Menggugah Guru Menulis Karya Ilmiah
Oleh: Eko Harianto*
GURU merupakan profesi yang dinamis. Hampir semua guru mulai dari tingkat Dasar hingga Menengah Atas memiliki kemampuan menulis. Sebagian besar kegiatan guru di sekolah berorientasi pada misi pendidikan dan pengajaran di kelas, sedangkan visi dan misi ilmiah dalam bentuk tulisan dan publikasi ilmiah sering terabaikan. Hal tersebut berimplikasi pada penulisan dan publikasi karya ilmiah di kalangan guru masih memrihatinkan, termasuk di dalamnya pemakaian bahasa Indonesia ragam tulis ilmiah.
Menulis merupakan sebuah proses. Ia tidak hadir di ruang hampa, tanpa upaya untuk meraihnya. Seorang guru sesungguhnya sudah memiliki modal yang lebih dari cukup untuk menulis. Dalam keseharian, mereka sudah biasa melakukannya, baik menyusun silabus, RPP, proposal kegiatan sekolah, atau laporan kegiatan sekolah. Ada yang belum maksimal dilakukan sebagian besar guru adalah keberanian menguji nyali untuk mendedahkan gagasan-gagasan kreatif dan kritis kepada publik melalui tulisan di media cetak maupun jurnal ilmiah. Sebagian lainnya gampang runtuh nyalinya ketika tulisan yang dikirimkan selalu ditolak redaksi.
Apa yang disampaikan Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Djoko Santoso, yang mengharuskan calon Sarjana, Magister dan Doktor menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah sugguh luar biasa (Kedaulatan Rakyat, 10/2/2012). Tidak hanya bagi calon Sarjana, Magister dan Doktor saja, akan tetapi guru juga dapat dikenakan tuntutan yang sama untuk menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah. Adanya tunjangan sertifikasi seharusnya dapat memberikan implikasi bagi peningkatan kreativitas guru dalam menghasilkan karya ilmiah. Sehingga tidak ada kesan untuk diberikan secara cuma-cuma tunjangan sertifikasi tersebut. Namun, dapat diberikan dengan ada karya ilmiah ada tunjangan. Hal-hal tersebut juga dapat menjadi motivasi utama dalam menjalankan misinya pada pengembangan keilmuan dan kecintaan profesi serta kemampuannya dalam bidang yang ditekuninya.
Idealnya, setiap karya tulis yang dihasilkan guru diorientasikan untuk dipublikasikan sehingga akan menggugah guru untuk selalu berkarya. Mereka inilah yang berkepentingan untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta pemecahan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian, akan diketahui peta karya ilmiah guru yang bersangkutan. Karya tulis dan publikasi ilmiah guru dapat dijadikan tolok ukur, indikator serta barometer kualitas dan keunggulan pendidikan (sekolah) yang bersangkutan.
Alih-alih menulis, diskusi dan orasi tak lebih sekadar menyuarakan kebijakan penguasa sebagai manifestasi sikap pengabdian dan monoloyalitas terhadap atasan. Tidak berlebihan apabila aktivitas menulis makin jauh dari sentuhan perhatian seorang guru. Imbasnya, dunia pendidikan kita makin stagnan; terjebak dalam ruang hampa dan kamuflase akademik, sehingga gagal memberikan ilham bagi peserta didik menjadi generasi masa depan yang cerdas dan luhur budi.
Dengan semangat Hari Pendidikan Nasional ini para guru di Indonesia dapat menjadikan budaya menulis sebagai budaya untuk meningkatkan inovasi dan kreativitas dalam memotivasi siswa. Sehingga siswa tidak hanya mendapatkan sekedar teori dari guru, akan tetapi mendapatkan motivasi nyata dari guru yang memberikan pembelajaran di kelas. Ada kebanggaan tersendiri bagi siswa ketika melihat karya-karya yang dipelajari merupakan karya dari gurunya.
Tidak ada salahnya kita merenungkan kalimat, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer)
*Penulis Mahasiswa S3 PPI UMY
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow