Karakteristik Muttaqin

Karakteristik Muttaqin

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Abdur Rauf*

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Dalam dunia ini, tidak ada satupun manusia yang luput dari kesalahan dan dosa. Namun yang perlu kita garis bawahi ialah bahwa manusia tidak boleh terus-menerus larut dalam kesalahan dan dosa itu. Sebab Rasulullah SAW menyampaikan lewat sabdanya, “Setiap anak cucu Adam pasti berbuat kesalahan (dosa), dan sebaik-baiknya yang berbuat kesalahan (dosa) adalah yang bertaubat.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ada sayarat-syarat yang harus dilakukan agar taubat kita diterima oleh Allah SWT, di antaranya adalah menyesali kesalahan yang telah dilakukan, berhenti dari berbuat dosa, dan memiliki tekad untuk tidak mengulangi kesalahan dan perbuatan dosa tersebut. Sebaiknya setiap kita tidak menunda waktu untuk bertaubat. Mengapa demikian? Sebab usia kita itu terbatas. Setiap saat, kematian selalu mengintai kita. Jangan sampai kematian itu datang pada saat kita dalam keadaan bergelimang dosa. Na’udzubillahi min dzalik.

Menyadari akan hal itu, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mendorong kita supaya bersegera (tidak menunda) menuju ampunan Allah SWT. Salah satunya adalah QS. Ali-Imran/ 3 ayat 133, Allah SWT berfirman:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali-Imran/ 3: 133)

Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. DR. Hamka menerangkan bahwa pada ayat di atas Allah SWT menyerukan kepada kita supaya berlomba-lomba memohon ampunan Allah SWT. Di samping itu pula, Allah SWT menyerukan kepada kita supaya berlomba-lomba dalam meraih surga-Nya dengan melakukan amal kebajikan, saling tolong-menolong antar sesama manusia, dan menaati perintah-perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, berbahagialah hidup di dunia karena diliputi rahmat Allah SWT dan kelak di akhirat tersedia surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.

Apa takwa itu? Nah, untuk mengetahui arti takwa tersebut mari kita simak dialog yang terjadi antara Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab berikut ini:

“Pernah suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab. Wahai Ubay, ‘apa itu takwa?’ Kemudian Ubay berkata, ‘pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh dengan duri?’ Lalu Umar menjawab, ‘pernah wahai Ubay?’ Kemudian Ubay meneruskan, ‘apa yang akan engkau lakukan?’ ‘Tentu saja aku akan menghindari dari duri-duri tersebut’, jawab Umar. Kemudian Ubay berkata, ‘itulah hakikat takwa’.”

Berdasarkan dialog indah yang terjadi di antara dua sahabat di atas, dapatlah kita pahami bahwa takwa pada hakikatnya adalah kehati-hatian. Kita hendaknya berhati-hati dalam hidup di dunia ini. Jangan sampai kaki kita  mengininjak duri-duri larangan Allah SWT, sebab duri-duri itulah kelak yang akan mencelakakan kita di akhirat. Dalam Ensiklopedi Al-Qur’an, Prof. Dr. M. Dawam Raharjo juga menuliskan tiga makna muttaqĩn. Pertama, orang yang berhati-hati. Kedua, orang yang menjaga diri dari perbuatan keji, dan ketiga, orang yang menepati kewajiban. Dengan demikian, secara umum dapat kita pahami -sebagaimana setiap jum’at kita sering mendengarkan wasiat takwa yang disampaikan oleh Sang Khatib lewat mimbarnya- bahwa muttaqĩn adalah orang yang taat menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.

Selanjutnya dalam QS. Ali-Imran/ 3 ayat 134, lebih spesifik lagi Allah SWT menerangkan karakteristik muttaqĩn. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

 “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali-Imran/ 3: 134)

Berdasarkan ayat di atas, secara terperinci Allah SWT menguraikan karakteristik muttaqĩn. Di antara karakteristik muttaqĩn tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, Soeka Berbagi

Orang yang suka berbagi sering disebut dermawan. Dermawan merupakan sifat murah hati terhadap sesama manusia. Memang sebaiknya setiap kita tidak hanya mementingkan kesalihan individu saja, akan tetapi hendaknya kesalihan individu itu diiringi pula dengan kesalihan sosial. Hidup manusia adalah hidup bermasyarakat. Saling tolong-menolong dan bahu-membahu di antara sesama manusia tanpa membeda-bedakan agama, suku, dan bangsa. Itulah perwujudan dari kesalihan sosial.

Siapapun kita, baik dalam keadaan lapang ataupun sempit dan kaya ataupun miskin, harus memiliki semangat memberi bukan semangat meminta. Sebab Rasululullah SAW pernah menuturkan bahwa tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Artinya adalah orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Orang kaya sebaiknya menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah SWT. Membatu orang miskin, memperhatikan keperluan anak-anak yatim, membantu biaya pendidikan untuk anak-anak yang kurang mampu, dan lain sebagainya.

Begitu pula dengan orang miskin, orang miskin juga harus memiliki semangat memberi, tidak hanya mengharapkan belas-kasihan dari orang lain. Meskipun tidak memiliki kekayaan harta, orang miskin juga bisa memberi. Misalnya, dengan menyumbangkan tenaganya untuk pembangunan masjid atau pembangunan tempat pendidikan TPA di sebuah desa. Hal lain lagi misalnya, jika ia memiliku ilmu maka ia boleh berbagi dengan ilmunya tersebut, baik mengajarkannya secara lisan maupun lewat tulisan, dan lain sebagainya.

Kesenangan berbagi merupakan suatu kemuliaan bagi kita. InsyaAllah, setiap yang kita infakkan tersebut akan mendapatkan gantinya dari Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

 “Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.” (QS. Saba’/ 34: 39)

Kedua, Soeka Menahan Amarah

Kadangkala saat dihadapkan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan atau menyinggung perasaan, kita mudah sekali meluapkan amarah. Seolah-olah, sudah hilang kesabaran dalam diri kita. Seringkali marah menjadi sebab kita kehilangan akal sehat dan bertindak di luar batas kewajaran. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengendalikan amarah. Memang sifat marah sangat manusiawi bagi kita, akan tetapi menahan amarah itu jauh lebih baik daripada meluapkannya.

Berkaitan dengan menahan amarah ini, ada satu pesan dari Rasulullah SAW yang harus kita renungi dan resapi. Rasulullah SAW menuturkan:

Bukanlah orang yang kuat yang menang dalam pergulatan, akan tetapi orang yang kuat ialah yang mampu menahan hawa nafsunya ketika marah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketiga, Soeka Memaafkan

Pemaaf merupakan suatu sifat yang senang memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan dendam. Dalam Islam, kita dianjurkan untuk bisa memaafkan kesalahan orang lain tanpa harus menunggu permintaan maaf dari orang yang bersalah. Menurut keterangan Prof. Dr. M. Quraish Shihab, tidak ditemukan satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang menganjurkan untuk meminta maaf, akan tetapi yang ada hanyalah anjuran untuk memaafkan.

Sifat pemaaf dapat mengantarkan kita kepada kemuliaan dan ketinggian derajat. Sebagaimana pernah dituturkan oleh Rasulullah SAW:

“Maukah aku ceritakan kepadamu tentang sesuatu yang membuat Allah memuliakan dan meninggikan derajatmu? Kemudian para sahabat menjawab, ‘tentu’. Rasul pun bersabda: ‘Kamu harus bersikap sabar kepada orang yang membencimu, kemudian memaafkan orang yang berbuat zalim kepadamu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan juga menghubungi orang yang telah memutuskan silaturahmi denganmu’.” (HR. Thabrani)

Keempat, Soeka Berbuat Baik

Wallahu yuhibbu al-muhsinin”. Allah SWT amat sangat cinta terhadap orang-orang yang berbuat baik. Oleh karena itu, berlomba-lombalah dalam kebaikan. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

 “Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 148)

Kapanpun, dimanapun, dan dengan siapapun, hendaklah kita selalu menebarkan kebaikan, bukan keburukan atau kejahatan. Ketahuilah bahwa orang-orang yang berbuat keburukan akan menghuni neraka dan orang-orang yang berbuat kebaikan akan menghuni surga. Sebagaimana Allah SWT menuturkan:

 “Bukan demikian! Barangsiapa berbuat keburukan dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 81-82)

Demikianlah beberapa karakter muttaqĩn. Sebagai seorang mukmin, kita mesti menghiasi diri kita dengan sifat-sifat takwa tersebut. Ingatlah bahwa di dunia ini hanyalah tempat kita mempersiapkan bekal untuk perjalanan menuju akhirat. Jangan terlena dengan gemerlapnya dunia. Jangan sampai gemerlapnya dunia ini memalingkan kita dari ketaatan kepada Allah SWT. Ketahuilah bahwa sebaik-baik bekal itu adalah bekal takwa. Allah SWT berfirman:

 “Berbekallah kamu sekalian, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal” (QS. Al-Baqarah/ 2: 197)


*Penulis adalah Alumni Fakultas Agama Islam UAD & Anggota Komunitas Literasi Janasoe

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait