Memaknai Perubahan dan Menjaga Nilai Keabadian
Oleh: Ir H Ahmad Syauqi Soeratno, MM*
Saat ini, masih banyak yang tidak menyadari bahwa dunia sudah berubah demikian cepat. Terutama, bagi mereka yang dalam kesehariannya jarang berinteraksi dengan teknologi.
Tetapi, bagi para pelaku bisnis, penggerak pendidikan, praktisi kesehatan, aktifis pariwisata, pegiat ekonomi kreatif dan beberapa sektor kegiatan yang sangat dekat dengan pemanfaatan teknologi, perubahan terasa begitu cepat.
Sementara, bagi yang lambat merespon perubahan, maka perubahan kadang terasa mengganggu dan merepotkan.
Saat ini, teknologi memungkinkan semua hal yang sepuluh bahkan dua puluh tahun lalu, tidak bisa terwujud, hari ini dapat terjadi dengan mudah.
Teknologi pula yang menjadikan sebuah pekerjaan yang dulunya begitu penting, sekarang menjadi tak berarti. Dampaknya, keahlian dan ketrampilan yang menyertai pekerjaan itu pun menjadi tidak penting lagi saat ini.
Sekarang kita berada di era disrupsi. Era ketika lifetime sebuah pekerjaan tidak lagi abadi. Yaitu, ketika berbagai aktifitas tergantikan oleh kemajuan teknologi.
Selain itu, lifecycle produk menjadi begitu pendek. Dan pengalaman maupun ketrampilan yang selama ini diagung-agungkan, menjadi tidak relevan lagi.
Dalam konteks itulah, pada Kamis, 18 Oktober 2018, saya diundang untuk berbagi gagasan dalam kuliah umum tentang membangun karakter di era Revolusi Industri 4.0, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Kalau kita memahami betul lanskap bisnis di era Industri 4.0, dengan berbagai terapan teknologinya, sungguh tema di atas bukanlah hal yang mudah untuk disampaikan.
Di saat Internet of Things (IoT) menyelimuti kita, artificial intelligent dan remote robotics di sekeliling kita, sebaran informasi berlimpah datang dengan berbagai tawaran dan godaannya. Kira-kira karakteristik sumber daya manusia (SDM) seperti apa, yang masih mampu menghadapi berbagai tantangan perubahan zaman di atas?
Pemerintah, melalui Menteri Perindustrian, telah menyampaikan semangat Making Indonesia 4.0, yang harapannya dapat menjadi guideline bagi kita dalam mengarungi samudera perubahan zaman yang dikenal sebagai Revolusi Industri 4.0.
Di situ dijelaskan berbagai bidang usaha yang akan menjadi prioritas bagi pemerintah untuk didukung dan dikembangkan. Sosialisasi telah dilakukan. Berhasil atau tidak, tentu waktu yang akan menjawab segalanya.
Dari perspektif karakter, yang lebih penting adalah menyiapkan beberapa risiko bila industri 4.0 ini benar-benar terjadi. Inequality, insecurity, communication, dan culture adalah impacts yang harus diperhatikan. Terutama culture sebagai sebuah shared values. Tata nilai yang diacu dan dipertukarkan.
Selain itu, perubahan membawa konsekuensi atas perubahan tata nilai. Pergeseran nilai menjadi hal yang tampak lazim. Masalahnya, kalau nilai mulia yang selama ini dipegang teguh, dikalahkan oleh nilai baru yang sesungguhnya merugikan. Di sinilah pentingnya keyakinan terhadap nilai kebenaran yang sesungguhnya. Termasuk nilai agama dan nilai budaya yang adiluhung yang selama ini kita pegang erat.
Dan, semua kembali kepada kesiapan diri kita. Sejauhmana kita mampu membedakan nilai, mana yang penting untuk kita pegang teguh sebagai bekal keabadian, dan nilai mana yang cukup dibiarkan lewat sebatas sebagai penanda waktu berlalunya masa?
Semoga kita semua senantiasa terjaga dalam hidayah dan lindungan-Nya.
*Penulis adalah Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow