Opini

Opini

Opini

Apr 27, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Ketahui Tanda Hati yang Mati

Oleh : Muhammad Fajrul Falaq, Tim Redaksi Mediamu.com

MEDIAMU.COM - Hati sebagai unsur vital yang sangat menentukan kualitas baik buruknya karakter seseorang bisa hidup bahkan bisa mati. Allah SWT menghimbau dalam Firmannya, “Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit (hati yang sakit) dan yang mati hatinya.” (QS al-Hajj: 53).

Imam Fath al-Mushili sebagaimana dinukil Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin berkata di hadapan muridnya, “Bukankah akan mati jika ada orang sakit yang tidak mendapatkan makan, minum, dan obat? Para murid beliau pun menjawab, “Iya benar, akan mati.” “Begitu pula hati.”

Tentu saja matinya hati tidak seperti matinya jasad. Hati mati tak kasat mata karena bersifat maknawi. Maka, jangan heran jika seseorang terlihat sehat dan berbadan kuat, tapi hatinya sekarat. Fisiknya hidup namun psikisnya redup. Lalu pertanyaannya, apa indikasi hati yang mati?

Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, seorang ulama sufi dalam karya magnum opusnya, kitab al-Hikam, menerangkan, “Di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas ketaatan yang engkau lewatkan dan tidak adanya perasaan menyesal atas kesalahan yang engkau lakukan.”

Hal ini relevan dengan hadis Nabi ketika menjelaskan salah satu tanda orang beriman, “Barang siapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman.” (HR Tirmizi).

Setidaknya ada dua indikasi redupnya mati, Pertama, tidak ada rasa sedih atas ketaatan yang terlewatkan. Fitrah manusia adalah melakukan ketaatan untuk mencapai kebahagiaan. Ketika ketaatan ini ditinggalkan, sesungguhnya telah menyalahi fitrah atau nuraninya. Sehingga, hati yang hidup akan bersedih jika tidak melakukan amalan baik.

Sebaliknya, fungsi hati menjadi mati manakala sudah tidak ada lagi rasa duka terhadap tertinggalnya ketaatan yang menjadi fitrah hidupnya. Maka, menjadi hal biasa saat shalat telat atau bahkan terlewat. Tenang saja ketika tak puasa sunah. Lumrah-lumrah saja ketika tak sedekah atau umrah, meski berkelebihan harta dan rupiah.

Padahal para sahabat Rasulullah SAW selalu merasa amat berduka saat ibadah terlewat. Lihatlah, saat Umar bin Khattab tertinggal shalat Ashar berjamaah karena mengurusi kebun kurma miliknya, apa yang kemudian ia lakukan untuk menebus kesedihannya? Umar al-Faruq kemudian menyedekahkan kebunnya kepada fakir miskin (Kitab Anisul Mu’minin).

Kedua, tidak ada rasa penyesalan saat kesalahan dilakonkan. Maksiat terasa nikmat. Dosa demi dosa yang membuat hati hitam dan akhirnya mati.

Imam Tirmizi meriwayatkan hadis Nabi dari Abu Hurairah ra, “Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristighfar dan bertobat, niscaya noda itu akan dihapus. Tapi jika dia kembali berbuat dosa, niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah penutup hatinya yang difirmankan Allah, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka.” (QS al-Muthaffifin: 4).

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here