Catatan Ringan Enam Hari PPKM

Catatan Ringan Enam Hari PPKM

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Heru Prasetya *)

Enam hari pelaksanaan PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), rasanya mulai boring juga sehari-hari berdiam diri di rumah. Kamis (7/7) pagi mengajak istri dan anak-anak untuk jalan tanpa tujuan tempat, tapi bertujuan melihat dunia luar. Kendaraan dipacu pelan. Jam menunjukkan sekitar pukul 08.30. Perasaan pertama: tidak ada yang berubah. Kepadatan lalulintas sama seperti sebelum diberlakukan PPKM.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Tapi saya masih berpikiran positif, mungkin saya melintasi rute yang “keliru”. Di jalur berbeda barangkali PPKM menunjukkan pengaruhnya. Mungkin saja, tapi dalam satu waktu tidak mungkin melewati rute berbeda.

Melewati perempatan Wirobrajan ke timur, masih seperti biasanya. Sempat mengintip ke barat (barat perempatan Wirobrajan) masih tidak ditutup, padahal informasi menyebutkan bahwa jalan dari arah barat menuju perempatan Wirobrajan dialihkan. Kali itu masih biasa-biasa saja. Informasi yang saya peroleh, pengalihan jalur dimulai dari sore sampai pagi pukul 06.00. Ya sudah berarti saya masih “beruntung” lewat tidak pada jadwal penyekatan.

Perempatan Ngabean kami memilih belok ke selatan. Sempat memperhatikan yang ke timur juga tidak ada pengalihan jalur seperti disebarluaskan di grup-grup WA. Jalanan tetap ramai, seperti biasa jika jam-jam seperti itu. Ada beberapa polisi berjaga-jaga di sebelah utara Terminal Ngabean.

Kami sengaja melewati sisi timur Tamansari kemudian meluncur pelan ke Alun-Alun Selatan untuk membuktikan apakah kuliner pagi yang mengasyikkan tetap berjualan atau libur sementara. Dari kejauhan sudah terlihat bagian timur Alkid (sebutan akrab Alun-Alun Kidul) tidak ada warung tenda berderet-deret. Hanya terlihat tembok pembatas.

Begitu memasuki kawasan Alkid benar-benar zonk, tidak ada warung tenda berjualan. Pun yang jogging di area itu bisa dihitung jari, saking sedikitnya. Terlihat beberapa penjual yang memakai sepeda motor atau gerobak dorong. Ke arah selatan dari Alkid, warung legendaris Handayani tetap buka, tetapi tertulis jelas pengumuman di bagian depan bahwa hanya melayani pembelian dibawa pulang.

Padahal tadinya kepengin membeli lontong opor di warung langganan sebelah timur Alkid, untuk dibawa pulang. Ya sudah, karena penjualnya sedang mematuhi PPKM sebagai upaya memutus matarantai penyebaran Covid-19, tidaklah membuat saya kecewa.

Sehari-harinya warung yang lontong opor langganan dipenuhi pembeli. Misalnya saja omset sehari sekitar Rp 1 juta, maka dalam 20 hari PPKM dia akan “kehilangan” Rp 20 juta. Belum lagi pendapatan petugas parkir di depan warungnya. Itu baru di satu warung. Belum lagi jasa-jasa lain yang terimbas, misalnya pengamen. Artinya, dalam kurun PPKM mereka harus mengeluarkan tabungannya untuk membiayai hidup sehari-hari.

Jangan-jangan ada ganti rugi dari pemerintah? Terus terang saya tidak tahu.

Rute lain tidak saya ceritakan, karena tidak berbeda jauh dengan rute awal tadi. Ketika sampai di belakang Hotel Garuda, ada penyekatan ruas menuju Malioboro. Dari selatan dipagari tidak boleh ke barat (Malioboro), dari timur juga dipagari tidak boleh lurus ke Maliboro, sedang di lampu merah Kleringan dipagari tidak boleh belok selatan (menuju Malioboro). Ya, Malioboro pasti sepi. Itu cuma kira-kira, karena saya tertahan tidak boleh masuk kesana.

Awalnya mau lihat-lihat suasana Malioboro, meski tidak keluar dari kendaraan. Di awal pandemi saya melakukan itu dan ternyata banyak orang melakukan hal sama. Lalu lintas kendaraan bermotor (khususnya mobil) padat tapi hanya lewat, tidak turun dari mobil.

Kemudian kami memutuskan pulang ke arah Jalan Godean. Sampai perempatan Tugu ada penyekatan ke arah selatan. Tidak boleh ke selatan. Ada tanki Pertamina yang sudah membelokkan moncongnya ke selatan terpaksa putar kanan lagi.

Kesimpulan: arah menuju titik kumpul orang distop. Ditutup. Sehingga tidak ada kerumunan dari Tugu sampai Titik 0 Kilometer.

Perjalanan pulang ada pemandangan berbeda. Karena rumah kami di tengah kampung, maka mau tidak mau melewati beberapa warung makan (bukan restoran) dan angkringan. Tetap buka, tetap ramai, tetap berkerumun, tetap berbincang, dan tampak santuy-santuy saja. Seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Kalaupun ada yang “pakai” masker, namanya bukan lagi “pakai” tapi menggelantungkan masker di janggut.

Mungkin saja para pemilik warung itu kantongnya tidak setebal penjual di pusat kota, sehingga tidak punya tabungan cukup untuk mempertahankan diri. Memaksa mereka tutup? Bisa saja. Tapi siapa yang bertanggung jawab untuk memberi mereka makan agar imunitas tubuh terjaga. Saya yakin mereka juga ingin sehat, ingin terhindar dari serangan Covid-19, tapi mereka juga harus berpikir memenuhi kebutuhan hidup.

Bagi saya catatan riil di masyarakat terkait PPKM ini penting, mumpung PPKM baru berjalan enam (6) hari. Masih ada waktu untuk memperbaiki secara bijaksana. (*)


*) Penulis adalah Tim Redaksi mediamu.com

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait