Gaya Hidup Pemimpin Jadul

Gaya Hidup Pemimpin Jadul

Smallest Font
Largest Font

Oleh : M. Afnan Hadikusumo

Jika melihat foto di bawah, tampak tiga orang sosok founding fathers negara Indonesia, yang saat itu sedang berada di negeri Sakura atas undangan Kaisar Jepang Tenoheika, untuk membentuk sebuah pemerintahan di Indonesia.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Mereka itu adalah Ir Soekarno (mantan Ketua Majelis Dikdasmen Muhammadiyah Wilayah Bengkulu), Mr. Moehammad Hatta (kelahiran Sumatera Barat), dan Ki Bagoes Hadikoesoemo (Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah).

Istimewanya, walaupun di beberapa forum mereka kadang terjadi perbedaan, akan tetapi tiga tokoh di atas mempunyai beberapa kesamaan dalam gaya hidup.

POLA HIDUP SEDERHANA

Lihatlah Bung Karno. Ketika baru selesai dilantik sebagai presiden, dia merayakannya hanya dengan 50 tusuk sate ayam.

“Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta pengangkatanku sebagai kepala negara,” kenang Bung Karno dalam buku otobiografi: “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.

Baju yang dikenakan Bung Karno, yang kelihatan keren-keren itu, kainnya rata-rata pemberian kawannya dan mayoritas dijahit sendiri oleh istrinya (tidak dibeli di mall atau butik).

Pernah suatu hari, Bung Karno mendapat kiriman pakaian bekas korps tentara wanita Australia. Pakaian itu kemudian dipermak sendiri dan jadilah pakaian seorang presiden.

Tidak kalah sederhananya adalah Bung Hatta. Ketika pada November 1945, Bung Hatta menikahi Rahmi Rachim, maskawinnya adalah sebuah buku yang berjudul “Alam Pikiran Yunani” yang ditulis oleh Bung Hatta sendiri saat dibuang di Digul pada tahun 1934.

Mungkin, kalau anak jaman millennial meniru bung Hatta, bakal ditolak oleh calon mertua.

Pernah, suatu saat beliau dihardik oleh kusir bendi hanya karena tawar-menawar harga yang tak kunjung mencapai kata sepakat. “Kalau tak punya uang, jangan tanya-tanya. Tak usah naik bendi, kamu jalan kaki saja ke rumah,” kata kusir itu setengah berteriak kepada Bung Hatta.

Di lain waktu, Bung Hatta punya keinginan besar punya sepatu merek Bally. Namun, uang di kantongnya tidak cukup.

Tak mau mimpinya menguap, guntingan iklan sepatu Bally diselipkan di buku hariannya, sembari menabung. Sayang, hingga akhir hayatnya, uang tabungan Bung Hatta tidak pernah cukup untuk membeli sepatu impiannya itu.

Pun begitu dengan Ki Bagoes hadikoesoemo. Semasa hidup, beliau mengedepankan prinsip zuhud atau menghindari keduniawian.

Menurut Hamka, “Pribadinya adalah menyerupai sahabat Nabi Abu Dzar. Suka akan kesederhanaan. Dan jemu akan hidup bermewah-mewah.”

Setiap rapat BPUPKI di Jakarta, Ki Bagoes mengunakan biaya sendiri.

Bekal yang dibawa hanya batik yang dijualnya di jalan untuk biaya perjalanan dan rapat.

Baginya, pemimpin rakyat ialah hidup secara kerakyatan. Karena dia bukan “abdi dalem” atau keluarga Sultan. Dan pendirian demikian tetap dipegangnya sampai akhir hayatnya.

GEMAR MEMBACA DAN MENULIS

Bung Karno dikenal sebagai pecinta buku. Membaca banyak buku membuatnya mampu memahami banyak hal, antara lain pemikiran tokoh-tokoh besar dunia.

Megawati pernah menceritakan, ayahnya gemar membaca buku secara berkesinambungan. Beliau terbiasa membaca lima buku sekaligus. Di toiletnya, ada satu meja dua laci tempat menyimpan buku-buku yang sedang ia baca.

Selain membaca, Bung Karno juga senang menulis, di antara karya-karyanya yang paling terkenal adalah dua jilid buku tebal berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi”. Selain itu ada buku “Mencapai Indonesia Merdeka”, “Sarinah”,  dan “Indonesia Menggugat” (imperialisme dan kapitalisme di Indonesia, pergerakan di Indonesia, Partai Nasional Indonesia).

Hatta adalah seorang penggila buku. Ia mengoleksi ribuan buku sejak ia menempuh pendidikan di negeri Belanda.

Minat literasinya luar biasa. Padahal di zamannya segalanya terbatas, Hatta tetap berlangganan beberapa koran dan majalah. Padahal ia sedang “dibuang” pemerintah kolonial Belanda di Banda Neira, kemudian dipindah ke Boven Digoel. Tak kurang dalam pembuangannya itu, Hatta selalu membawa serta buku-bukunya yang seluruhnya ada 16 peti.

Berkat kegemarannya membaca itulah, maka beliau sering menulis buku.

Menurut Sri Edi Swasono, profesor ekonomi Universitas Indonesia (UI), yang juga merupakan menantu Hatta, sedikitnya hingga tahun 1972 mertuanya telah menulis 42 buah buku. Dan itu belum termasuk tulisan-tulisan lainnya yang tersebar dalam surat kabar, brosur maupun majalah.

Adapun Ki Bagoes Hadikoesoemo, walaupun sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) — ditambah mengaji dan besar di pesantren — berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal, akhirnya ia menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat.

Ki Bagus juga sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara lain “Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin”.

Adapun karya-karyanya yang lain adalah: Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954).

Dari buku-buku karyanya tersebut tercermin komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam.

Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam.

Dunia politik di era prakemerdekaan memang unik. Karena di masa itulah muncul pemimpin yang benar-benar genuine: muncul negarawan yang bekerja dan berjuang untuk kepentingan rakyat banyak. *Penulis adalah Ketua Umum PP Tapak Suci Putera Muhammadiyah

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait