Dampak Pembelajaran Jarak Jauh di Sekolah 3T
Oleh Dinda Ayu Lestari*
Program Kampus Mengajar merupakan bagian dari Program Kampus Merdeka, mengajak mahasiswa seluruh Indonesia untuk mengajar di sekolah dasar (SD) wilayah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar). Program ini diadakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Kegiatan yang dilakukan selama Program Kampus Mengajar antara lain membantu guru dalam meningkatkan literasi dan numerasi, membantu meningkatkan akreditasi sekolah, serta mengenalkan Pancasila pada siswa SD di wilayah 3T. Pada pendaftaran program ini di angkatan pertama, saya yang berdomisili di Provinsi Lampung lebih tepatnya di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur ditempatkan di salah satu SD 3T.
Ketika pertama kali tiba di lokasi penempatan, jujur saya terkejut dengan akses jalan menuju sekolah yang harus melewati perkebunan dan sawah yang sepi. Untuk jarak antara sekolah ke pusat keramaian tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit menggunakan motor.
Saya merasakan sekolah tersebut sangat berbeda kondisinya dibandingkan sekolah lain di sekitarnya. Kondisi fisik sekolah kurang layak untuk kegiatan belajar mengajar. Fasilitas belajar, serta sarana dan prasarana seperti kamar mandi, mushola, perpustakaan, dan ruang kantor guru sudah rusak bahkan tidak layak digunakan. Tenaga pendidik 8 orang, terdiri dari 2 honorer dan 6 pegawai negeri sipil (PNS) dengan jumlah siswa kurang lebih 50 orang.
Ditambah lagi dengan kebijakan belajar di rumah/daring di daerah tersebut membuat kualitas pendidikan semakin rendah. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai teknologi dari pihak guru dan siswa sehingga proses pembelajaran daring tidak berjalan lancar.
Seperti yang kita pahami pembelajaran jarak jauh menuntut siswa maupun guru untuk beradaptasi dengan perubahan proses pembelajaran. Guru harus mampu menyesuaikan diri dengan proses pembelajaran yang didesainnya.
Banyak pilihan dan variasi media pembelajaran jarak jauh, dari menggunakan media sosial bahkan aplikasi pembelajaran yang tersedia. Namun tidak semua daerah dapat menerapkan proses pembelajaran jarak jauh dengan maksimal, ada beberapa dengan keterbatasan sarana dan prasarana serta jauh dari jangkauan internet akan sangat menyulitkan. Menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk menyesuaikan proses pembelajaran dengan kondisi lapangan.
Tidak hanya itu, proses pembelajaran jarak jauh juga harus melibatkan peran orang tua sebagai mentor di rumah. Namun pada anak-anak di daerah 3T latar belakang orang tua adalah mayoritas petani yang tidak lulus bangku pendidikan dasar. Sehingga sulit untuk mengajarkan anak-anaknya selama proses pembelajaran jarak jauh. Siswa tidak mendapatkan pelajaran maksimal seperti biasa. Hal ini berdampak pada kemampuan kognitif anak-anak menjadi tidak berkembang. Dijumpai ada siswa kelas 5 yang belum bisa membaca dan menulis, sehingga pemahaman dasar mengenai nasionalisme pun juga tidak dipahami.
Menurut saya, kebijakan pembelajaran jarak jauh di daerah 3T perlu ditinjau kembali khususnya pada konteks pendidikan di daerah tersebut. Jika tetap seperti ini maka anak-anak di daerah 3T akan sangat tertinggal. Dinas Pendidikan Daerah perlu membuat terobosan dan bantuan untuk mengatasi hambatan atau kesulitan pelaksanaan pembelajaran di tengah pandemi Covid-19.
Aturan pemerintah yang mengharuskan pembelajaran dilakukan secara daring sampai waktu yang tidak diketahui menimbulkan keprihatinan. Alangkah baiknya jika peraturan tersebut ditinjau kembali. Bersekoleh dibolehkan namun waktu pembelajarannya dibatasi dan tetap menerapkan protokol kesehatan. Dengan demikian siswa tetap dapat bersekolah dan mendapatkan ilmu yang diberikan guru.
Pemerintah daerah dapat membantu dalam menyediakan wifi gratis di tempat-tempat tertentu di desa tersebut sebagai fasilitas umum bagi anak-anak yang bersekolah secara daring. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Ahmad Dahlan
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow