Embun Sufi dari Maroko
Oleh: Robby H. Abror*)
Tak terasa perjalanan menyusuri gang di antara dinding kuno rumah warga Kota Fez di Maghrib (Maroko) mengantarkan kita sampai ke makam Syeikh Tijani. Ia dilahirkan di Aljazair, kemudian sejak usia 21 tahun mempelajari tasawuf dengan mengaji kitab al-Futuhat al-Makkiyah karya Ibnu ‘Arabi di Fez. Di bawah bimbingan Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Wanjali dan guru lainnya ia menjadi sufi hingga akhir hayatnya di kota yang sama. Syeikh Tijani adalah pendiri Tarekat Tijaniyah yang makamnya selalu diziarahi para pengikutnya hingga hari ini. Ia bernasab sampai ke Nabi Muhammad saw melalui putrinya, Fatimah al-Zahra. Ia pecinta al-Quran yang sudah dihapalnya sejak usia 7 tahun. Ia merindu sosok sufi besar Syeikh Abu al-Hasan al-Syadzili, yang juga punya Tarekat Syadziliyah—gurunya Ibnu Athailah al-Sakandari penulis al-Hikam.
Pergolakan di tanah kelahirannya telah mengantarkannya untuk hijrah dari Aljazair ke Maroko. Sebagaimana juga yang dialami oleh Al-Syeikh al-Akbar Ibnu ‘Arabi yang pindah ke Fez, Maroko akibat serangan pasukan Raja Alphonso VIII terhadap Dinasti Muwahhidun yang berkecamuk di Sevilla, Spanyol. Sekelumit kisah peperangan yang akhirnya dimenangkan oleh Al-Muwahhidun di Los Alarcos sehingga warga Andalusia dapat hidup tenang dan damai setidaknya sejenak tahun sesudahnya.
Hubungan Maroko dan Spanyol pada saat itu sangat akrab terjalin hingga hari ini. Tidak saja karena letak geografisnya yang memang dekat, sekira sejam perjalanan dengan kapal menyeberangi Selat Gibraltar. Kondisi ekonomi yang saling menyokong kehidupan kedua bangsa, membuat warganya berkomunikasi dengan baik. Tidak saja jalan lapang bagi terbukanya ikatan persahabatan dalam banyak fenomena akulturasi, tetapi juga tempat bagi pertukaran suasana kebatinan dan kehidupan spiritual Ibnu ‘Arabi yang sangat kondusif. Di sanalah Ibnu ‘Arabi mewasiatkan tiga ilmu istimewanya, yaitu ilmu pencerahan atas wahyu (futuh al-mukasyafah), pencerahan rasa manis dalam batin (fath al-halwa al-bathin) dan pencerahan tutur kata (futuh al-‘ibarah).
Menyebut nama Syeikh Tijani mengingatkan pada satu nama khusus Muhammad al-Tijani al-Samawi, pemuda Tunisia hafiz dan mumpuni dalam ilmu-ilmu agama yang terlibat pergolakan batin dalam mendialogkan ketegangan Sunni dan Syiah dalam perjalanan intelektualnya di masa kematangannya kemudian. Juga banyak nama lain yang dengan mudah kita temukan disandarkan pada Tarekat Tijaniyah yang pengikutnya menyebar dari Maroko, Aljazair, Tunisia dan beberapa negara lain hingga Pesantren Buntet, Cirebon dan berbagai kota lain di Indonesia.
Untuk menuntaskan rasa penasaran atas ajaran Syeikh Tijani saya membeli buku Muhammad al-Radhi Kanun al-Hasani al-Idrisi, Ahzab wa Aurad al-Qutb al-Maktum wal Khatm al-Muhammady al-Ma’lum yang dijual di toko buku kecil depan pintu masuk makam Syeikh Tijani. Ia menyebutkan amalan baik yang diwajibkan (al-aurad al-lazimah) yakni wirid istighfar, sholawat dan hailalah (kalimat tahlil) dan keutamaannya. Berbagai keutamaan sholawat dan bacaan-bacaan wirid dapat dijumpai dengan mudah dalam Majmu’ Syarif, kitab referensial umat Islam khususnya di Asia Tenggara.
Dari Fez, kami melanjutkan perjalanan ke Kota Marrakesh, melanjutkan langkah kaki kembali melewati gang-gang sempit di perumahan penduduk hingga akhirnya sampailah di makam Syeikh Jazuli—salah satu dari 7 sufi besar Maroko. Tempatnya tidak seluas dan sebersih makam Syeikh Tijani, namun tetap memiliki aura magisnya. Dijaga seorang salih yang telah lanjut usia dengan memutar tasbihnya menceritakan akhlak dan karomahnya kepada kami. Kitabnya Dalail al-Khairat berisi wirid harian dibaca banyak orang hingga hari ini.
Ilmu para wali Allah dapat diserap sebagai samudera hikmah. Zikir menjadi munajat intim kita bersama Sang Kekasih. Tenangnya hati disirami oleh kepasrahan suluk dalam mewiridkan butir-butir zikir pada Allah SWT.
Casablanca, 2019
*)Ketua MPI PWM DIY, Kaprodi AFI FUPI UIN Sunan Kalijaga
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow