Berdiri di Bahu Raksasa, Berdiri Sebagai Ilmuwan Merdeka

Berdiri di Bahu Raksasa, Berdiri Sebagai Ilmuwan Merdeka

Smallest Font
Largest Font

YOGYAKARTA –Tatkala membuka satu situs penelusuran ternama sekaligus media publikasi jurnal ilmiah, kita langsung dihidangkan frasa yang menarik dan mencolok: “Berdiri di Bahu Raksasa”. Frasa yang berbahasa asli Latin Nanos Gigantum Humeris Insidentes itu menurut John Salisbury ditulis pada abad XII oleh Bernard Chartres, filsuf dan cendekiawan Neo-Platonis Perancis, meskipun banyak versi lain tentang siapa penutur pertamanya.

Pada 5 Februari 1675, lima abad setelah Bernard Chartres, seorang Ilmuwan fisika bernama Isaac Newton menulis surat kepada Robert Hooke, terkait kritik Hooke terhadap salah satu temuan Newton. Berikut kutipan surat tersebut,

Advertisement
Scroll To Continue with Content

“Apa yang dilakukan Descartes adalah langkah yang bagus. Anda telah menambahkan banyak cara, dan terutama dalam mempertimbangkan warna pelat tipis menjadi pertimbangan filosofis. Jika saya telah melihat sedikit lebih jauh, itu adalah dengan berdiri di atas bahu raksasa.”

Kutipan surat Newton inilah yang membuat “Berdiri di Bahu Raksasa”menjadi populer, terutama di kalangan akademisi, filsuf, dan ilmuwan.

Lantas, apa menariknya kisah di balik frasa ini?

Dari pembahasan tersebut, penulis, bisa dijelaskan bahwa akademisi, filsuf, dan ilmuwan dituntut melakukan banyak penelitian ilmiah. Tanpanya, keilmuan akan dianggap fantasi fiktif belaka. Penelitian yang kita lakukan berlandaskan pada temuan-temuan para peneliti sebelumnya yang dipublikasikandi banyak jurnal ilmiah lokal maupun internasional. Ketika mendapati jarak antara idealitas dan realitas, para peneliti menelusuri apakah para ilmuwan sebelumnya telah menemukan alternatif solusi atas jarak itu? Apakah itu cocok dengan gap serupa dalam konteks yang berbeda?

Itulah makna terbatas dari Berdiri di Bahu Raksasa. Lebih luasnya, ialah kearifan kita untuk merendahkan hati atas secanggih apapun temuan ilmiah kita karena kita tak bisa menafikan sumbangsih para ilmuwan pendahulu.

Namun, sebagai ilmuwan muslim, selayaknya tidak boleh terlena atas kemegahan referensi keilmuan Barat yang sekarang tengah meraksasa. Banyak hal ilmiah yang diakui dan diterima, tetapi ada juga hal-hal yang harus kita kritisi dan dalami, terutama jika hal tersebut bertentangan dengan sumber ilmu dalam Islam: Al-Quran.

Satu contoh paling ekstrem, adalah teori heliosentris, yang mengemukakan bahwa matahari merupakan pusat tata surya, sementara bumi dan bulan berotasi dan berevolusi terhadap matahari.  Teori heliosentris dikemukakan oleh Nicolaus Copernicus melalui karyanya yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium. Teori dari Copernicus ini datang setelah teori geosentris, walaupun pada masa Copernicus hidup teori barunya ditentang, nyatanya pada saat ini, teorinya-lah yang mengemuka.

Adapun dalam Al-Quran, beberapa ayat menyandingkan matahari (as syams) dan bulan (al qamar) sebagai satu kesetaraan dengan kata sambung “dan” (wa). Contohnya dalam ayat berikut:

فَالِقُ الْاِصْبَاحِۚ وَجَعَلَ الَّيْلَ سَكَنًا وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ

(Dia) yang menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, serta (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketetapan Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-An‘am ayat 96)

Bahkan dalam pergerakannya, matahari dan bulan masih digambarkan dalam kesetaraan, seperti yang tertuang dalam ayat ini:

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ

(Begitu juga) bulan, Kami tetapkan bagi(-nya) tempat-tempat peredaran sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir,) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua.

لَا الشَّمْسُ يَنْۢبَغِيْ لَهَآ اَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا الَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۗوَكُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ

Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S. Yasin ayat 39-40)

Dari dua ayat yang disebutkan sebelumnya, tidak ada satu ayat pun yang menyetarakan bulan dan bumi sebagai benda langit yang bergerak. Tidak ada pula yang menerangkan tentang pergerakan bumi. Yang ada, ialah ayat yang menyebutkan ciptaan Allah yang berpasang-pasangan: matahari-bulan, langit-bumi, siang-malam, dan seterusnya. Seorang ilmuwan muslim yang memiliki keprigelan atau keterampilan berbahasa Arab selayaknya re-thinking terhadap teori heliosentris, jika mengamati data dari ayat-ayat Al-Quran, hal empiris terkait kesetaraan matahari dan bulan, serta hakikat posisi bumi. Sebab, Al-Quran ialah sumber ilmu bagi muslim yang mengimaninya.

Berdiri di Bahu Raksasa bagi kita harus disertai kemerdekaan pikir dan jiwa, terbebas dari belenggu doktrinasi non-wahyu yang menyeret pada kemusyrikan, yang menggiring manusia menafikan Allah Swt, sebagai Zat Yang Maha Mencipta.

Terakhir, mari kita kritisi penerjemahan yang inkonsisten pada frasa yang kita bahas dalam tulisan ini, nanos gigantum humeris insidentes. Kenapa Insidentes diterjemahkan sebagai standing on? Padahal, dalam kamus bahasa Latin-Inggris, insidentes artinya sitting. Hal ini didukung oleh gambar-gambar dalam mitologi Yunani yang memperlihatkan Cedalion yang berada di bahu Raksasa Orion. Ia duduk, bukan berdiri. Satu lagi, rupanya raksasa Orion buta sedangkan Cedalion ialah “mata” baginya. Maka, alasan apalagi yang akan membuat kita untuk tidak merdeka sebagai ilmuwan Muslim, Kawan? (*)


Penulis: Indrayani — Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait