ads
Ulama Mana yang Membenarkan Vaksinasi?

Ulama Mana yang Membenarkan Vaksinasi?

Smallest Font
Largest Font

Oleh: dr. H. M. Bambang Edi Susyanto, Sp.A., M.Kes.

Peserta salah satu kegiatan saya di sebuah sekolah ada yang mengajukan pertanyaan menarik: tolong tunjukkan ulama mana yang membenarkan vaksinasi?

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

Maksud pertanyaan mungkin vaksinasi Covid. Tapi baiklah saya jawab mulai dari vaksinasi secara umum. Syeh Bin Baz Mufti KSA ditanya tentang boleh tidaknya memberikan obat (vaksin) sebelum orang terkena penyakit, dan beliau menjawab: Tak mengapa…

Kita pun tahu Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung vaksinasi secara umum maupun vaksin Covid-19. Pun Muhammadiyah memberikan dukungan penuh terhadap upaya pencegahan itu. Fatwa MUI atau Muhammadiyah itu lahir dari kumpulan ulama. Kenapa masih ditanyakan ulama mana yang membenarkan vaksin?

Saya lebih memilih fatwa kolektif atau jumhur daripada fatwa perorangan. MUI, Majelis Ulama Eropa, atau Muhammadiyah adalah contoh lembaga yang mengeluarkan fatwa vaksin hasil diskusi para ulama yang ada dalam lembaga tersebut. Belum lagi fatwa dari ormas atau partai berbasis agama.

Kalaupun mau disebut nama person, maka di bagian awal saya sudah menyebut nama syeh Bin Baz. Masih banyak nama ulama yang dapat disebut tentunya. Nah, saya pun beberapa kali berada dalam satu majlis sebagai pembicara tentang vaksin bersama ulama.  

Itu sebabnya saya tulis bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang menarik. Menarik untuk ditelisik dan ditindaklanjuti, apakah itu karena ketidaktahuan atau karena kecenderungan menolak vaksinasi.

Kita, sejak dulu tahu bahwa pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Vaksinasi adalah salah satu upaya pencegahan yang sudah terbukti bermanfaat. Tentu bukan satu-satunya upaya tapi diharapkan akan bersinergi dengan upaya lain, yang sekarang akrab dikenal dengan prokes. Selebihnya adalah tawakkal.

Mengapa saya tambahi dengan tawakkal? Bukan hanya karena normatif, tapi karena ada pertanyaan berikutnya yang juga menarik: apa kalau sudah vaksin terjamin tidak kena penyakit? Apa prokes juga menjamin sehat? Penanya tampaknya perlu diingatkan tentang makna ikhtiar. Kalau penanya menghendaki kita menggunakan perspektif agama, justru penggunaan jaminan atau terjamin itu tidak tepat. Tawakkal menyertai ikhtiar, itu jawabnya.

Upaya atau ikhtiar optimal kita barengi dengan tawakkal itu porsi kita. Selebihnya kita serahkan pada porsi Allah.

Dapat ditambahkan, bahwa ketika sakit, ikhtiar kita adalah berobat. Apakah lalu kita tidak mau berobat karena tiadanya jaminan kesembuhan? Nah, vaksinasi dan disiplin prokes pun demikian.

Terkait anjuran Nabi SAW untuk tinggal di rumah jika wabah mengganas, seorang  ulama memberi komentar menarik. Jika orang sudah berusaha tinggal di rumah dan tetap terkena wabah, maka kematiannya syahid. Namun secara umum, juga terkandung makna bahwa andai orang tersebut selamat dari wabah, maka dia tetap mendapat pahala syahid.

Nah, memahami fiqh wabah itu menjadi penting, agar kita bisa menyikapi wabah dengan tepat. Jangan ada lagi di antara kita yang berkata dengan gagah “saya tidak takut Corona dan hanya takut kepada Allah”. Itu sebuah pernyataan yang didasarkan pada semangat tapi tanpa ilmu agama yang cukup.

Jumat barokah.

*Penulis adalah dokter di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait