Matematika dan Kehidupan Setelah Mati
Oleh: Arif Jamali Muis*
MEDIAMU.COM - Catatan ini adalah perenungan saya, setelah hampir 1,5 bulan hati saya kroak besar. Banyak pertanyaan dalam kehidupan saya, tapi cukup Tuhan saja yang nanti menjawab.
Perenungan ini dimulai saat saya ziarah ke pemakaman Husnul Khotimah, tempat istri dan beberapa orang yang saya kenal dimakamkan. Saya sempat menghampiri dan berdoa ke beberapa makam selain makam Ibu Ahang, istri saya. Ada almarhum Kang Ashad, ayah Ahimsa, aktivis IPM yang alhamdulillah diterima beasiswa LPDP di melbourne university. Ada makam cinta sejati yang dikubur dalam 1 liang lahat, Pak Taufiq dan Ibu Tutik. Pak Taufiq adalah kakak kandung Ibu Fadiyah Suryani, kepala sekolah saya di SMAN 5 Yogyakarta. Ada pula makam ibunya Mona Atalina redaktur media online Ar Rahmah. Kemudian makam Prof. Siti Muslimah Widyastuti, mantan ketua majelis dikti PP Aisyiyah. Makam pak rofi' mantu bu Mahsunah Syakir sekaligus suami Bu Adib Sofia, dan tentu makam sang guru bangsa Buya Syafii Maarif.
Dari ziarah makam-makam tersebut, timbul pertanyaan dalam benak saya. Apa kabar mereka-mereka ini? Apa yangg sedang dilakukan? Hanya menunggu? Namun saya sadar, tentu pertanyaan saya ini tidak bakal ada jawabannya sampai saya meninggal dipanggil Allah.
Dalam perenungan, satu bagian dari ilmu matematika yang saya pelajari membenak: Dimensi.
Dalam matematika dikenal adanya noktah. Noktah adalah titik, dan itu adalah suatu hal tanpa dimensi. Dalam konteks ini nantinya kita bisa memahami teori big bang, yang muncul dari 1 titik yang tidak berdimensi dan meledak menjadi alam raya seperti sekarang ini.
Dimensi punya berbagai tingkatan. Dimensi 1, misal, secara sederhana bisa divisualiasisakan dalam bentuk garis. Ya, kehidupannya hanya ke depan dan ke belakang, tidak bisa ke samping atau ke atas. Apakah ada mahluk yg hidup di dunia dimensi 1 ini? Wallahu'alam.
Kemudian dimensi 2, yang divisualisasikan dalam matematika sebagai bangun datar. Ia bisa maju mundur kesamping tetapi tidak keatas karena tdk mempunyai tinggi. Katakan ada mahluk di dimensi ini, maka makhluk itu bisa merasakan dimensi 1. Karena sejatinya bangun datar adalah kumpulan dari garis yang sangat banyak.
Lalu dimensi 3. Ini sering kita sebut dengan bangun ruang. Ia bisa maju mundur ke samping dan ke atas. Nah, kita sekarang berada pada kehidupan di dimensi 3 ini. Ya, kita mahluk penghuni dunia dimensi 3.
Mahluk di dimensi 3 bisa merasakan dimensi 1 dan dimensi 2. Andai ada mahluk di dimensi di bawah kita maka kita pasti akan tahu kehidupan dimensi 1 dan 2.
Di atas dimensi 3 ada dimensi 4, 5, 6 dan seterusnya mungkin sampai dimensi ke "n" dan tak hingga. Dimensi-dimensi di atas, kita belum bisa memvisualisasikannya dan hanya bisa menganalisanya saja. Paling tidak itu berdasar ilmu Geometri Analitik yang dulu saya pelajari.
Mahluk yang ada di Dimensi di atas kita bisa merasakan bahkan "melihat" kita yg berada di Dimensi 3 ini.
Dalam konteks inilah saya memahami sesungguhnya peristiwa Isra' dan Mi'raj adalah perpindahan Muhammad SAW dari dimensi 3 ke dimensi 4, 5, dan seterus sampai ke dimensi ke "n" di Sidratul Muntaha. Muhammad bisa merasakan dan bahkan "melihat" dimensi dibawahnya. Dan karena itu Muhammad terpesona di Sidratul Muntaha, dan menerima perintah salat lima waktu (baca buku Agus Mustafa: Terpesona di Sidratul Muntaha). Jadi sejatinya salat kita adalah media kita menembus antar dimensi untuk menghadap Allah SWT.
Bu Ahang, Kang Ashad, Pak Taufiq, Bu Tutik, Prof Titik, Pak Rofi', Buya Syafii dan almarhum dan almarhumah yang lainya itu sekarang berada di dimensi diatas kita. Saya tak berani mengklaim ada di dimensi keberapa, tapi mereka merasakan bahkan mungkin bisa "melihat" kita yg berada di dimensi 3 ini.
Karena bisa merasakan, maka mereka akan senang dan bahagia ketika anak-anaknya mendoakan mereka. Mereka bahagia ketika amal jariyahnya terus berlanjut, mereka senang ketika ilmu yg diajarkan bermanfaat bagi orang lain, mereka bahagia kalau orang-orang membicarakan kebaikan kebaikan yg telah mereka kerjakan. Bahkan sabda Nabi, mereka senang kalau silaturahmi yg sudah dijalankan dilanjutkan oleh ahli warisnya. Ya, mereka senang karena merasakan apa yang terjadi, dan mungkin juga sedih jika melihat kita bersedih terlalu lama.
Bahkan, dalam Al-Quran disebutkan kalau saja orang yang sudah meninggal diperbolehkan kembali ke dunia dimensi 3 maka mereka akan berbuat amal sholeh walau itu hanya sesaat.
"Ya Tuhan kami, kami melihat dan mendengar maka kembalikan kami ke (dunia) niscaya kami akan berbuat kebaikan,sesungguhnya kami orang-orang yang yakin.” (Assajadah 12)
"Ya Tuhan kami, beri kami kesempatan kembali kedunia walau sesaat, niscaya kami akan memenuhi panggilan-Mu dan mengikuti perintah Rosul-Mu”. (Ibrahim ayat 44)
Nah, sekarang tugas kita yang masih berada dimensi 3 ini adalah menyiapkan diri kita untuk berpindah ke dimensi ke n, sebagaimana Muhammad disiapkan Jibril, dibersihkan hatinya untuk berpindah ke dimensi ke n menuju Sidratul Muntaha.
Kita bukan Nabi maka cara mempersiapkan diri kita adalah dengan membuat legacy kebaikan di muka bumi ini. Agar ketika kita menyusul ke dimensi "n" kita bisa tersenyum melihat warisan kebaikan-kebaikan dan amal sholeh yang kita buat.
Wallahu'alam bishowab.
*Penulis adalah Guru Matematika di SMAN 5 Yogyakarta dan Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow