ads
Antisipasi Dalam Pola Asuh Anak

Antisipasi Dalam Pola Asuh Anak

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Eko Harianto*

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan, dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak. Pendapat tersebut merujuk pada teori Humanistik yang menitikberatkan pendidikan bertumpu pada peserta didik. Artinya anak perlu mendapat perhatian dalam membangun sistem pendidikan. Apabila anak telah menunjukkan gejala-gejala yang kurang baik, berarti mereka sudah tidak menunjukkan niat belajar yang sesungguhnya. Kalau gejala ini dibiarkan terus akan menjadi masalah di dalam mencapai keberhasilan belajarnya.

Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga.

Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua – anak sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah, 1993) menunjukan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak.

Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah.

Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah.

Menurut Arkoff, anak yang di didik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan.

Menurut Middlebrook, hukuman fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak karena: (a) menyebabkan marah dan frustasi (dan ini tidak cocok untuk belajar); (b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan yang mendorong tingkah laku agresif; (c) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu ada orangtua tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada; (d) tingkah laku agresif orangtua menjadi model bagi anak.

Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil seseorang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya (karakter atau kecerdasan emosinya). Penelitian tersebut –yang menggunakan teori PAR (Parental Acceptance-Rejection Theory)—menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima (acceptance) atau yang menolak (rejection) anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa kelak.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima adalah anak yang diberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan, dan pujian), maupun secara fisik (diberi ciuman, elusan di kepala, pelukan, dan kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang ditolak adalah anak yang mendapat perilaku agresif orang tua, baik secara verbal (kata-kata kasar, sindiran negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan hati), ataupun secara fisik (memukul, mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua dapat juga bersifat indifeerence atau neglect, yaitu sifat yang tidak mepedulikan kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat undifferentiated rejection, yaitu sifat penolakan yang tidak terlalu tegas terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai dan diterima oleh orang tua, walaupun orang tua tidak merasa demikian.

Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.

Jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik. Menurut Megawangi ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu:

  1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
  2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
  3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
  4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
  5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
  6. Tidak menanamkan “good character’ kepada anak.

Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, menurut Megawangi akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah.

  1. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.
  2. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
  3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
  4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
  5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
  6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
  7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
  8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada “peer group”nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.

Sementara itu menurut Arief Rachman bahwa pendidikan yang sukses adalah pendidikan yang mampu mengantarkan anak menjadi anak yang bertakwa, mempunyai berkepribadian matang, berilmu mutakhir, dan berprestasi, serta mempunyai rasa kebangsaan dan berwawasan global.

Beliau juga memaparkan beberapa cara dalam bentuk tabel mengenai perilaku orang tua dalam mendidik anaknya serta hasil dari cara pendidikannya. Berikut adalah tipologi orang tua dan tipe anak sebagai hasilnya.

  1. Otoriter
Perilaku Orang TuaWatak AnakJati diri anak akan menjadi
Paling TahuMerasa kurangSulit mengaktualisasikan jati diri
BerkuasaTidak berdayaTidak berprestasi
MemerintahMenurutKepedulian rendah
Selalu Benar/

Menyalahkan

Takut salahTidak peduli
EmosionalTempramenMendahulukan emosi untuk menyelesaikan masalah
MenolongMenerima sajaMudah terpengaruh
  1. Melindungi
Perilaku Orang TuaWatak AnakJati diri anak akan menjadi
MemanjakanTegantungSulit berperan dewasa
MemenangkanTerjaminBerkuasa
MembelaBerlindung pada orang tuaRentan/tidak tahan banting
  1.  Membebaskan
Perilaku Orang TuaWatak AnakJati diri anak akan menjadi
Sangat percaya pada anakMenganggap dewasaKemauan harus dituruti
Mengijinkan semua permintaanTidak terikat sistemBinal
  1.  Suri Teladan
Perilaku Orang TuaWatak AnakJati diri anak akan menjadi
Mengarahkan/ menjelaskanHormat kepada orang tuaMenjaga Nama baik Keluarga
BerdialogSenang berdiskusiMudah bersosialisasi
Memberi Pedoman (Berprinsip)Berkesadaran tujuan hidupBerprinsip
BekerjasamaMerasa diperlukanDewasa
MembimbingMemiliki tempat bertanyaMemiliki akar dalam keluarga
Mengarahkan/ menjelaskanHormat kepada orang tuaMenjaga Nama baik Keluarga

Beliau juga menerangkan bahwa di dalam keluarga terdapat 5 (lima) potensi dasar yang harus dikembangkan, yang pertama adalah :

  1. Potensi Spiritual, yaitu :
  • Mampu menghadirkan Tuhan/ keimanan dalam setiap aktifitas
  • Kegemaran berbuat untuk Allah
  • Disiplin beribadah
  • Sabar berupaya
  • Berterima kasih/bersyukur atas pemberian Tuhan kepada kita
  1. Potensi Perasaan (EQ), yaitu :
  • Mampu mengendalikan Emosi
  • Mengerti perasaan orang lain
  • Senang bekerjasama
  • Menunda kepuasan sesaat
  • Berkepribadian stabil
  1. Potensi Akal, yaitu :
  • Kemampuan berhitung
  • Kemampuan verbal
  • Kemampuan Spasial
  • Kemampuan membedakan
  • Kemampuan membuat daftar prioritas
  1. Potensi Sosial, yaitu :
  • Senang berkomunikasi
  • Senang menolong
  • Senang berteman
  • Senang membuat orang lain senang
  • Senang bekerjasama
  1. Potensi Jasmani, yaitu :
  • Sehat secara medis
  • Tahan cuaca
  • Tahan bekerja keras

Watak yang perlu dikembangkan pada anak adalah bertakwa, fleksibel, keterbukaan, ketegasan, berencana, percaya diri/mandiri, toleransi, disiplin, berani ambil resiko, orientasi masa depan, dan penyelesaian tugas.

Sebagai kesimpulan, bahwa cara sukses pendidikan anak yang benar yaitu dianalogikan sebagai segitiga sama sisi yang saling berhubungan pada tiap sisinya, dan tiap sudutnya adalah pencerminan dari siswa efektif, orang tua efektif, dan guru efektif.

Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah ia menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa seorang individu sejak sangat awal, yaitu pada masa ia masih kanak-kanak. Watak juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil diajar makan, diajar kebersihan, disiplin, diajar main dan bergaul dengan anak lain dan sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa.

Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah – nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan – nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.

Meskipun semua pihak bertanggung jawab atas pendidikan karakter calon generasi penerus bangsa (anak-anak), namun keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Untuk membentuk karakter anak keluarga harus memenuhi tiga syarat dasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Selain itu, jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya juga menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak di rumah. Kesalahan dalam pengasuhan anak di keluarga akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.

Di dalam mengasuh anak terkandung pula pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung jawab dan sebagainya. Di sini peranan orang tua sangat penting, karena secara langsung ataupun tidak orang tua melalui tindakannya akan membentuk watak anak dan menentukan sikap anak serta tindakannya di kemudian hari.

Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orang tua petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orang tua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh orang tua yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun, ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas (pola otoriter). Bermacam-macam pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk penyimpangan perilaku anak.

Kegagalan keluarga dalam melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, akan mempersulit institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) dalam upaya memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak-anak mereka dalam keluarga.

Orang tua dapat memilih pola asuh yang tepat dan ideal bagi anaknya. Orang tua yang salah menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Tentu saja penerapan orang tua diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana atau menerapkan pola asuh yang setidak-tidaknya tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang anak.


*Penulis adalah Mahasiswa S-3 PPI UMY

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait