Hati sebagai Pondasi dalam Kehidupan
Oleh: Eko Harianto*
Setiap organ tubuh manusia memiliki fungsinya masing-masing, begitu pula dengan hati. Fungsi hati adalah hikmah dan ma’rifah yang merupakan keistimewaan jiwa yang dimiliki manusia. Fungsi itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Secara umum, manusia memiliki tiga potensi penting, yaitu potensi fisik, potensi akal, dan potensi hati (qolbu). Potensi hati inilah yang dapat menjadikan otak cerdas dan badan kuat menjadi mulia. Bila hati tidak bisa dijaga dan dibimbing, tidak menutup kemungkinan dia harus mengalami perawatan karena hati terkena penyakit.
Apa dan dimanakah letaknya hati? Tentu orang akan menjawab bahwa hati ada di dalam dada. Dan jawaban itu tidaklah salah. Ada pusat saraf di dalam dada manusia yang begitu sensitif terhadap perasaan, sehingga selalu dianggap sebagai hati. Bila seseorang merasakan kenikmatan yang hebat, maka kenikmatan itu berada pada pusat saraf tersebut.
Hati merupakan watak primordial suci dan kecenderungan batin yang beragam, yakni kecenderungan berunsur cinta atau kebencian, sarang hidayah, iman, pengetahuan, kehendak, dan kendali. Hati menurut bahasa memiliki dua makna: pertama, intisari dan puncak sesuatu; kedua, bermakna hati manusia atau makhluk lainnya. Dinamakan hati karena merupakan sari dan puncak sesuatu. Sementara intisari dan bagian termulia dari manusia adalah hatinya.
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh. Ia mempunyai banyak fungsi yang kompleks, di antaranya membentuk empedu, penyimpanan karbohidrat, pembentukan zat-zat keton, pengaturan metabolisme karbohidrat, reduksi dan konjugasi hormone steroid adrenal dan kelenjar kelamin, menetralisasi berbagai obat-obatan dan racun, membentuk protein-protein plasma, dan masih banyak lagi fungsi-fungsi penting lainnya dalam metabolisme lemak.
Menurut Rizal Ibrahim, qolbu mengandung pengertian yang terbagi dalam:
- Jantung berupa segumpal daging berbentuk bulat memanjang, yang terletak di pinggir dada sebelah kiri. Yaitu segumpal daging dengan tugas khusus yang didalamnya ada rongga-rongga yang mengandung darah hitam sebagai sumber ruh. Hati serupa juga dengan yang ada pada hewan, bahkan pada orang yang telah mati. Bila disebut qolbu, sesungguhnya bukan termasuk alam nyata, seperti alam yang dapat ditangkap oleh panca indera kita.
- Hati berupa sesuatu yang halus (latifah) yang bersifat Ketuhanan (rabbaniyyah) dan ruhani yang ada hubungannya dengan hati jasmani. Hati yang halus itulah hakikat manusia yang dapat menangkap segala rasa serta mampu mengetahui dan mengenal segala sesuatu.
Hati memang kecil bentuknya, namun peran yang diberikan sangat penting bagi kehidupan manusia. Bila manusia mampu mengenali hatinya, manusia itu akan dapat mengenal dirinya. Sebaliknya, jika tidak mengenal akan keberadaan dirinya, dia tidak akan mengenal Tuhannya. Kalau seseorang tidak dapat mengenal hatinya, maka kepada yang lainnya juga tidak akan mampu mengenalnya. Bahkan diakui atau tidak, kebanyakan dari kita belum mampu mengenal hati dan diri kita sendiri.
Jika itu terjadi, hati telah terkena penyakit. Penyakit hati atau jiwa sebagaimana pendapat Ibnu al-Qayyim, merupakan kerusakan yang dapat merusak konsepsi dan keinginan manusia kepada sesuatu yang bertentangan dengan yang seharusnya, atau persepsinya terhadap kebenaran berkurang serta dapat merusak keinginannya terhadap kebenaran.
Bila kita mau melihat program pendidikan yang ada, semuanya lebih berpusat pada kecerdasan akal (IQ). Padahal yang sebenarnya diperlukan adalah kecerdasan hati (Qolbu Quotient/QQ), seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, dan kemampuan mengadaptasi yang kini menjadi dasar penilaian baru. Kita bisa lihat saat ini, begitu banyak orang yang berpendidikan dan tampak menjanjikan, namun kariernya berhenti, atau lebih buruk lagi, tersingkir akibat rendahnya kecerdasan hati mereka.
Pada saat ini, sebagian besar manusia memang beranggapan bahwa keberadaan rasa (sentiment) –yang lebih ditonjolkan oleh hati– kurang penting bila dibandingkan dengan keberadaan intelektual –yang dibanggakan akal. Alasannya, ketika manusia bertemu dengan dua macam orang yang berintelektual dan sentimental, maka mereka menemukan adanya keseimbangan yang lebih besar pada seorang yang intelektual daripada yang sentimentil.
Ibnu al-Qoyyim berkata, “Hati yang sehat adalah hati yang sibuk menyebut-nyebut kalimat Allah. Seluruh cinta, tujuan, badan, aktivitas, tidur dan bangunnyanya, hanya terfokus kepada-Nya.” Lebih lanjut disebutkan bahwa hati yang sehat adalah: “Jika seseorang sudah memulai beribadah –dalam hal ini shalat– maka segala keluh kesah dan kebingungannya terhadap dunia akan hilang. Orang yang ingin tahu seberapa lama dirinya jauh dari Allah, hendaknya ia mengawasi jiwanya pada saat beribadah. Jika pada saat ibadah dirinya disibukkan dengan pikiran-pikiran keduniaan, maka itu merupakan tanda bahwa hatinya dalam keadaan sakit.”
Seseorang yang hatinya sehat atau bersih (qolbun salim), yaitu yang berhasil merawat, memelihara dan memperindah hatinya sendiri, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Hatinya bebas dari jeratan memperturutkan hawa nafsu untuk menyalahi perintah Allah SWT.
- Hidupnya selalu diselimuti mahabbah dan tawakkal kepada Allah SWT.
- Dalam hal beribadah, segenap cita-cita dan perhatiannya hanya tertuju pada satu hal, yakni harus menjadi ladang ibadah dan amal saleh.
- Sungguh-sungguh merasakan lezatnya bekerja dalam ikhtiar.
- Syukur, tidak licik, tidak jahat dan tidak dzalim.
Hati bisa membuat manusia memperoleh kehormatan yang besar dan hak untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, dan itu membuat manusia menjadi istimewa. Keistimewaan hati adalah:
- Ilmu, yakni mengetahui segala urusan duniawi dan ukhrawi serta hakikat (kenyataan) yang berhubungan dengan akal. Sesungguhnya ilmu itu termasuk urusan yang ada dibalik perasaan yang tidak dimiliki binatang. Semua ilmu merupakan keistimewaan yang khusus bagi akal, karena manusia telah menetapkan bahwa seseorang tidak mungkin berada di dua tempat dalam satu keadaan dan ketetapan. Ini berlaku bagi setiap orang. Diketahui pula bahwa yang dapat ditangkap indera hanya sebagian dari beberapa orang saja. Oleh karena itu, kesimpulan yang ditujukan kepada semua orang adalah melebihi apa yang dapat dipahami bahwa ilmu itu sangat penting, maka dalam segala teori hal ini akan lebih jelas.
- Kemauan (iradah). Apabila akal mengetahui akibat dari sesuatu yang juga mengetahui jalan untuk memperbaikinya, maka akan tergeraklah akal itu dengan satu keinginan ke arah kemaslahatan dengan mencari sebab-sebabnya dan berkehendak kepadanya. Allah menjadikan akal agar bisa mengetahui akibat dari segala urusan andaikan tidak disertai dengan menjadikan suatu pendorong yang bisa menggerakkan semua anggota badan menurut keputusan akal, karena hal itu akan membuat keputusan akal tersebut menjadi sia-sia. Oleh karena itu, hati manusia diistimewakan dengan adanya ilmu dan kemauan, yang keduanya tidak terdapat dalam makhluk lainnya. Hal itu juga tidak terdapat pada anak di permulaan fitrah, dan baru ada apabila anak menginjak dewasa.
Untuk membina dan meningkatkan potensi hati sehingga mendpatkan hati yang cerdas seperti yang diharapkan, maka perlu upaya menjauhkan diri dari penyakit-penyakit hati, dan penyakit hati tersebut adalah akhlak tercela (akhlak mazmumah). Hal ini menjadi penghambat kesadaran diri manusia.
Untuk memperoleh hati yang cerdas, maka kita harus menjalankan akhlak mulia (akhlak mahmudah). Hal ini akan kita bahas pada bab selanjutnya. Dalam menguraikan akhlak yang mulia, penulis hanya menuliskan beberapa saja. Mudah-mudahan dengan yang sedikit dapat mewakili ciri-ciri dari akhlak yang telah kita ketahui. Sebagai renungan, Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk menjadi suri teladan bagi umat manusia di muka bumi ini. Bila ingin mengetahui akhlak Rasulullah, maka baca dan pahamilah Al-Qur’an, karena akhlak Rasulullah itu ialah bagaikan Al-Qur’an yang berjalan/hidup.
*Penulis adalah Mahasiswa S3 PPI UMY
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow