Opini

Opini

Opini

Apr 29, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Kok Ada Pemudik Bisa Lolos Sampai Kampung Halaman?

Oleh: Heru Prasetya*)

Cerita ini sungguh-sungguh terjadi, bukan hoaks. Sekeluarga pemudik dari salah satu kota di Jawa Barat berhasil sampai di Yogyakarta dengan lancar. Padahal itu terjadi di masa larangan mudik sekarang ini, ketika berita-berita menyebutkan aparat akan menyuruh putar balik setiap pemudik tanpa pandang bulu, kecuali ada kepentingan khusus.

Sekeluarga tadi tidak punya kepentingan khusus. Tidak ada keluarga yang meninggal dunia atau sakit. Juga tidak mengantarkan anggota keluarga yang hamil atau akan melahirkan.

Ia mengendarai sepeda motor? Dalam banyak informasi di media sosial disebut ada saatnya diloloskan petugas karena terlalu banyaknya jumlah sepeda motor yang berombongan, sehingga menyebabkan kemacetan di jalur tersebut. Petugas yang arif bijaksana dengan kepentingan publik, kemudian meloloskan mereka agar jalanan lancar kembali. Tapi, pemudik yang saya ceritakan ini tidak menggunakan sepeda motor. Ia naik angkutan umum biasa.

Karena menggunakan angkutan umum, sehingga bukan jalan tikus yang sempit dan meliuk-liuk yang dilalui. Jalan biasa. Jalan utama. Yang di ruasnya dilalui beberapa kali melewati petugas gabungan yang melakukan pencegatan. Tapi ia (dan penumpang satu bus) tetap tidur nyenyak hingga sampai kampung. Aman.

Apa pasal? Nah ini uniknya. Apakah menjadi satu-satunya penyebab bisa lolos dari hadangan petugas, entahlah. Ia bercerita angkutan yang ditumpang ditempeli stiker yang tidak semua kendaraan ditempeli stiker seperti itu. Menurut dia, “stiker sakti” itu menyebabkan bisa melenggang santai. Jadi, “beruntunglah” mereka yang menumpang kendaraan umum berstiker tersebut.

Saya tidak begitu yakin apakah seperti ini bisa disebut beruntung. Keputusan melarang mudik bertujuan memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Kalau kemudian ada yang lolos sampai kampung halaman, pripun niku? Yang lolos bisa menyebut diri beruntung, bagaimana dengan keluarga dan masyarakat yang akhirnya “menerima” dia?

Apakah ongkos naik bus sama dengan hari-hari biasa? Tidak. Berlipat dua kali dibanding biasanya. Bahkan bisa lebih dua kali lipat. Masa Lebaran harga tiket naik itu biasa, dulu disebut tuslah. Naik sampai 10 persen atau 20 persen, tapi kali ini lebih besar kenaikannya. Agak wajar juga karena kapasitas kendaraan umum hanya dibolehkan terisi 50 persen.

Setali tiga uang adalah yang terjadi di Pati, juga Banyumas. Pemudik sudah sampai kampung. Aparat daerah dengan sigap memutuskan mereka untuk menjalani isolasi mandiri di tempat yang disediakan. Kok bisa lolos? Ini persoalannya, karena kabar yang muncul di media bahwa penjagaan super ketat di jalan, baik jalan utama maupun jalan alternatif dan jalan tikus.

Melalui video, ada informasi di beberapa media sosial, bahwa beberapa titik pencegatan akhirnya bobol juga. Maksudnya, pemudik “terpaksa” dipersilakan melanjutkan perjalanan. Dan itu adalah pemudik menggunakan sepeda motor. Jika satu motor masih bisa dihentikan oleh petuga dan disuruh putar balik. Sampai pada hitungan 10 sepeda masih memungkinkan diberhentikan. Namun jika jumlah sepeda motor sampai ratusan, ribuan, berjalan beriringan tapi tidak teratur, seperti berdesak-desakan.

“Perbatasan Kedungwaringin jebol. Tidak terelakkan lagi, ribuan pemudik jebol. Semangat kawan kawan-kawanku. Ini pukul 23.00,” suara ini terdengar dalam video yang dikirim melalui medsos. Gambarnya adalah rombongan sepeda motor dalam jumlah banyak melewatu petugas yang justru mengatur kelancaran perjalanan tersebut. Entah benar atau tidak video tersebut.

Keadilan dan kesamarataan menjadi pangkal soal. Ketika di satu tempat menerapkan secara tegas aturan “pemudik disuruh putar balik”, meski sudah hampir sampai tujuan, di tempat lain ada yang bisa melenggang padahal melalui titik-titik pencegatan. Dengan alasan tidak sampai hati pun sebaiknya tidak terjadi, apalagi dengan alasan berbeda.

Penerapan hukum tidak sama ini bisa memunculkan ketidakpercayaan kepada aturan, ujungnya adalah ketidakpercayaan kepada pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana aturan. Ketidakpercayaan akan menyebabkan sikap acuh tak acuh, tidak peduli kepada apapun yang terjadi di negeri ini. Perasaan seperti itu, karena situasi tertentu, dipendam jauh di dalam hati. Tidak muncul. Semua seperti tenang-tenang saja. Mirip-mirip dengan ini pernah terjadi ketika era Orde Baru yang memunculkan aksi reformasi 1998.

Hari ini adalah H-1 Lebaran 1442. Jika tidak ada larangan mudik, inilah saat puncak pemudik datang. Artinya, akan datang ribuan orang dari kota berbeda di kampung halaman. Masalahnya memang tak sesederhana membalikkan telapak tangan, karena antisipasi yang harusnya sudah dilakukan jauh hari sebelumnya, tidak mengemuka. Yakni, membangun kesadaran masyarakat bahwa memutus mata rantai Covid-19 itu adalah kepentingan bersama. Tidak sekadar dilarang mudik. 


*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi mediamu.com

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here