Opini

Opini

Opini

May 16, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Ngenger dan Transformasi Idiologi (Eps. 1)

Oleh: Anang Masduki*

Istilah ngenger  muncul ketika adanya mitos dengan berguru kepada orang lain untuk meraih derajat dan pangkat. Berguru di sini bukan dalam artian sempit yaitu melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah, namun lebih kepada mencari pengalaman hidup dan belajar kepada orang lain.  (Wicaksono,  jurnal Outlock 009-07 tahun 2011).

Motif dan tujuan seseorang yang melakukan ngenger  di antaranya ingin belajar ilmu kehidupan dari orang yang mereka jadikan sebagai induk semang. Agar mereka bisa lebih sukses dikemudian hari sebagaimana orang yang mereka ikuti. Ada penelitian menjelaskan bahwa tradisi ngenger  adalah bentuk eksploitasi anak. Seorang anak bekerja dengan standard gaji yang rendah dan tanpa perlindungan. Maka kedepannya kata ngenger  sebaiknya dihapuskan dan diganti dengan pekerja. Hal ini berimplikasi terhadap kebijakan yang akan menjamin hak-hak pekerja anak, (Fakiha, dan Haedar Paradigma Volume 03 Nomor 02 Tahun 2015). Namun itu semua terkadang diabaikan dikarenakan kondisi sosial ekonomi maupun pendidikan dalam masyarakat. Bahkan terkadang anak yang ngenger  berasa beruntung ada yang mau mengasuh, memberi makan dan menyekolahkannya.

Tradisi ngenger  banyak ditemukan di daerah Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Di Desa Banyu Biru, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Timur tahun 60 dan 70an banyak warga Ponorogo yang memilih ngenger . Dari semua anak-anak dari Ponorogo di tahun 1960an yang ikut ngenger  di Ngawi berlatar belakang miskin dan berideologi ormas Nahdlatul Ulama’ atau penganut Islam Abangan. Bahkan banyak yang berasal dari aktifis GP Ansor.

Anak-anak tahun 60an dan tahun 70an yang ngenger  di Tempurjo, Ngawi menyebar di beberapa keluarga. Mereka hidup bersama dengan keluarga yang ditempati dan mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Mulai dari mengerjakan sawah, membantu berdagang sampai mengasuh anak maupun membersihkan rumah dan memasak. Di waktu sore mereka sekolah formal di sebuah sekolah Muhammadiyah yang sampai saat ini sekolah tersebut masih hidup.

Setelah selesai menempuh pendidikan formal, anak-anak yang ikut ngenger  pulang kampung di Ponorogo. Di antara mereka ada beberapa yang mendapatkan jodoh di desa Banyubiru, Ngawi. Sesampainya di kampong, Desa Grogol di Ponorogo, mereka mayoritas menjadi aktifis Muhammadiyah dan mengembangkan Muhammadiyah di Ponorogo.

Ada beberapa alasan dan latar belakang banyaknya pemuda desa Grogol, kabupaten Ponorogo Ngenger  yaitu: pertama, Kondisi sosial politik masa itu. Adanya pemberontakan PKI Madiun 1948, masyarakat di sekitar Madiun termasuk Ponorogo tentu masih ingat betul kejadian kekejaman yang dilakukan PKI. Banyak korban baik di Madiun, Ponorogo maupun Magetan berjatuhan.. Korban PKI adalah para santri maupun Kyai (ulama’). Padahal para Ulama tersebut selain memiliki pondok dan juga santri yang banyak, mereka adalah tokoh politik yang tergabung dalam partai Masyumi. Eskalasi politik semakin meningkat ketika partai PSI dan Masyumi tahun 1960 dibubarkan karena tokoh-tokohnya dianggap mendukung pemberontakan PRRI. (Roosa, 2008, xviii). Namun banyak masyarakat Ponorogo dan sekitarnya yang meyakini pembubaran Masyumi adalah desakan dan hasutan yang dilakukan oleh PKI kepada Soekarno. Itu yang membulatkan tekad para tokok agama memprovokasi anak-anak desa Grogol untuk menuntut ilmu dengan ngenger  di Ngawi. Harapanya, dengan membekali anak-anak muda dengan pemahaman ilmu agama yang holistik maka kedepan secara langsung itu akan membendung laju pertumbuhan simpatisan PKI. Selain itu juga untuk mengembangkan dakwah Islam di Grogol pada khususnya dan Ponorogo umumnya yang mana saat itu mayoritas adalah masyarakat abangan.

Kedua, kondisi pendidikan. Pemuda desa Grogol saat itu rata-rata mengenyam pendidikan dasar atau SR (sekolah rakyat), untuk pendidikan lanjut hanya mengandalkan pendidikan non formal. Mereka sore hari belajar ngaji di langgar (mushola) yang diasuh oleh kiyai kampung yaitu alumni Pondok Gontor dan Pondok Tegalsari. Melihat kondisi pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, para pemuda desa Grogol saat itu di dorong pendidikan yang ada di Ponorogo letaknya jauh yaitu Tegalsari dan Pondok Gontor. Para pemuda yang tercerahkan bahwa salah satu cara merubah nasib adalah dengan memajukan pendidikan (Freire, 1967). Di sisi lain pendidikan didua tempat tersebut dinilai mahal untuk ukuran orang kampong sat itu. Padahal mereka dibutuhkan orang tua untuk membantu kegiatan sehari-hari di sawah. Sehingga banyak anak-abak muda yang dilarang sekolah dan diminta lebih baik membantu orang tua dengan mengerjakan sawah, buruh tani maupun mengasuh binatang ternak dengan mencari rumput di hutan.

Ketiga, kondisi ekonomi. Ditahun 1950an dan 1960an di Indonesia terjadi pacekik. Yaitu kondisi sulitnya ekonomi yang berpengaruh pada kelangkaan bahan makanan. Hal ini diperparah dengan adanya musim pagebluk. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor. Diantaranya pertama adalah politik. Kondisi politik ditingkat elit tersebut merambah keranah akar rumput sehingga terjadi pergolakan di daerah-daerah. Terjadi benturan antara kelompok komunis dan Islamis yang terkadang menimbulkan ketegangan. Kondisi politik yang tidak menentu karena gesekan kaum Islamis dengan kaum komunis mengakibatkan kondisi politik yang tidak stabil sehingga mempengaruhi kenaikan harga-harga khususnya bahan makanan. Selain itu juga kondisi birokrasi yang korup serta hutang luar negeri yang menumpuk diakibatkan pembangunan proyek raksasa yang bersifat simbolis (Sulistiyo, 2003: 18-23). Masyarakat desa Grogol, Ponorogo yang ngenger  di Ngawi tentu tidak ingin belajar ilmu suwuk, tasawuf maupun ingin menjadi kiyai. Tetapi kondisi ekonomi masyarakat desa Grogol yang sangat miskin saat itu mendorong pemuda untuk ngenger  agar bisa melanjutkan kehidupan, syukur bisa belajar dengan gratis dan juga ujungnya mampu merubah diri sendiri dan masyarakat.

Keempat, kondisi sosial budaya. Masyarakat Jawa pada umumnya, khususnya desa Grogol memiliki tradisi dan budaya yang memang masih melekat kuat. Ini salahsatunya dipengaruhi faktor kebudayaan Mataraman. Di desa Grogol masih ditemui reog, wayang kulit, ketoprak, ludruk, gajak-gajahan, jaran thik maupun gambyong. Acara tersebut dilakukan untuk sebuah hajatan baik pemerintah desa maupun hajatan para individu seperti pernikahkan, sunatan maupun ruwatan (Greets, 1960). Hampir dapat dipastikan, saat hajatan dan ada pertunjukan ditemui adanya minuman keras. Mereka merasa puas jika sudah mabuk dan tidak sadar. Selain itu dalam acara pertunjukan reog, gajah-gajahan maupun jaran thik banyak ditemui para aktor pertunjukan kesurupan. Masyarakat semakin antusias menyaksikan pertunjukan jika ada yang kesurupan. Menurut mereka pertunjukan tersebut memiliki daya magis yang kuat. Pelaku kesurupan biasanya akan tidak sadar, mata melotot, meraung-raung, bergulung-gulung sampai makan hal-hal yang aneh. Seperti daun, tanah, sampai kaca gelas. Maka hampir bisa dipastikan setiap akan dimulai pertunjukan kesenian maka alat-alat nya akan diruwat dahulu oleh seorang dukun dengan membakar kemenyan dan menaburkan bunga. Itu dilakukan untuk mengundang roh halus, jin atau dedemit.

Proses yang melekat pada tradisi maupun kesenian seperti mabuk-mabukan, kesurupan, mengirim sesajen, gemblakan, dan praktek perdukunan dinilai oleh anak-anak muda yang tercerahkan karena mengenyam pendidikan Gontor dianggap bertentangan dengan akidah islam sehingga harus di brantas. Selain menentang akidah Islam kegiatan tersebut juga memiliki daya rusak yang tinggi pada masyarakat. Apalagi banyak kesenian tersebut yang telah disusupi oleh gerakan PKI. Salah satu cara memberantas tradisi-tradisi yang merusak kesenian tersebut adalah mencerdaskan anak-anak muda dan mengkader mereka sebagai para mubaligh maupun tokoh masyarakat. []


*Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY dan Dosen Ilmu Komunikasi UAD

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here