siswa karena memukul anaknya. Pukulan tersebut oleh guru dianggap hukuman karena ketika diperintah untuk melaksanakan sholat siswa tersebut tidak patuh. Jauh sebelumnya sekitar bulan Agustus di Provinsi Bengkulu terjadi peristiwa guru yang diketapel matanya oleh orang tua siswa lagi-lagi karena guru tersebut menghukum sang siswa.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Sebagai seorang guru penulis pun pernah mengalami protes orang tua siswa bahkan “mengancam” akan memperkarakan ke dinas pendidikan karena ada seorang guru yang menegur siswa disebabkan berkata yang tidak sopan.

Secara naluriah ketika melihat siswanya melanggar aturan atau bertindak tidak sesuai norma kepatutan, sang guru akan menegur bahkan menghukum. Proses menghukum ini bisa jadi karena guru khilaf dan melakukan tindakan yang oleh siswa dianggap berlebihan.

Dalam konteks menghukum siswa memang guru perlu melakukan refleksi mendalam. Pola-pola lama yang mengandalkan kekerasan perlu dikoreksi. Pada batas tertentu marah dan menghukum tentu dibutuhkan, hanya saja metode dan waktu pelaksanaanya harus tepat. Dalam bahasa Kemdikbudristek ini disebut hukuman positif.

Di sisi lain, penyelesaian persoalan yang terjadi melalui jalur hukum atau membalas dengan kekerasan tentu langkah yang tidak tepat. Kejadian seperti ini jika tidak diantisipasi sejak awal akan berdampak bagi pendidikan. Karenanya, harus ada kepastian perlindungan bagi profesi guru.

Tentu kita bisa bayangkan dampak yang terjadi jika persoalan ini tak kunjung selesai. Ketidakberanian mengambil sikap karena takut dibelakang akan terancam baik fisik maupun profesinya akan menjadikan sebagian guru cuek dengan sikap yang dilakukan peserta didik. Apa jadinya pendidikan kita andai guru cuek?

Guru adalah kunci pendidikan termasuk penanaman akhlaq dan karakter peserta didik, oleh karenanya posisi guru sangat penting dan Pemerintah harus memastikan keamanan dalam menjalankan tugasnya.

Mengembangkan Ruang Dialog

Sekolah sebagai rumah kedua bagi peserta didik dan tempat berkumpulnya serta interaksi berbagai ragam karakter manusia dan kepentingan harus dikelola dengan baik agar menjadi tempat yang nyaman dalam menuntut ilmu. Oleh karananya diperlukan ruang dialog antara guru, peserta didik, dan orang tua secara humanis.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana membangun ruang dialog yang humanis tersebut?

Pertama, sekolah harus terbuka dan membangun komunikasi dengan orang tua tentang pola dan metode pembelajaran yang diterapkan di sekolah. Pada saat yang sama sekolah juga membuka diri untuk menerima saran serta kritik dari orang tua/wali siswa.

Pola komunikasi yang dibangun oleh sekolah tidak harus bersifat formal dalam bentuk pertemuan dengan orang tua. Komunikasi dapat juga dibangun dengan kunjungan wali kelas atau guru ke rumah siswa bukan hanya untuk siswa yang ada persoalan saja. Atau paling sederhana melalui pesan WA untuk mendapatkan saran dan masukan dari orang tua.

Keterbukaan ini akan memberikan kesempatan orang tua untuk menyampaikan langsung setiap persoalan yang menimpa siswa, sehingga secara cepat bisa diselesaikan tanpa harus melebar kemana - mana. 

Kedua, orang tua/wali siswa harus juga sadar bahwa pendidikan itu bukan sepenuhnya tanggung jawab sekolah, orang tua punya tanggung jawab juga terhadap pendidikan anak-anak. Dan harus juga harus disadari bahwa hubungan dengan sekolah bukanlah transaksi bisnis belaka, antara penjual jasa dengan pembeli jasa.

Dalam proses mengajar maupun mendidik tentu guru bukanlah manusia yang tanpa dosa dan salah banyak kekurangan guru dalam proses mendidik, oleh karena itu sekolah perlu mendapatkan masukan dan saran.

Jika masalahnya bukan persoalan kriminal misalkan, pelecahan seksual, maka dialog dengan sekolah untuk mencarikan pemecahan masalah adalah solusi terbaik, tanpa perlu melibatkan pihak lain. Kalau semua pihak sudah terlibat apalagi viral di media sosial tentu kenyamanan di sekolah akan terganggu, guru yang terlibat akan tertekan, dan pada batas tertentu bisa jadi bersikap cuek yang penting mengajar persoalan budi pekerti tidak disentuh. Begitupun dengan siswa juga akan tertekan karena menjadi sorotan.

Kalau sudah begini sekolah sebagai rumah kedua yang nyaman baik bagi guru maupun siswa tidak akan terwujud, akibatnya tujuan pendidikanpun terganggu.

Ketiga, pemerintah melalui Kementerian pendidikan maupun dinas pendidikan harus membuat peraturan yang mendorong terciptanya ruang dialog yang humanis, sekolah berdaya dan partisipasi masyarakatpun muncul. Disisi lain pemerintahpun harus memastikan perlindungan bagi semua guru apapun status gurunya. 

Kita berharap sekolah-sekolah kita benar-benar menjadi kawah candradimuka yang nyaman, berkualitas untuk masa depan bangsa ini. Tentu dengan tanggung jawab bersama pemerintah, sekolah dan orang tua/wali dan siswa itu sendiri.

Walahualam bishowab. 

*penulis adalah seorang guru di SMAN 5 Yogyakarta dan Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah D.I. Yogyakarta

Editor: Fatan Asshidqi

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait