Historisitas yang Melanggar Perjanjian

Historisitas yang Melanggar Perjanjian

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Afnan Hadikusumo

Hiduplah di sebuah wilayah empat orang yang bertetangga: Kang Karyo, Mat Sani, Dul Kamit, dan Cak Dikun. Ke empatnya memiliki wilayah perkebunan, yang masing-masing perkebunan itu ditandai dengan pathok-pathok yang jelas sesuai dengan perjanjian.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Di wilayah tersebut banyak sekali berkeliaran ayam hutan. Namanya juga ayam liar, mereka akan berpindah-pindah lokasi untuk mencari makanan pokok mereka.

Ayam hutan tersebut sering ditangkapi. Selain untuk memenuhi gizi keluarga, juga dijual untuk menambah income.

Kondisi ekonomi ke empat tetangga tersebut boleh dikatakan dalam taraf berkembang. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan yang sedikit agak mewah, harus berhutang kepada tetangga mereka yang lebih kaya, yang jauhnya puluhan kilometer dari wilayah tersebut, yakni Tuan Dekok.

Tuan Dekok adalah orang kaya baru (OKB) yang memiliki perkebunan sangat luas, centheng yang banyak, anaknya pun juga banyak.

Walaupun jarak rumahnya jauh, tapi karena memiliki banyak harta, maka dia sering menjadi tumpuan harapan bagi empat orang tetangga itu untuk “NGUTANG”.

Suatu saat, anak-anak Tuan Dekok ketahuan mengejar-ngejar dan menangkap ayam hutan di sekitaran kebun Kang Karyo, dimana lokasinya jauh dari wilayah Tuan Dekok. Sehingga menimbulkan protes dari Kang Karyo maupun anak-anaknya, yang menurut mereka anak-anak tuan Dekok telah melanggar garis batas wilayah, sebagaimana yang sudah diatur dalam perjanjian.

Akan tetapi protes tersebut diabaikan. Dengan alasan bahwa nenek-moyang mereka dulu ketika berburu ayam hutan itu sampai di wilayah perkebunan Kang Karyo, Mat Sani, Dul Kamit, dan Cak Dikun.

Kira-kira itulah lakon yang kini sedang dialami Indonesia dengan Tiongkok.

Walaupun Tiongkok pernah menandatangani kesepakatan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Juga disebut Konvensi Hukum Laut Internasional atau Hukum Perjanjian Laut, yakni perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III) yang berlangsung dari tahun 1973 – 1982.

Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut.

Konvensi disimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. Namun, dengan alasan historis di atas, Tiongkok merasa berhak untuk menangkap hasil laut di wilayah Indonesia.

Kembali ke kehidupan bertetangga. Hidup bertetangga antarnegara akan berjalan dengan baik jika antarnegara bisa saling menghargai kedaulatan masing-masing, dapat saling memberi dan menerima, serta menjaga martabat negara lain dan saling membantu.

Jika “historisitas” dijadikan sebagai alasan pembenar untuk memasuki wilayah negara lain, maka suku bangsa nomaden sesungguhnya yang lebih berhak untuk keluar-masuk suatu negara. Karena mereka mempunyai prinsip kekuasan wilayahnya “SELUAS KAKI MELANGKAH DAN SEJAUH MATA MEMANDANG”.

Perlu juga dipikirkan, jika persoalannya adalah perebutan ikan di laut, maka untuk menghindari keributan hendaknya setiap ikan dibekali KTP. Sehingga ikan yang ber-KTP Indonesia tidak boleh ditangkap nelayan negara lain, begitupun sebaliknya.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait