Doa dan Harapan Dosen UAD Sambut Mahasiswa Baru
Oleh: Prayudha Magriby
Mahasiswa baru Universitas Ahmad Dahlan 2018 berjumlah 7000 lebih. Namun, akan sangat egois jika saya bangga dengan angka itu kemudian mengatakan, “kampus kami sangat dipercaya”. Biarlah kebahagiaan itu saya simpan di hati sembari tersenyum kecil membayangkan wajah-wajah mahasiswa baru yang penuh semangat. Biarlah perayaan itu saya wujudkan dengan do’a bahwa kelak mereka akan menjadi agen perubahan di lingkungan mereka.
Jumlah 7000 itu menarik. Kebetulan, saya bisa mengakses data para pendaftar. Saya tidak tertarik dengan angka pendaftar puluhan ribu yang hanya menyisakan 7000 dari hasil seleksinya. Saya justeru tertarik dengan data sekolah asal dan domisili para mahasiswa tersebut. Dari sisi sekolah asal, jarang sekali ada SMA yang mendominasi jumlah pendaftar. Soal domisili, mereka juga tersebar dari ujung timur hingga barat Indonesia.
Sekolah asal 7000 mahasiswa tersebut sangat beragam. Rata-rata, tiap SMA, SMK, dan MA hanya memiliki 1 siswa yang diterima di UAD. Rekor tertinggi hanya 10 siswa dari 1 SMA yang sama. Dari pola yang demikian bisa kemudian dipahami bahwa sebaran sekolah asal mahasiswa baru UAD sangat beragam. Mereka datang bukan hanya dari sekolah di kabupaten/kota tapi dari banyak kecamatan.
Banyak orang akan mengatakan, “mahasiswa yang hebat datang dari sekolah unggulan di kabupaten/kota”. Pandangan itu barangkali benar tapi kurang tepat. Kita mesti ingat bahwa sekolah-sekolah sudah menerapkan sistem zonasi. Sehingga, dikotomi sekolah unggulan versus non-unggulan semakin tipis. Namun, buat apa membahas soal ini. Absurd. Bukankah gaya berpikir struktural lagi dikotomis semacam ini sudah “vintage” ya.
Bagi saya, semakin tersebar sekolah asal mahasiswa akan semakin memperluas wilayah gerak mereka kelak. Ketika menjadi mahasiswa UAD mereka akan sangat dianjurkan untuk aktif dalam organisasi mahasiswa baik organisasi pergerakan maupun minat dan bakat. Jika mereka kelak aktif di gerakan semisal, kemudian membawa ide-ide mereka pada adik kelasnya di SMA mereka masing-masing. Sebaran sekolah asal yang lebih luas akan membuat penyebaran gagasan tersebut juga semakin luas. Namun, jika asal mahasiswa tersebut hanya dari SMA 1 di sebuah kabupaten, sebaran gagasan tersebut tentu tidak akan lebih luas.
Yang paling menarik adalah soal domisili mahasiswa baru yang juga sangat beragam. Beberapa dari mereka berasal dari kota dan lebih banyak lagi yang berasal dari desa. Anak desa seperti saya (mulai curcol). Tarulah saya semisal membawa mereka berimajinasi soal pemberdayaan masyarakat. Mereka kemudian mengamini dan ingin mempraktikannya lewat ruang-ruang yang UAD telah rancang (KKN, PKM, Dsb). Bayangkan, mereka akan menyebar hingga pelosok terdalam Indonesia dan menjadi pejuang pemberdayaan masyarakat di tempat mereka masing-masing. Ini akan sangat indah bukan?
Pola yang banyak dipraktikan adalah menjadikan mahasiswa sebagai orang berpengaruh baik di dunia profesional maupun politik. Mahasiswa kampus A menjadi kader oraganiasai gerakan B dan setelah lulus menjadi pemimpin partai C. Pola itu kemudian menjadi klaim bahwa lulusan sebuah kampus telah menjadi agen perubahan. Itu tidak salah tapi tak selamanya benar. Banyak dari tokoh yang tercipta dengan pola itu justeru berakhir menjadi tahanan KPK.
Bagi saya, agen perubahan bukan diukur dari apa dan siapa, tetapi lebih kepada bagaimana dia berjuang bagi masyarakatnya. Semoga 7000 mahasiswa baru tersebut akan menyerap secara baik ilmu pengetahuan selama berproses di UAD. Kelak, mereka akan akan kembali ke daerahnya masing-masing dan menjadi pejuang pemberdayaan masyarakat.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow