AR Fachrudin dan Kristenisasi

AR Fachrudin dan Kristenisasi

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Nur Cholis Yuda

Suatu hari Pak AR Fachruddin didatangi mahasiswa yang kost di sekitar kali Code Yogyakarta. Mereka mengeluh karena setiap Ming­gu kampung mereka didatangi Pastur yang menyebarkan agama Kristen. Banyak anak tertarik pada kehadiran Pastur itu.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

“Pastur itu pandai sekali menarik anak-anak sehingga mereka senang mendengarkan ceramahnya. Pastur itu kadang membawa permen, buku tulis dan lainnya,” kata mereka, “Kalau begitu apa yang sudah kalian lakukan?” tanya Pak AR “Ya belum melakukan apa-apa, belum bisa,” jawab para mahasiswa.

Inilah penyakit umum di antara kita. Jika menghadapi ma­sa­lah, langkah paling awal dan paling utama dilakukan adalah me­ngeluh. Lalu meyampaikan kepada orang lain agar mengatasi ma­salahnya. Celakanya dengan menyampaikan kepada orang lain kita merasa tugas sudah selesai. Pertanyaan yang sering kita lakukan adalah “mengapa”. Mengapa Pastur itu datang? Me­ngapa anak-anak-anak tertarik? Lalu berhenti di situ. Tidak di­sambung dengan pertanyaan: “Apa”. Apa yang harus saya lakukan untukmengatasi masalah ini?

Pak AR memang lain. Mari kita perhatikan apa yang dilakukan Pak AR. “Adakah di antara kalian yang bisa menyanyi?” tanya Pak AR kepada paramahasiswa itu. “Ya, bisa kalau untuk didengar diri sendiri,” jawab mahasiswa. “Ada yang bisa main gitar, punya gitar?” tanya Pak AR. “Ya bisa,” jawab mereka. “Ada yang bisa membuat mainan dari kertas, seperti burung kertas atau kapal terbang atau kupu-kupu kertas?” tanya Pak AR. Mereka menjawab bisa. “Ada yang bisa mengajar berhitung? Bisa mendongeng? Bisa mengaji?” tanya Pak AR. “Bisa!” jawab mereka.

Pak AR lalu menetapkan langkah. “Setiap Minggu biarkan diisi Romo Pastur. Senin, kalian ajak anak-anak membuat mainan kertas. Selasa, kalian ajari berhitung. Rabu, ka­­lian ajari menyanyi sambil main gitar. Kamis, kalian ajari mengaji. Jum’at, kalian mendongeng, Sabtu, ajari bahasa, sejarah, atau terserah kalian. Saya yang memberi buku dan permen. Ambil besuk,” kata Pak AR. Program dimulai minggu depan.

Sebelum mereka pulang, Pak AR titip dua lagu untuk diajarkan kepada anak-anak. Lagu per­tama: “Topi Saya Bundar” tetapi syair­nya diubah menjadi: “Tu­han saya satu, satu Tuhan saya, kalau tidak satu, bukan Tu­han saya”. Lagu kedua: “Tuhan Allah satu. Tak berbapak ibu. Tak beranak dan tak bersekutu. Tuhan Maha Esa. Tak ada ban­ding­nya. Tak bercucu dari suatu apa. Sean­dainya Tuhan itu dua. Dunia sungguh sudah binasa.”

Setelah sebulan, para mahasiswa itu datang lagidan mela­por­kan bahwa Romo Pastur sudah tidak berkunjung lagi. “Ya, tapi ka­mu jangan berhenti. Pengajian jalan terus, dongengnya terus, ber­hitung, bahasa, sejarah jalan terus,” kata Pak AR sambil ter­se­nyum.

Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari anekdot ini. Gaya Pak AR yang selalu sejuk membuat orang tidak pernah merasa ter­sakiti. Sejuk tetapi teguh dan kreatif. Agaknya inilah gaya asli Mu­­hammadiyah. Pak AR tidak menyuruh para mahasiswa itu me­ngepalkan tinju, menghadang Romo Pastur agar tidak masukkam­pungnya. Atau melakukan demo untuk menarik perhatian. Atau melakukan tidak kekerasan lainnya. Pak AR memilih ber­saing dengan Romo Pastur secara fair.


Sumber : Buku Anekdot Tokoh- tokoh Muhammadiyah karya Nur Cholis Yuda (wakil ketua PWM Jatim)

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait