Mengatasi Covid-19, Harusnya Tidak Berkutat pada Mengubah Istilah
Oleh: Heru Prasetya*)
Jum’at 10 Juli 2020, Juru Bicara Pemerintah pada Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 , Achmad Yurianto, mengatakan bahwa istilah new normal yang sering digunakan selama pandemi ini adalah diksi yang salah. Sebaiknya istilah tersebut diganti dengan kebiasaan baru.
Senin 13 Juli 2020, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan HK.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Dalam Kepmen yang ditandatangani 13 Juli 2020 itu, Terawan mengganti istilah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang tanpa gejala (OTG) dengan sejumlah definisi baru. ODP berubah menjadi kontak erat, PDP menjadi kasus suspek, dan OTG menjadi kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik).
Dua hal itu menghiasai pemberitaan media mainstream maupun media sosial dalam hari-hari belakangan pada saat penyebaran virus Corona belum menunjukkan angka penurunan. Angka yang dirilis Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyebutkan, Selasa 14 Juli 2020 ada penambahan 1.591 kasus baru. Sehingga total 78.572 kasus Covid-19 di Indonesia sejak diumumkan 2 Maret 2020.
Pada periode sama ada penambahan 947 pasien sembuh. Dengan demikian total pasien sembuh 37.636 orang. Sedangkan pada 13-14 Juli 2020 ada penambahan 54 pasien meninggal dunia, sehingga total pasien Covid-19 di Indonesia yang meninggal dunia 3.710 orang.
Muncul kesan, di saat penyebaran virus masih terjadi, malah sibuk dengan persoalan simbol. Istilah new normal, ODP, PDP, dan OTG adalah simbol, bukan substansi persoalan yang sebenarnya yaitu “menghentikan” penyebaran virus. Mungkin seperti pasien di rumah sakit, tidak diatasi penyakitnya, tapi hanya diganti bajunya. Atau, agar seakan-akan “pasien lama” sudah sembuh, maka diganti namanya.
Saya jadi ingat, ketika Presiden Joko Widodo menargetkan kurva penambahan pasien positif Covid-19 menurun pada Mei 2020 seperti ditulis kompas.com 6 Mei 2020. “Target kita di bulan Mei ini harus betul-betul tercapai, sesuai dengan target yang kita berikan, yaitu kurvanya sudah harus turun, dan masuk posisi sedang di Juni. Di Juli harus masuk posisi ringan dengan cara apa pun,” ujar Jokowi saat membuka sidang kabinet melalui video conference.
Sebenarnya persoalan bukan pada permainan kata, tapi bagaimana kata-kata diwujudkan dalam program nyata. Misalnya, setelah menargetkan bulan Mei 2020 ada penurunan jumlah pasien positif Covid-19, kemudian diikuti langkah-langkah efektif, baik medis, sosial, budaya, politik, agama, ekonomi, dan lain-lain. Segala hal terkait dengan penyebaran virus Corona distop, di-lockdown. Jika mau PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) benar-benar full, jangan sampai PSBB justru dilawan dengan “PSBB” (Pembebasan Sosial Berskala Besar).
Publik membaca, tidak konsistennya antara kata dan perbuatan adalah cermin keragu-raguan. Respon publik lebih ekstrem dan lebih membahayakan, yaitu sikap semau sendiri. Sehingga muncul kerumunan tanpa mengindahkan protokol kesehatan anti-Covid-19, seakan-akan Indonesia sudah bebas virus Corona. Rilis harian yang menyebut selalu ada penambahan kasus baru di atas 1.000 sangat mudah dibaca bahwa Covid-19 tetaplah berbahaya.
Ada contoh lagi, yakni pencabutan Maklumat Kapolri Nomor: MAK/2/III/2020 tanggal 19 Maret 2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19). Maklumat ini antara lain berisi larangan dan upaya pembubaran terhadap kerumunan pada masa pandemi Covid-19.
“Polri mengeluarkan surat telegram no STR/364/VI/OPS.2./2020 tanggal 25 Juni 2020 tentang Perintah Kepada Jajaran Mengenai pencabutan Maklumat Kapolri dan Upaya Mendukung Kebijakan Adaptasi Baru/New Normal,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono melalui keterangan resmi, Jumat 26 Juni 2020 seperti ditulis CNN Indonesia.
Argo menuturkan, setiap anggota kepolisian tetap diminta melakukan pengawasan dan pendisiplinan kepada masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan. “Seperti memakai masker, jaga jarak, mencuci tangan dan menerapkan pola hidup bersih dan sehat,” lanjut dia.
Publik terlena dengan judul “New Normal, Kapolri Cabut Maklumat soal Larangan Kerumunan”. Sepertinya, karena new normal maka kerumunan sudah dibolehkan. Masyarakat telanjur euphoria. Padahal ada syarat dan ketentuan berlaku: pakai masker, jaga jarak, cuci tangan, dan menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Jika dipahami secara seksama, maka masih sama dengan maksud Maklumat.
Jum’at 5 Juni 2020, beredar berita “Kemenag Bolehkan Pengajian Langsung Digelar Lagi”. Berita ini kemudian tersebar luas di jaringan pesan singkat, seperti WhatsApp. Cepat sekali peredarannya. Tanpa membuka isi berita, banyak yang menganggap sudah boleh pengajian lagi. Padahal masih ada embel-embel di belakangnya: tetap mematuhi protokol kesehatan.
“Iya, boleh asalkan diperhatikan protokol kesehatan, jaga jarak, menggunakan masker seperti itu,” kata Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama, Agus Salim, seperti dimuat republika.co.id.
Emosi publik diaduk-aduk. Kerinduan berkerumun dan pengajian langsung seperti terobati. Mereka euphoria, suka cita, membayangkan nonton konser, membayangkan hadir di pengajian akbar. Ternyata itu hanya “PHP”, karena ada syarat dan ketentuan “terselip” di dalamnya.
Senada dengan itu adalah istilah new normal yang diralat dan diganti dengan kebiasaan baru. Apa yang beda? Hanya istilahnya. Karena baik new normal maupun kebiasaan baru itu dengan syarat dan ketentuan yang sama, yaitu mematuhi protokol kesehatan anti Covid-19. Dan sampai tulisan ini dibuat, istilah new normal tetap lebih sering digunakan ketimbang kebiasaan baru.
Apakah publik akan mudah mengganti istilah ODP, PDP, dan OTG? Jujur saja, istilah tersebut telanjur populer dan lebih simple karena berupa singkatan yang hanya terdiri dari tiga (3) huruf. Sehingga, mudah diingat dibandingkan kontak erat, kasus suspek, dan kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik). Bukan tidak mungkin, istilah ODP, PDP, dan OTG akan bertahan lama, khususnya di kalangan grass root.
Sebenarnya, ada hal lebih urgen yang bisa dilakukan Menteri Kesehatan dibandingkan sekadar mengeluarkan keputusan mengganti istilah tadi. Pandemi ini muaranya adalah penyebaran virus Corona. Dampaknya memang sudah luar biasa kemana-mana, tapi ujung-ujungnya adalah masalah kesehatan, sehingga peran Menteri Kesehatan harus dominan disini.
Anggaran luar biasa besar yang dirancang pemerintah harus dimaksimalkan kemanfaatannya untuk mengatasi Covid-19, dari pada sekadar mengubah-ubah istilah. Angka Rp 905, 10 trilyun seperti diberitakan merdeka.com 19 Juni 2020 disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai jumlah yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Jumlah tersebut merangkak naik dari rencana awal Rp 405,1 trilyun, kemudian berubah menjadi Rp 677,2 trilyun, dan kemudian naik menjadi Rp 695,2 trilyun. Jika Rp 905 trlyun dibagi rata ke seluruh penduduk Indonesia (misalnya 250 juta manusia), maka tiap penduduk mendapatkan Rp 3.620.000 (tiga juta enam ratus dua puluh ribu rupiah). Anggap saja yang Rp 0,1 trilyun sebagai biaya operasional dan adminsitrasi. (*)
*)Tim Redaksi mediamu.com dan anggota MPI PWM DIY
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow