ads
Bank Sampah Sudahkah Menjadi Solusi Sampah Plastik yang Efektif?

Bank Sampah Sudahkah Menjadi Solusi Sampah Plastik yang Efektif?

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Dwi Herdila Cahyani Putri

Sampah masih menjadi salah satu masalah yang belum tuntas ditangani. Merupakan salah satu bentuk konsekuensi adanya aktivitas manusia dan volumenya berbanding lurus dengan jumlah penduduk. Apabila tidak ditangani secara efektif dan efisien, eksistensi sampah di alam tentu akan berbalik menghancurkan kehidupan sekitarnya.

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

Menurut laporan Badan Pusat Statistik, jumlah timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 65,2 juta ton. Salah satu penyebab masih belum tuntasnya masalah sampah dikarenakan ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan hidup relatif tinggi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan sekitar 72% masyarakat Indonesia kurang peduli dengan masalah sampah. Masyarakat umumnya tidak peduli dengan sampah plastik. Hal ini berdasarkan laporan indeks “Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup” oleh Badan Pusat Statistik tahun 2018. Indonesia masuk dalam peringkat kedua setelah Cina sebagai penghasil sampah plastik terbesar di dunia dengan total sampah plastik di perairan mencapai 187,2 juta ton.

Pengelolaan sampah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 dinyatakan sebagai usaha dan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang terdiri dari dua bagian yaitu pengurangan dan penanganan sampah.

Penanganan sampah plastik yang populer selama ini adalah dengan prinsip 3R (Reuse, Reduce, Recycle). Salah satu penerapan 3R untuk pengelolaan sampah adalah melalui Bank Sampah (BS)(. Di Indonesia, berdasarkan data statistik dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tercatat sebanyak 11.395 BS tersebar di 351 kota di Indonesia.

Selain manfaat secara umum, peran BS menjadi penting dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. PP tersebut mengatur kewajiban produsen untuk melakukan kegiatan 3R. Dengan adanya BS, maka produsen dapat melakukan kerja sama dengan BS agar mengolah sampah dari produk yang dihasilkannya sesuai amanat PP tersebut.

Lantas, bukan berarti BS tidak lepas dari permasalahan. Permasalahan terkait BS adalah mengenai partisipasi masyarakat. Masyarakat yang menjadi nasabah sebagian besar berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan nilai rupiah sampah yang masih rendah dan sebagian masyarakat hanya menilai dari segi ekonomi saja, sehingga masih sedikit partisipasi masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas.

Begitupun terkait dengan harga sampah yang fluktuatif, mengikuti harga pasar. Harga ditentukan atas permintaan bahan baku dari sampah oleh perusahaan-perusahaan. Dilansir dari simba.id, kategori sampah dalam distribusi BS didominasi kategori sampah kertas yang mencapai angka 59,7%. Dengan kata lain, BS di Indonesia lebih fokus pada sampah yang bisa didaur ulang.

Oleh karena itu, pengembangan BS adalah hal yang perlu dipertimbangkan. Diperlukan adanya teknologi persampahan yang mempunyai nilai ekonomis lebih tinggi. Hal ini penting untuk menjaga kestabilan harga, juga memotivasi masyarakat dengan memberikan harga yang lebih tinggi terhadap sampahnya.

Pendistribusiannya pun bisa dikembangkan mencakup jenis sampah yang lebih luas tidak hanya sampah yang dapat didaur ulang. Karena, jika hanya sampah yang dapat didaur ulang yang didistribusikan, kemana sampah lainnya berlabuh? (*)

*Penulis adalah mahasiswa Prodi Ilmu Hukum UAD

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait