Paradigma Inklusif Pendidikan Muhammadiyah

Paradigma Inklusif Pendidikan Muhammadiyah

Smallest Font
Largest Font

Sucipto, M.Pd. B.I. Ph.D.*)

Membincangkan Muhammadiyah dari aspek pendidikannya adalah satu bahasan yang senantiasa menarik. Keberadaan lembaga pendidikan seperti yang diusahakannya sangat besar perannya bagi pembangunan bangsa dan peradaban. Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah bersifat inklusif. Sejalan dengan yang digagas UNESCO bahwa pendidikan inklusif adalah suatu pendekatan yang mengubah struktur pendidikan dan suasana belajar lainnya untuk memenuhi kebutuhan keragaman peserta didik.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Pada mulanya fokus pendidikan inklusif adalah pada pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Konsepsi kebutuhan khusus telah didefinisikan ulang dari waktu ke waktu tidak hanya berkaitan dengan kecacatan dan fungsi kognitif saja, tetapi telah diperluas untuk mencakup jenis kelamin, status kesehatan dan gizi, bahasa, lokasi geografis, budaya, agama, status ekonomi adakah variabel yang sering dikaitkan dengan hambatan pencapaian gerakan Education for All (EFA).

Sejatinya sifat inklusif menjadi salah satu sifat yang melekat dalam Kepribadian Muhammadiyah. Pun secara historis gagasan dan praksis dari sosok K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dalam bidang pendidikan mencerminkan sifat yang inklusif.

K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan pada kita untuk terbuka dalam belajar. Suatu hari ia berpesan pada generasi muda “Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu hendaklah warga muda-mudi Muhammadiyah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan di mana dan ke mana saja. Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.” Sangat kuat pesan Kiai A. Dahlan mendorong generasi untuk terbuka (inklusif) dalam belajar namun diingatkan untuk kembali pada nilai dan cita-cita organisasi dan ajaran agama.

Pendidikan Muhammadiyah untuk semua

Melalui penelitian yang dilakukan oleh Abdul Mu’ti dalam disertasinya ditemukan fakta-fakta atas keterbukaan Pendidikan Muhammadiyah dengan mengambil sampel di tiga kabupaten yang berlokasidi luar Jawa, yakni Ende, NTT, Putussibau, Kalimantan Barat; dan Serui, Yapen Waropen, Papua. Sampling penelitian diambil di sekolah Muhammadiyah yang mayoritas siswanya beragama Kristen/Katolik. Sekolah Muhammadiyah peduli terhadap kemajemukan sosial dan budaya, terutama dalam kemajemukan agama. Pendidikan Muhammadiyah mengaktualisasikan tumbuhnya sikap saling menghargai, toleran, keterbukaan, kebersamaan dan kemauan berbagi antar siswa yang berbeda keyakinan.

Suatu ketika, Kiai Ahmad Dahlan bertanya kepada anak-anak muda perempuan Muhammadiyah, “Apakah kamu tidak malu jika auratmu dilihat kaum lelaki?” Anak-anak muda perempuan itu serentak menjawab bahwa mereka akan malu sekali jika hal itu terjadi. Kiai lalu berkata: “jika kau malu, mengapa jika kau sakit lalu pergi ke dokter laki-laki, apalagi ketika hendak melahirkan anak. Jika kau memang benar-benar malu, hendaknya kau terus belajar dan belajar dan jadilah dokter sehingga akan ada dokter perempuan untuk kaum perempuan!”

Padahal zaman itu untuk laki-laki saja belum tentu bisa mengenyam pendidikan namun Kiai Dahlan justru telah memberi lecutan kepada para perempuan. Tidak mengherankan semangat belajar yang dihembuskan oleh Kiai A. Dahlan ini terus menguat dengan hadirnya organisasi perempuan Aisyiah dengan ribuan sekolahnya mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.

Beberapa ide dan praksis pendidikan dalam Muhammadiyah di atas lebih dari cukup untuk membuktikan adanya sikap inklusif yang diterapkan. Bahkan inklusivitas telah menjadi budaya dalam gerakan persyarikatan ini. Pun jika pendidikan inklusi hanya difokuskan pada isu disabilitas maka Muhammadiyah sangat serius menyuarakan pentingnya memperhatikan para penyandang disabilitas dengan mengonsep fikih difabel.

Menurut kajian Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ada tiga nilai-nilai dasar dalam fikih difabel, yaitu: tauhid, keadilan, dan kemaslahatan. Pertama, nilai-nilai tauhid yang membawa pada keyakinan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah. Prinsip tauhid mendorong kesetaraan manusia di hadapan manusia lainnya. Baik difabel maupun bukan, semua dipandang setara sebagai makhluk ciptaan Allah. Kedua, nilai keadilan yang bermakna setiap orang harus menerima bahwa keterbatasan fisik sebagai bagian dari keragaman manusia secara umum, dan sama sekali bukan hukuman Tuhan. Yang pokok di hadapan Allah, bukanlah kesempurnaan fisik, melainkan keunggulan spiritual, amal ibadah dan perbuatan-perbuatan terpuji lainnya. Ketiga, nilai dasar kemaslahatan yang menunjukkan bahwa semua manusia memiliki status yang sama sebagai khalifah di bumi, sehingga siapapun itu berhak memberikan kontribusi nyata dalam kemajuan di segala bidang termasuk difabel.

Sebagai penutup, pesan Kiai Dahlan ini pantas kita renungkan kembali ”Dadiyo Kiai sing kemajuan, lan ojo kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah.” Pesan ini meniscayakan Muhamamdiyah untuk bergerak dinamis dan berinovasi namun jangan sampai kehilangan jati diri. Sifat terbuka ini tetaplah senantiasa berpijak pada norma keislaman dan visi gerakan yang mencerahkan. Kemajuan yang diraih bukanlah tujuan namun bagian dari ikhtiar untuk menguatkan gerakan dakwah Muhammadiyah. []


*)Dosen Prodi PBI, FKIP UAD

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait