Opini

Opini

Opini

May 12, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Membumikan Nilai-Nilai Haji: Menolak Perilaku Mungkar, Zhalim, dan Menyimpang

Oleh: Muhammad Zulfikar Yusuf 

Salah satu fondasi bangunan Islam adalah ibadah haji. Allah mewajibkan setiap muslim yang mampu untuk melaksanakan ibadah haji sekali seumur hidup. Dari seluruh penjuru dunia, umat Islam berkumpul memenuhi panggilan Allah di tanah suci. Ibadah haji bukan hanya persoalan ritual antara seorang hamba dengan Rabbnya. Lebih dari itu, memiliki arti penting bagi kehidupan individu seseorang yang membentuk pribadi dan mengantarkan pada keshalehan sosial.

Tetapi dalam kondisi seperti sekarang, keselamatan merupakan hal paling utama dan mendasar untuk didahulukan sebagai bagian dari maqoshid syariah (tujuan syariat) yaitu hifzhun nafs (menjaga jiwa). Pelaksanaan haji bisa ditunda, karena memberangkatkan jamaah haji bisa mengancam keselamatan nyawa jamaah di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai. Apalagi, mayoritas masyarakat Indonesia yang menjadi jamaah haji sudah lanjut usia.

Ibadah haji bukan hanya soal gelar, di dalamnya terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang patut diwujudkan dalam kehidupan sosial. Solidaritas yang agung dan disimbolkan dari setiap rukun dan wajibnya menjadi dasar bahwa ibadah haji tidak hanya menjadi doktrin agama tetapi merupakan manifestasi ajaran agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Para ulama mengatakan bahwa esensi setiap ajaran agama hanya ada dua, yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghidari kerusakan, termasuk nilai dalam ibadah haji.

Melalui ihram umat muslim harus meninggalkan segala bentuk kesewenang-wenangan, penindasan, kezholiman yang mengantarkan pada kerusakan. Pakaian ihram melambangkan pelepasan segala bentuk atribut keduniaan yang bertujuan mengembalikan fitrah manusia yang suci. Simbol ini mengisyaratkan bahwa harta dan segala yang melekat pada diri hanya sementara dan kelak semua akan dikembalikan kepada Sang Pemilik sejati, sekaligus menjadi bukti bahwa segala hal yang disombongkan akan hilang dan tak bernilai.

Di dalam melempar jumroh (batu kerikil), mengandung pendidikan karakter yang sangat besar. Lempar jumroh menggambarkan segala bentuk kemungkaran, kefasiqan, dan kezholiman adalah musuh bersama dan karenanya harus menjadi lawan bersama. Baik dalam skala besar yang disimbolkan jumroh aqobah bahwa kepribadian seseorang memiliki andil besar dalam setiap tingkah laku, skala sedang yang disimbolkan jumroh wustho bahwa lingkungan mempengaruhi kepribadian, hingga skala kecil jumroh ula bahwa kultur masyarakat sekecil apapun akan berpengaruh terhadap individu.

Pesan yang ingin disampaikan dari lempar jumroh adalah melawan segala bentuk kemungkaran, penindasan, dan ketidakadilan yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan. Kesemua itu adalah simbol segala bentuk perlawanan terhadap kemungkaran dan perilaku menyimpang.

Selain itu, melalui thawaf mengajarkan arti bahwa segala bentuk kemungkaran, kezhaliman, harus  diarahkan menuju perbaikan dan kasih sayang sebagai bentuk ketundukan pada ajaran Allah Yang Maha Esa. Ka’bah adalah simbol suci bagi umat Islam, yang dengan segala lumuran dosa umat manusia di muka bumi, Allah SWT yang menjadi lautan ampunan bagi setiap kesalahan. Begitupun dengan sa’i, menunjukkan bahwa tidak ada hasil yang dilalui tanpa usaha. Semua proses menuju perbaikan, pendewasaan diri dan masyarakat harus diwujudkan dengan usaha dan ikhtiar.

Puncaknya, wuquf bil ‘arafah (berhenti di Padang Arafah), mengajarkan kepada umat Islam untuk memahami kembali, berhenti sejenak sembari mentadabburi arti kehidupan. Di tempat ini juga menjadi perjalanan spritual bagi seorang muslim untuk melakukan persiapan mental, merenungi,  dan memaknai kembali ibadah haji yang kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan laku keseharian.

Di sisi lain, wukuf di Arafah adalah peristiwa agung yang ditunjukkan kepada umat Islam bahwa seluruh manusia di muka bumi adalah sama. Harta, jabatan, latar belakang, status sosial, dan seluruh bentuk keduniaan yang semu dan melekat pada pada diri manusia akan sirna. Tidak ada lagi manusia yang superior, ekslusif, dan berada pada kelas atas. Pemandangan seperti ini memperlihatkan kepada kita semua bahwa seluruh umat manusia adalah sama di hadapan Allah.

Maka seluruh makna dalam ibadah haji yang mampu diaplikasikan dalam kehidupan nyata ialah haji yang mabrur, yang mampu mengubah pribadi menjadi lebih baik. Haji mabrur bukanlah haji yang diterima (haji maqbul), sebagaimana yang banyak didefinisikan oleh orang-orang. Mabrur berasal dari kata birrun yang berarti kebaikan, suatu kebaikan yang muncul setelah hilangnya yang kotor.

Dalam sejarah perjalanan agung Rasulullah SAW, ibadah haji bukan hanya ibadah ritual biasa. Perjalanan ini adalah sebuah kesaksian, bahwa Rasulullah SAW telah mewariskan nilai-nilai agung melalui haji wada’. Segala bentuk penyelewengan dan berbagai belenggu kezhaliman serta eksploitasi alam dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada hari itu, praktik-praktik jahiliah yang tidak memanusiakan manusia telah hilang. Kesemuanya adalah sampah-sampah masyarakat yang harus dibuang jauh-jauh.

Penegasan ini membuktikan kepada seluruh umat manusia, yang mengklaim kemajuan pemikiran dan peradaban, sementara di sisi lain menggali kembali sampah-sampah sisa jahiliah dengan segala perilaku eksploitasi dan penindasan atas nama pembangunan, maka sesungguhnya mereka kembali menuju kemunduran peradaban yang tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusian universal. Itulah yang ingin Islam hilangkan sebagai bentuk agama rahmatan lil ‘aalamiin.

Akhirnya, di tengah kondisi pandemi Covid-19 dan pelaksanaan haji yang masih tertunda, penting bagi kita memaknai kembali dimensi sosial dalam ibadah haji. Ibadah ini bukan hanya persoalan ritual, di balik itu terdapat nilai-nilai agung yang menjadi prinsip dasar kemanusiaan bagi seluruh umat manusia, bahwa kita semua adalah sama. Terlebih dalam masa krisis yang hampir setiap orang berada dalam kesulitan, penting bagi setiap umat Islam memiliki rasa kepedulian dan kepekaan (sense of crisis). Substansi yang dihadirkan ibadah haji adalah menolak segala perilaku mungkar, zhalim, dan menyimpang.

*Penulis adalah Kepala Bidang Tabligh dan Kajian Keislaman DPD IMM DIY

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here