Lingkaran Setan Pemilihan Presiden dan Rektor

Lingkaran Setan Pemilihan Presiden dan Rektor

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Muhammad Chirzin

Dahulu, status Presiden adalah mandataris MPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR serta bertanggung jawab kepada MPR.

Hal itu sejalan dengan sila ke-4 Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Atas dasar pengalaman dan pertimbangan tertentu peraturan itu diubah sedemikian rupa, termasuk tentang wewenang, tugas, dan tanggung jawab MPR.

Presiden lalu dipilih oleh  seluruh rakyat Indonesia dan bertanggung jawab kepada rakyat semua.

Pemilihan presiden oleh rakyat demikian itu terbukti berbiaya sangat tinggi dan tidak benar-benar menghasilkan presiden yang memenuhi kehendak dan aspirasi seluruh rakyat Indonesia.

Demokrasi liberal satu kepala satu suara dengan sistem 50+1 itu juga tidak sejalan dengan sila ke-4 Pancasila.

Akankah bangsa Indonesia kembali ke sistem lama atau tetap menggunakan sistem yang telah ada dengan segala kelemahan dan kekurangannya?

Sistem apa pun tak ada yang sempurna dan tak akan dapat memuaskan semua pihak.

Atas dasar kedua sistem pemilihan presiden yang telah dipraktikkan tersebut, bangsa Indonesia perlu melakukan ijtihad politik agar tidak terjebak pada keadaan yang lebih buruk.

Pengalaman serupa dijumpai di Perguruan Tinggi dalam menentukan Rektor sebagai pemimpin tertinggi kampus.

Dahulu, pemilihan Rektor dilakukan oleh Senat Universitas sebagai perwakilan sivitas akademika.

Dinilai tidak atau kurang demokratis, pemilihan rektor lalu dilakukan oleh semua warga kampus, yakni dosen, mahasiswa dan karyawan.

Sebagaimana pemilihan presiden, praktik pemilihan Rektor dengan cara demikian itu dinilai tidak efisien dan tidak efektif.

Lalu Kementerian Agama  berinisiatif mengubah cara pemilihan Rektor kembali ke sistem lama dengan modifikasi tertentu melalui PMA 68 Tahun 2015.

Disebabkan oleh minimnya sosialisasi, praktik pemilihan rektor di sejumlah UIN/IAIN berlangsung berbeda-beda.

Sebelum PMA 68 tersebut diberlakukan sudah timbul berbagai reaksi negatif atas lahirnya Peraturan itu, karena ditengarai bahwa PMA itu tidak mengapresiasi eksistensi sivitas akademika dan membonsai hak demokrasi kampus.

Atas dasar pengalaman pemilihan Rektor dengan tiga cara tersebut yang tidak terbebas dari kekurangan, alangkah baiknya Kementerian Agama mengundang perwakilan insan kampus untuk merumuskan sebuah sistem pemilihan rektor yang terbaik, guna menghasilkan Rektor yang terbaik pula.

Dari khazanah kearifan Islam ditemukan pernyataan, “Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu – apa yang tak tergapai seluruhnya tidak ditinggalkan seluruhnya.”

“Ridhannasi ghayatun la tudraku – Kerelaan semua orang itu tak mungkin terpenuhi.”

Hidup ini sarat politik. Siapa pun yang buta pilitik atau menutup mata dari politik akan menjadi korban politik.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait