Kisah si Mas dan Perlunya Sinergitas untuk Melawan Covid-19
Oleh: Heru Prasetya
Saya akan berkisah. Bercerita. Semoga ada point yang bisa diambil dari tulisan sederhana ini. Bahwa tanggal 21 Juli 2021, teman di salah WA Grup menulis pesan begini. “Ass. W.W. Mohon do’a dari Bapak dan Ibu, saat ini saya dinyatakan positif dan opname di…” Pesan itu ditulis menggunakan huruf kapital. Pada bagian … (titik-titik) dia menuliskan nama rumah sakit tempat dirawat. Saya sengaja hilangkan nama itu agar tidak menimbulkan image buruk.
Di WAG ia termasuk pendatang baru, meski sebenarnya secara usia ada di atas saya, selisih sekitar 10 tahun. Makanya saya selalu menyebut Mas. Sejak kehadiran beliau, WAG justru hidup. Banyak pesan dia sampaikan, sebanyak itu pula ia bercanda, ngemong kami-kami yang relatif lebih muda.
Dulu ketika kami tinggal di kampung yang sama, si Mas pernah menjadi Sekretaris AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah), gabungan antara Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul ‘Aisyiyah. Mengapa digabung? Ketika itu tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Jika dipisah, kajian paling dihadiri 5 (lima) orang. Tapi kalau digabung bisa sampai 50 orang. Prinsip matematikanya menjadi tidak jalan. Ternyata 5+5 tidak 10 tapi 50. Luas ranting di tempat saya dulu memang hanya seluas satu kampung, beda ranting yang sekarang luasnya se desa.
Sejak mengirim pesan itu si Mas tadi tidak pernah lagi ada kabarnya. Kehidupan WAG kembali seperti semula. Bukan pasif, tapi tidak ada guyon dan nasihat ala senior. Sampai akhirnya muncul pesan di grup tanggal 3 Agustus sekitar pukul 8.35 dari seseorang yang memfoward pesan perawat di tempat si Mas dirawat. Inti pesannya adalah bahwa si Mas masih di bangsal karena ICU masih penuh. Kondisi sewak-waktu bisa menurun, untuk itu mohon didoakan agar si Mas diberi kekuatan, kesembuhan, dan hal terbaik.
Rasanya mak jleb mendengar kabar itu. Sudah sekian hari di rumah sakit, belum bisa dipindah ke ICU karena penuh. Ini menegaskan kabar yang beredar bahwa rumah sakit sedang kewalahan menangani pasien covid. Untuk itu sebaik-baik ikhtiar adalah jangan sampai sakit yang menyebabkan harus dirawat di rumah sakit.
Doa kami kepadanya tak kunjung habis lewat chatting WhatsApp itu. Sore hari sekitar pukul 16.20 ada susulan kabar bahwa si Mas dipanggil Allah SWT. Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Pemakaman standar covid dilakukan. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu. Aamiin.
Dari jejak FB-nya, saya baru tahu bahwa si Mas sudah mengikuti vaksinasi pertama dan kedua. Dia memposting foto “saya sudah divaksin” tanggal 18 Mei 2021. Keluarganya sempat menanyakan kepada saya “sudah divaksin dua kali, kok masih bisa kena (Covid-19)?”. Karena saya bukan dokter, maka tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Kata paling panjang yang bisa saya tulis dalam chat WA itu kira-kira begini “kematian adalah hak Allah, manusia tidak bisa minta maju atau minta mundur. Sedangkan vaksinasi adalah bagian ikhtiar manusia yang diwajibkan agama. Insya Allah si Mas wafat sebagai syuhada.” Jawaban keluarga hanya ringkas “Aamiin.”
Si Mas bukan satu-satunya orang yang mengalami hal itu. Maksud saya, sudah divaksin lengkap, tapi masih terpapar. Bagi masyarakat awam ini menjadi penyebab keengganan melakukan vaksinasi. Mengapa harus vaksin kalau akhirnya juga sakit. Jawaban seperti itu sering kita dengar di lingkungan masing-masing. Jawaban maksimal yang sering saya dengar adalah “yang divaksin saja masih bisa kena apalagi yang tidak.” Sepertinya jawaban masuk akal, tapi masyarakat tidak perlu jawaban seperti itu. Kepenginnya memperoleh jawaban yang benar-benar menjawab persoalan.
Nah, menurut saya itu menjadi masalah besar. Barangkali enggannya sebagian masyarakat divaksin karena informasi yang diterima tentang vaksin tidak pernah memuaskan. Menurut dr. Agus Widyatmoko, Sp.PD, M.Sc., vaksinasi di Indonesia saat ini menyasar ke sekitar 68 juta penduduk. Untuk dosis pertama kurang lebih 40 juta penduduk, dan yang sudah sampai dosis kedua sekitar 20 juta penduduk. Jadi masih sekitar 10 persen dari target 250 juta yang harus divaksinasi. (mediamu.com tanggal 5 Agustus 2021)
Angka di atas terlalu jauh dari rata-rata vaksinasi dunia yang sudah mencapai sekitar 40 persen dari sasaran. Targetnya 7,7 milyar penduduk dunia, sudah tercapai 4,1 milyar. Untuk mencapai 80 persen masih kurang separohnya. Terjadi kesenjangan antarnegara yang memiliki kemampuan vaksinasi yang baik dengan negara yang tidak memiliki kemampuan.
Penjelasan persoalan yang menimpa si Mas, yaitu sudah divaksin tapi masih bisa kena covid, oleh dokter Agus Widyatmoko sangat bisa diterima akal masyarakat awam. Vaksin adalah sekolah bagi tentara tubuh kita agar mempunyai kemampuan menangkal lebih dini, sehingga kebal terhadap antigen, makhluk-makhluk yang tidak diinginkan, dan penyakit-penyakit yang masuk ke dalam tubuh. Atau kalaupun sakit, hanya sakit ringan. Penyakit yang hendak masuk terlebih dahulu dikalahkan lini pertahanan pertama (killer cell) yang menghasilkan antibodi melalui vaksin. Sehingga, lini pertahanan kedua tinggal membereskan sisa-sisanya yang tidak terlalu banyak.
Saya membayangkan seperti permainan sepakbola, kadang lawan bisa menerobos pertahanan pertama. Jika serangan hanya sampai disini, selesai. Beres. Sehat. Tapi jika pertahanan pertama bobol, maka serangan yang masuk jantung pertahanan utama tinggal sisa-sisanya. Mudah diantisipasi, mudah dihalau. Itu logika awam saya sebagai pecinta sepakbola.
Penjelasan sederhana seperti itu sangat diperlukan masyarakat luas. Muhammadiyah yang jaringannya mengakar sampai bawah harusnya bisa berbuat lebih banyak. Misalnya menggunakan struktur organisasi sampai tingkat ranting kemudian menggurita di tengah-tengah masyarakat. Ranting tidak berhenti di tempat, bisa menggunakan para da’i, ustadz, takmir masjid, dan tokoh masyarakat. Dititipkan melalui pengajian atau khutbah Jum’at. Disinilah perlunya koordinasi dan komunikasi seluruh pihak terkait.
Hal seperti di atas tidak hanya untuk menjelaskan perihal vaksinasi, juga perilaku hidup sehat, termasuk melaksanakan protokol kesehatan (prokes) secara ketat. Saya masih sering melihat kerumunan orang tanpa menggunakan masker, seperti hidup di era biasa. Seperti ini perlu pendekatan model “cahe dhewe” agar lebih mengena.
Jika melihat jalur struktural dan dana yang tersedia, aparat desa lebih memiliki keleluasaan berbuat. Ngendikane Pak Lurah dan aparat desa memiliki pengaruh kuat. Apalagi menurut pemberitaan republika.co.id (2 Agustus 2021), Pemda DIY segera menyalurkan dana keistimewaan (Danais) total Rp 22,6 milyar untuk mempercepat penanganan Covid-19 di level desa. Sejumlah itu diberikan kepada 392 kelurahan di DIY. Setiap desa atau kelurahan bakal mendapatkan alokasi dana antara Rp 50 juta hingga Rp 145 juta.
Andai saja ada sinergisitas antara pemerintah (dalam hal ini pemerintah desa) dengan kekuatan sipil seperti Muhammadiyah, maka upaya mengatasi Covid-19 bisa lebih terkoordinasi sehingga cepat selesai. Bagi Muhammadiyah, sinergisitas bukan soal anggaran, tapi ngepyakke bahwa Covid-19 adalah masalah bersama yang perlu penanganan bersama. Muhammadiyah sudah punya pengalaman menggalang dana secara mandiri untuk mengatasi berbagai persoalan.
Harapannya, “korban-korban” seperti si Mas tadi tidak muncul lagi. (*)
*Penulis adalah Tim Redaksi mediamu.com
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow