H. Farhan AR: Teladan dalam Dakwah yang Sederhana, Bersahaja dan Dermawan

H. Farhan AR: Teladan dalam Dakwah yang Sederhana, Bersahaja dan Dermawan

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Dani Putra

Namanya Drs. H. Farhan AR. Orang-orang biasa memanggilnya dengan pak Haji Farhan atau pak Farhan.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Beliau adalah ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Depok selama 2 periode, yaitu periode 2005 – 2010 dan 2010 – 2015.

Selain itu, beliau adalah putera KH. AR. Fakhruddin, ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang memimpin Muhammadiyah paling lama selama 4 periode kepemimpinan, yaitu pada tahun 1968 – 1990.

Saya mengenal pak Haji Farhan ketika saya kembali ke Depok pada tahun 2009 setelah menuntaskan pendidikan saya di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah selama 6 tahun. Dan saya kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Beliau adalah sosok yang bersahaja dan tidak akan merepotkan orang lain selama bisa dilakukannya sendiri. Dan beliau seolah menjadi duplikat dari ayahnya sendiri, yaitu KH. AR Fakhruddin Allahu yarham.

Walau saya tidak pernah bertemu dengan ayah beliau, namun seolah keteladanan tersebut melekat secara otentik, asli, dan tidak dibuat-buat oleh putranya.

Kesederhanaannya dan kebersahajaannya pertama kali saya lihat pada saat diminta untuk mengisi pengajian Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Kukusan 2 dalam rangka menyambut Ramadhan beberapa tahun yang lalu, ketika beliau masih menjabat sebagai ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Depok periode 2010 – 2015.

Saat itu, seorang ketua PDM Depok hadir dengan menggunakan alat transportasi angkot 04 dan turun tanpa dijemput sampai ke lokasi. Hal itu membuat saya bertanya-tanya. Beliau kan ketua PDM Kota Depok, bisa saja meminta untuk diantar hadir atau paling tidak naik kendaraan yang lebih nyaman. Tapi, ternyata pilihannya memanglah demikian.

Memang, sejak pertama kali mengenalnya, kesehatannya tidaklah 100 persen. Tapi itulah yang membuat saya kagum padanya.

Momen bersama dengannya dalam hal tidak mau merepotkan kita-kita yang muda ini terjadi beberapa kali. Di atas hanya menjadi salah satunya.

Beliau yang selalu lebih memilih untuk sendiri melakukannya jika ia mampu melakukannya.

Selain itu, beliau adalah sosok dengan khusnuzon tingkat tinggi kepada Allah SWT dengan kondisi apapun yang dihadapinya. Kalau orang Jawa menyebutnya dengan “nrimo”-nan.

Apapun masalah dalam persyarikatan Muhammadiyah dia seolah selalu mencukupkan diri dengan Allah SWT dan terus bergerak dalam dakwah.

Ketika dalam masalah, seringkali saya mendengarkannya berucap: “ya, gak apa-apa”. Uniknya, “gak apa-apa” beliau itu bukan kemudian diam, tidak melakukan apa-apa, namun beliau meresponnya dengan gerakan dakwah dan terus berkarya untuk Islam melalui Muhammadiyah.

Keteladanan beliau yang saya dapat berikutnya adalah soal kedermawanan. Cerita ini saya dapatkan dari sahabat saya Abu Reza.

Saat itu, beliau menjadi paling intens menemani pak Haji Farhan. Suatu kali, santri dari Darul Arqam Muhammadiyah Kota Depok akan pergi ke Bandung untuk mengikuti salah satu acara. Kemudian, beliau bicara kepada Reza: “Za, kamu ada uang? Saya mau kasih ongkos untuk anak-anak Darul Arqam, tapi saya tidak ada uang. Saya bisa pinjam dulu?”.

Saya bertanya dalam hati: “Seorang ketua PDM tidak ada uang di saku atau dompetnya?” Padahal, saat itu sudah berada di kantor PDM Depok. Ya Allah, saya mendengarkan cerita tersebut langsung ingin meneteskan air mata.

Beliau sangat ingin berkontribusi untuk meringankan orang lain, walau dirinya sendiri dalam kesulitan dan membutuhkan.

Saya juga selalu ingat tentang kedermawanan lainnya yang sederhana, namun memiliki pesan mendalam.

Walau dia hadir rapat dengan kendaraan umum, namun seringkali beliau membawa makanan kecil atau roti dan yang sering saya ingat adalah kue kamir Pemalang untuk penyemangat dalam rapat.

Saya begitu bergembira dan bersemangat ketika beliau sudah bercerita tenang ayahnya KH AR Fakhruddin, kampung Kauman, dan Muhammadiyah pada saat beliau masih remaja.

Beliau adalah sosok Muhammadiyah sejati yang Allah SWT celupkan di dalam hatinya. Bahkan boleh jadi sejak beliau masih berada di dalam kandungan ibunya. Lahir dan batinnya adalah Muhammadiyah.

Beberapa kali saya yang muda ini beliau berikan nasihat dalam dakwah. Nasihat sederhana namun bermakna dalam.

Dari sekian banyak inti nasihatnya, tidak jauh dari sabar, qona’ah, bergembira, dan istiqomah dalam mendakwahkan Islam melalui Muhammadiyah.

Namun pada hari Senin, 14 Oktober 2019, tepat pukul 02.00 WIB Allah SWT memisahkan ruh dan jasadnya. Sosok orang tua dan teladan saya, jasadnya terbujur kaku layaknya seorang yang sedang berada dalam tidurnya.

Saya kehilangan teladan hidup dalam hal ber-Muhammadiyah.

Pagi-pagi mendengar kabar tersebut seolah seperti petir menggelegar. Mengagetkan saya dan sekaligus tidak percaya. Bagaimana mungkin saya harus percaya? Sementara, kemarin siang kami warga Muhammadiyah Kota Depok masih berinteraksi dengan beliau di dalam grup WhatsApp (WA) membicarakan persiapan menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-48.

Kata yang terucap melalui tulisan WA terakhir beliau adalah “tetap semangat”.

Selamat jalan pak Haji. Semoga Allah SWT mengampunimu, merahmatimu, melapangkanmu.

Jika engkau sudah berada dalam kenikmatan, jika bisa, mohonkan kepada Allah SWT agar kami dimudahkan dan dikuatkan dalam dakwah Islam melalui Muhammadiyah. Sampai bertemu ya pak Haji di kehidupan berikutnya. Berharap sekali bertemu kembali.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait