Basis Teologis Permainan Sepak Bola
Dr. H. Robby Habiba Abror, S.Ag., M.Hum.
Demam sepak bola Piala Dunia 2018 yang dihelat di Rusia merebak sejak kick off pertandingan pertama antara Rusia melawan Arab Saudi yang berakhir dengan kemenangan telak tim tuan rumah Rusia dengan skor 5-0. Setiap orang yang menggandrungi sepak bola terlibat dalam aktivitas dan interaksi: perbincangan, analisis, gosip infotainment, foto, berbagi informasi, banyolan, meme, fitnah, bullying, taruhan, kemanusiaan, kejahatan dan ketuhanan. Aspek yang terakhir, yaitu ketuhanan jarang didiskusikan. Paling banter hanya diberi porsi “sudah takdirnya.” Seperti pada ujaran, “kepulangan para bintang ke negaranya masing-masing itu sudah takdirnya.”
Apakah Tuhan bermain bola? Tentu saja tidak! Tampaknya tautan hati pemirsa dan penikmat sepak bola masih belum dapat dilepaskan dari kecenderungan ideologis. Kadangkala agama menjadi basis pilihan seseorang untuk mendukung tim kesayangannya. Mohamed Salah yang bermain ciamik di Liverpool dan dipasang sebagai starter di dengan tim Mesir menjadi sorotan banyak media Islam dan Barat.
Sayangnya, Mesir harus tersingkir. Ketika tim itu tersingkir, agama tak dipermasalahkan. Saat negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Arab Saudi, Iran, dan Maroko mulai bertumbangan, harapan pada negara-negara Islam tersebut tak lagi disebut. Ujaran anekdotal bisa saja berbunyi nyaring, “Tuhan tidak suka sepak bola, buktinya semua tim dari negara-negara Islam pulang kampung lebih awal.”
Harapan yang Tersisa
Sedikit asa masih tersisa, setidaknya sebagai warga di Benua Asia dapat berharap pada tim Korea Selatan dan Jepang. Tetapi basis benua pun tak mampu memenuhi dahaga langit harapan masyarakat Asia. Kedua tim itu sempat mengagetkan dunia, setelah Korea Selatan mampu mengandaskan Tim Panser Jerman 2-0 dan Jepang berhasil lolos ke babak 16 besar, meskipun harus mengakui keunggulan Belgia 2-3. Kini, rontok sudah harapan berdasarkan kebenuaan.
Prediksi mulai mengarah ke tim-tim langganan juara seperti Jerman, Spanyol, Brazil, dan Portugal. Tetapi tahun 2018 ini tampaknya tahun sial buat semua tim hebat yang dihuni para pemain bintang yang berkelas dan termahal di dunia. Deretan pemain Real Madrid dan Barcelona tampak dominan di Tim Spanyol, Ada Neymar di Tim Brazil yang dikenal dan dibenci karena suka melakukan gaya berpura-pura kesakitan dan lebay ketika dilanggar pemain lawan; Ronaldo (Real Madrid) di barisan depan tim Portugal; Lionel Messi (Barcelona), Gonzalo Higuain (Juventus), Sergio Aquero (Manchester City), Angel Di Maria (Paris Saint Germain) di tim Argentina.
Ternyata dengan tim bertabur bintang itu tidak ada jaminan bagi tim negara tersebut untuk lolos dengan mudah. Faktanya, mereka pulang kampung lebih awal. Itu istilah yang sering dipakai, karena Piala Dunia 2018 kali ini berdekatan dengan Ramadan dan Syawal di mana di Indonesia tradisi mudik ke kampung halaman menjadi bahan obrolan sehari-hari. Meme para pemain hebat dunia pulang kampung mulai bertebaran di media social seperti “Ronaldo dan Messi mudik lebih dulu”.
Di luar Piala Dunia, masyarakat Indonesia masih dapat menghibur diri. Di tengah event Piala Dunia yang meriah dan tim-tim kesayangan yang berguguran mereka tetap dapat mengidolakan tim kesayangan sejati yang berbasis negara sendiri, Indonesia. Timnas Garuda Muda atau Tim U-19 di Piala AFF 2018 ini mampu menggulingkan lawan-lawannya. Menang atas Laos 1-0; menjungkirkan Singapura 4-0; mengandaskan Filipina 4-1; dan menekuk Vietnam 1-0.
Permainan dan Hiburan
Asa menjuarai Piala AFF seperti pernah diraih pada 2013 bisa saja terulang. Demikian pula harapan untuk dapat tampil di Piala Dunia, semoga tak lagi hanya sebatas mimpi. Meskipun kita tahu, kelak saat masuk Piala Dunia mungkin juga akan bernasib tidak sebaik Jepang dan Korsel sebagai wakil Asia atau bahkan jadi bulan-bulanan negeri-negeri Eropa dan Amerika Latin.
Kita bisa menyaksikan bagaimana Timnas U-19 ini mewakili kemajemukan berbagai latar belakang agama dan daerah, mulai Aceh sampai Papua. Indra Sjafri, salah satu pelatih yang hebat yang dimiliki oleh Indonesia, mendidik anak-anak asuhnya dengan gaya bermain pepepa (pendek-pendek-panjang) mirip gaya bermain Barcelona atau Spanyol dengan tiki-taka-nya, permainan bola-bola pendek. Sosok pria berdarah Minang (Sumatera Barat) ini sangat tenang dan piawai mengarsiteki Timnas U-19 sama persis dengan gaya bermain Timnas U-19 dulu yang dibentuknya. Ada nama Evan Dimas dari Persebaya yang pernah dipolesnya dan sekarang bermain di tim luar negeri. U-19 kali ini ada Sadil Ramdani, Witan, Saghara, Egi Maulana yang masih bermain di luar negeri.
Kekhasan pelatih Indra Sjafri adalah membongkar karakter bermain timnas PSSI yang dulu hanya bermodal ngotot, keras, lari kencang dan pamer mengocek bola. Sekarang ada kesabaran, teknik mengolah si kulit bundar, operan yang manis, ketenangan dan kemenangan. Meskipun pernah dipecat oleh PSSI, Indra Sjafri tetap ada di hati masyarakat gila bola tanah air. Ia menjadi bapak yang baik bagi anak-anak pesepak bola Indoensia. Ia contoh pribadi yang shalih. Selalu melakukan sujud syukur di atas rumput ketika timnya mencetak gol. Tradisi baik yang diikuti anak-anak asuhnya dan mulai menjadi tradisi sepak bola “Islami” di Indonesia.
Sepak bola tidak sekedar permainan dan pertandingan, karena sering melibatkan emosi dan psikis. Saat tim kebangganan meraih kemenangan maka fans ikut berjingkrak-jingkrak dan senang. Tetapi kalau timnya kalah, wajah tampak lesu dan menangis tersedu-sedu.
Sepak bola just a game. Tidak perlu terlalu serius. Membela atau memusuhi itu pilihan, bagian kategori permainan tidak lebih. Suka atau tidak suka juga permainan. Piala dunia itu juga permainan sekaligus hiburan. Jangan terlalu serius, sehingga mengubah hiburan menjadi kemelut dan membawa perasaan serba salah dan dendam. Bisa jadi penyakit dan sakit betulan.
Bagaimana dua tim yang negaranya masih terlibat konflik kepentingan ekonomi dan politik dapat berhadap-hadapan di lapangan hijau. Itulah “sandiwara”. Jika pelibatan emosi dan primordial sungguh-sungguh terjadi di lapangan, maka mereka akan saling membunuh bangsa atau agama lain. Nyatanya, sepak bola bisa menyatukan berbagai latar belakang ideologi agama dan aliran politik. Dalam sepak bola ada nilai-nilai kemanusiaan, tapi juga ada kejahatan. Tidak jarang pemain bola menghalalkan segala macam cara untuk memenangkan timnya. Slogan FIFA my game is fair play, praktiknya sarat kecurangan dan kejujuran.
Kemenangan atau kekalahan termasuk kehendak Tuhan secara takwini bisa juga hasil kerja manusia secara tasyri’i. Pada hakikatnya, manusia punya kebebasan dan kemerdekaan dalam bertindak, namun kebebasan itu tidak mutlak karena manusia terikat oleh hukum Tuhan. Kemenangan dan kekalahan itu hasil kausalitas manusia, bukan dari Tuhan. Bahwa Tuhan memberi potensi kreatif pada seseorang untuk berusaha memenangkan pertandingan tanpa pilih kasih. Itu hak Tuhan dan kewajiban manusia untuk berusaha maksimal.
Sebuah tim adalah realitas atau takdir di mana qadha atau ketetapan Allah di alam azali berkorelasi dengan kasab atau usaha manusia di alam duniawi. Taqdir mubram tidak bisa diubah karena itu otoritas Tuhan, sedangkan takdir muallaq bisa diubah dengan gerak potensial manusia. Tugas pemain bola untuk tampil sebaik mungkin. Kejujuran dan kekuatan tim lebih bermakna daripada mitologi dewi fortuna.
Dr. H. Robby Habiba Abror, S.Ag., M.Hum., Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (MPI PWM DIY); Kaprodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, Rubrik “Wawasan”, Edisi 1-15 Agustus 2018, halaman 42-43.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow