Opini

Opini

Opini

May 21, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Mencontoh Kepemimpinan Umar bin Khattab

Oleh: Heru Prasetya *)

Gaya kepemimpinan tidak ditentukan oleh seberapa banyak pendukung, tapi seberapa besar ia mampu mengemban amanah sebagai pemimpin. Amanah bisa benar-benar dipahami jika seseorang mampu memaknai kata tersebut. Bahwa ada nilai pertanggungjawaban kepada Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Tidak sekadar menyenangan kelompok, pun tidak sekadar memuaskan nafsu sendiri.

Umat bin Khattab adalah satu di antara sahabat Nabi SAW yang selalu disebut-sebut ketika membicarakan keteladanan pemimpin pasca Rasulullah Muhammad SAW. Tulisan tentang bagaimana khalifah Umar memimpin sudah banyak beredar. Satu di antaranya bisa dibaca di hidayatullah.com.

Syeikh Khalid Muhammad Khalid dalam buku “Khulafaur Rasul Shallallahu Alayhi Wasallam” menjabarkan gaya kepemimpinan Umar Radhiyallahu ‘Anhu.

Tidak Sok sebagai Penguasa

Ketika bermusyawarah, Umar tidak pernah memposisikan dirinya sebagai penguasa, tapi sebagai manusia yang sama kedudukannya dengan anggota musyawarah lain.

Ketika meminta pendapat mengenai satu urusan, ia tidak pernah menunjukkan pemegang kekuasaan. Umar bahkan selalu menanamkan perasan bahwa mereka adalah guru yang akan menunjukkan ke jalan kebaikan, menyelamatkannya dari kesengsaraan hisab di akhirat. Karena mereka membantunya dengan pendapat-pendapat untuk memperjelas kebenaran.

Kesejahteraan Rakyat

Kekayaan negara digunakan untuk melayani rakyat. Umar mendirikan tembok-tembok dan benteng untuk melindungi kaum muslimin. Ia juga membangun kota-kota untuk mensejahterakan seluruh rakyat.

Umar tidak pernah berpikir mengambil kesempatan atau keuntungan dari anggaran negara untuk kesenangan diri dan keluarganya. Umar hidup sangat zuhud, sehingga tidak tertarik kemewahan, kenikmatan, dan segala bentuk pujian manusia.

Menjunjung Tinggi Kebenaran

Umar berkata pada dirinya sendiri, “Sejak kapan engkau memperbudak manusia, sedangkan mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?”

Dalam pandangannya, semua orang memiliki kemerdekaan sejak lahir. Umar sama sekali tidak takut akan kebebasan bangsanya, tidak pula khawatir akan mengancamnya, ia mencintai kebebasan manusia itu sendiri.

Kebebasan adalah kebebasan kebenaran. Kebenaran berada di atas semua aturan. Kebenaran Islam, bukan kebenaran kebebasan yang disandarkan pada logika liberalisme.

Tidak Antikritik

Suatu hari Umar terlibat percakapan dengan salah seorang rakatnya. Orang itu bersikeras dengan pendapatnya dan berkata berulang-ulang kepada Amirul Mukminin, “Takutlah engkau kepada Allah.”

Salah seorang sahabat Umar membentak laki-laki itu dengan berkata, “Celakalah engkau. Engkau terlalu banyak bicara dengan Amirul Mukminin.”

Umar justru berkata, “Biarlah dia. Tidak ada kebaikan dalam diri kalian jika kalian tidak mengatakannya. Tidak ada kebaikan dalam diri kita jika tidak mendengarnya.”

Terjun Langsung

Tengah malam saat orang terlelap, Umar berkeliling untuk mengecek kondisi rakyat sebenarnya. Begitu ia menemukan seorang ibu yang anak-anaknya menangis karena lapar, sedangkan tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak dan disuguhkan, dengan segenap daya Umar pergi ke Baitul Maal dan memikul sendiri sekarung gandum untuk kebutuhan makan keluarga tersebut.

Seperti itulah setidaknya yang dilakukan setiap pemimpin. Bekerja atas dasar iman, sehingga tidak ada yang didahulukan selain iman, takwa, dan kesejahteraan rakyatnya. Ikhlas karena Allah SWT.


*) Tim Redaksi mediamu.com

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here