Keunikan Sekolah Alam Bengawan Solo

Keunikan Sekolah Alam Bengawan Solo

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Bima Budi Kharisma

Menurut ranking PISA (Programme for International Student Assessment), sebuah lembaga survei yang mengukur kualitas pendidikan berdasarkan tiga indikator yaitu Literasi, Matematika, dan Sains, ranking kualitas pendidikan di Indonesia berada di 10 terbawah. Ini mengkhawatirkan dan membangkitkan kepedulian terhadap pendidikan di Indonesia dengan cara mendirikan sekolah alam ini.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Begitulah yang diutarakan Suyudi, Ketua Yayasan Taruna Teladan sekaligus pendiri Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS). Menurutnya, dari awal penerapan konsep pendidikan di Indonesia kurang tepat. Masih banyak yang belum mengetahui apa makna sekolah yang sebenarnya. Semisal istilah sekolah itu sendiri, yang berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae, atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang. Sehingga belajar seharusnya tidak terpaku di sekolah karena memang merujuk dari pengertian kata sekolah sendiri adalah waktu luang. Belajar bisa dimanapun dan kapanpun, ini belum menjadi kesadaran masif di Indonesia.

Berbeda jika kita mengulik SABS yang merupakan salah satu sekolah berbasis alam di Indonesia.

Sekolah Alam Indonesia adalah sekolah alam pertama yang muncul di Indonesia. Didirikan pada tahun 1998, dengan nama Sekolah Alam dan bertempat di Jalan Damai, Ciganjur, Jakarta Selatan. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya sekolah alam, tanggal 1-3 Juli 2011 diadakan Jambore Sekolah Alam di Lembang. Kegiatan ini melahirkan Jaringan Sekolah Alam Nusantara (JSAN). JSAN adalah wadah dan jejaring bagi para guru dan pegiat alam se-Nusantara. Tidak kurang 57 sekolah alam bergabung dalam jaringan tersebut, termasuk SABS.

Sekolah Alam Bengawan Solo terletak di Desa Panjangan RT 1 RW 1, Gondangsari, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. Alasan penggunaan nama Bengawan Solo karena memang sekolah ini berdiri tepat di pinggir Kali Bengawan Solo. Ketika berkunjung kesana, saya dapat melihat langsung aliran sungai Bengawan Solo yang tidak pernah kering.

Sebuah kesempatan pun saya peroleh sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Ahmad Dahlan yang mengikuti program Kampus Mengajar tahap 1 di SABS. Program Kampus Mengajar merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Beberapa tujuannya adalah perbantuan pembelajaran, perbantuan teknologi, dan perbantuan administrasi sekolah. Program ini untuk menyikapi keresahan pendidikan dasar yang paling terdampak selama pandemi Covid-19.

Berangkat dari program inilah, saya mengetahui keunikan-keunikan yang barangkali hanya dapat ditemukan di SABS. Mulai dari hubungan murid dengan guru yang tidak memanggil “Pak Guru/Bu Guru” melainkan ‘Mas/Mbak Fasil’, pembelajaran berbasis projek yang menjadikan pembelajaran tidak melulu di dalam kelas, pembelajaran entrepreneur sejak dini, dan masih banyak lagi.

Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Niko Putra Sadewa, alasan siswa memanggil dengan panggilan “Mas/Mbak” terhadap tenaga pendidik di SABS bukan tanpa alasan. Hal itu dilakukan agar menghilangkan gap antara guru dengan murid, agar siswa lebih dekat dan terbuka dengan para pengajar. Memang membuahkan hasil. Banyak siswa dengan latarbelakang permasalahan masing-masing dapat teratasi di SABS. Mulai dari siswa yang merupakan korban broken home, siswa yang menjadi korban parenting kurang baik, dan masih banyak lagi dapat teratasi dengan Mas/Mbak Fasil Sekolah Alam Bengawan Solo.

Sekolah ini bukan sekolah biasa. Dengan keunikan yang ada, tidak kalah jika dibandingkan sekolah berakreditasi B, bahkan di atasnya. Hanya saja SABS  memilih memiliki akreditasi C, karena mereka lebih leluasa dalam berinovasi dan dapat lebih berfokus dengan siswa tanpa harus pusing memikirkan akreditasi.

Dari semua model dan strategi pendidikan yang diterapkan, ada hal unik dan tidak ditemukan di sekolah biasa, yaitu program Live-In bagi siswa. Live-In ini adalah sebuah program yang memiliki tujuan memberikan pengalaman baru dan melatih kemandirian siswa untuk dapat bertahan hidup tanpa bantuan orang tua.

Program Live-In diperuntukkan bagi siswa kelas 6 yang mengharuskan mereka tinggal di sekolah selama 3 hari bersama rekan kelompok. Setiap kelompok berisi 5 siswa yang sudah ditentukan secara acak. Selama tiga hari tersebut, mereka tidak dibolehkan jajan makanan termasuk masak makanan instan. Mereka hanya dibolehkan membawa bahan mentah, uang 50 ribu, dan memasak sendiri untuk makan. Dari uang dan bahan yang ada, mereka diminta berjualan di sekolah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semua kegiatan sehari-hari benar-benar dilakukan secara mandiri, tidak terkecuali mencuci pakaian.

Sebuah program yang memiliki banyak manfaat, dan dibutuhkan siswa. Tidak terbatas pada teori, tetapi siswa dibekali kemampuan mumpuni. Dari penerapan Live-In ini, diharapkan setelah lulus siswa memiliki kemampuan bertahan hidup dengan skill yang sudah dibekalkan kepada mereka.

Hal positif seperti ini dapat ditiru sekolah lain. Tidak untuk membekali dan mempersiapkan siswa secara akademik dan non akademik, tetapi muara dari kualitas pendidikan yang baik adalah lahirnya generasi bangsa yang tangguh, pantang menyerah, dan dapat diandalkan. (*)

*Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Ahmad Dahlan

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait