Menyambut Ramadhan dengan Entheng
Oleh: Fikri Fadh*
Entheng adalah ringan, atau mudah. Sebagai umat Islam yang sudah berkali-kali berjumpa dengan bulan Ramadhan, tentunya akan entheng jika berjumpa dengan bulan tersebut. Tapi jangan sekali-kali ngenthengke (menyepelekan)
Entheng bersilaturahmi
Silaturahmi ke markas besar Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah (MPI), menjadi salah satu aktivitas yang menyenangkan. Disambut dengan hangat oleh mas Adim dan juga secangkir kopi. Bubuk kopi pilihan yang berdatangan dari penjuru Nusantara. Kopi tersebut dibawa oleh para kader Muhammadiyah dari daerah yang menyempatkan mampir ke kantor MPI, ketika ke Jogja.
Biasanya saya mencurhatkan tentang urusan terbit-menerbit, ke mas Adim. Kebahagiaan selanjutnya adalah ketika mas Adim berdiri, memberi jeda saat kita ngobrol. Beliau pasti bertanya, “mau to bawa pulang buku?”. Beliau segera memilih-milih buku yang berderet, tersusun menumpuk di sebagian ruangan. Markas MPI memang salah satu ruangan sunyi di tengah hiruk pikuk kemajuan Jogja.
Buku lawas yang entheng
Ada sebuah buku yang saya suka, pemberian dari MPI. Buku tersebut cetakan ketiga, tepatnya 19 Desember 1990 di Yogyakarta. Tidak ada ISBN sebagai mana buku yang terbit di era modern, hanya tertulis pihak yang mencetak. Buku bersampul kuning dengan bergambar logo Muhammadiyah dan angka 42 itu berjudul SOAL-JAWAB ENTHENG ENTHENGAN. Bagian bawah cover terdapat tulisan, oleh : Pak AR-yogya. Bukunya entheng, judulnya pun entheng, semoga entheng juga untuk membacaya. Kertas selembar pun akan terasa berat jika tidak kita lawan.
Beberapa kali saat beraktivitas di luar, saya membawa buku tersebut di dalam tas. Membukanya disaat sela-sela beraktivitas. Membacanya kadang tersenyum-senyum sendiri, bahkan garuk-garuk kepala. Buku tersebut menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil. Bahasa yang halus dalam bertutur. Tentu penulisnya pun seorang ulama yang sangat halus dan santun.
Salah satu ulama Muhammadiyah yang mengarsipkan ceramahnya adalah beliau ini, Pak AR. Buku tersebut merupakan arsip ceramah beliau saat mengisi di R.R.I Nusantara II Stasiun Yogyakarta. Beliau memiliki jadwal rutin di radio tersebut setiap Selasa dan Sabtu pagi. Kerja kearsipan yang sangat bagus sekali. Sehingga kader Muhammadiyah bisa mengetahui ceramah beliau, terutama yang belum lahir pada tahun 1990.
Sebuah Bab yang entheng
Ceramah Pak AR yang tertulis dalam buku tersebut, juga memuat sebuah nasehat. Bab tersebut adalah bab shalat tarawih. Terdapat tujuh butir nasehat dalam bab tersebut. Saya akan mencoba memahami dan menuturkan ulang nasehat beliau dalam bahasa Jawa Kromo Inggil ini. Meskipun tidak akan semua saya ulas, hanya butir pertama dan kedua saja.
“Monggo kita sami anggayengaken jama’ah salat tarweh wonten ing masjid-masjid utawi ing langgar-langgar”. Kira-kira seperti ini alih bahasanya. “Mari kita bersama-sama meramaikan sholat tarawih berjamaah di Masjid atau di Langgar.” (Langgar merupakan sebutan untuk Surau bagi orang Jawa).
Ada sebuah kata yang beliau pilih, yang bisa kita petik pelajarannya. Kata tersebut adalah “anggayengaken”. Kata tersebut berasal dari kata “gayeng”. Beliau tidak hanya mengajak untuk sholat tarawih berjamaah, tapi juga menjadi penggeraknya. “Gayeng” adalah kata yang digunakan untuk menyebut sesuatu yang asyik, bergembira, ramai dan sejenisnya. Sehingga dengan membuat gembira para jamaah, nantinya tidak akan kesulitan dalam mengajaknya sholat tarawih dan sholat fardhu berjamaah di masjid. Jamaah diajak dan dibuat senang, tidak malah di takut-takuti atau dengan cara pemaksaan. Dengan menggunakan cara-cara yang “gayeng”, akan menjadikan jamaah “entheng” untuk melangkah ke masjid.
Memilih imam dan menjadi jamaah dengan entheng.
Bagi beberapa masjid, perkara memilih imam bisa menjadi geger. Bisa jadi karena jadwal imam hari tersebut tidak cocok dan beda bendera, akhirnya memilih tidak tarawih berjamaah. Lah. . . Kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang sudah dewasa, baik dalam keilmuan umum maupun agama. Semoga butir kedua nasehat Pak AR ini, bisa menjadi salah satu renungan kita bersama.
“Sinten imamipun monggo kita pilih ingkang pancen ahli agami – kathah afalanipun surat-surat utawi ayat-ayat Al-Qur’an – lan pantes dados imam lan dados conto anggenipun nindakaken agami, nindakaken pangibadah, sarto akhlaq budi pakertinipun, kita boten mbenten-mbentenaken menapa golongan PPP, Golkar, PDI, Muhammadiyah, NU lan sanes-sanesipun, Sauger anggenipun nindakaken agami saestu”
Kurang lebih seperti ini alih bahasanya.
“Siapapun imamnya, mari kita pilih yang lebih paham agama – banyak hafalan surat-surat atau ayat-ayat Al-Qur’an – dan pantas menjadi imam dan bisa menjadi contoh dalam menjalankan perintah agama, menjalankan ibadah serta berakhlak mulia, kita tidak boleh membeda-bedakan dari golongan mana, entah PPP, Golkar, PDI, Muhammadiyah, NU dan yang lainnya. Seperti itulah bagaimana kita beragama”.
Era saat partai politik tiga saja, sudah ada nasehat seperti itu. Bagaimana era sekarang? Perkara memilih imam sholat, janganlah membuat jamaah menjadi terpecah. Imam yang tidak terpilih malah membangun masjid sendiri dan membuat jamaah sendiri. Hal itukan kurang baik untuk keutuhan umat Islam.
Perlu menjadi refleksi kita bersama, selain memilih imam yang kompeten. Kita sebagai jamaah juga harus siap menjadi jamaah yang kompeten. Kadang kala kita sibuk mencari imam yang kompeten, malah lupa bagaimana cara menjadi jamaah yang kompeten. Meskipun jadwal imam waktu tertentu kita tidak cocok, tetaplah sholat berjamaah. Sehingga nanti umat Islam ini menjadi jamaah yang utuh dan kuat. Hal itu kira-kira entheng tidak untuk dilakukan?
Mari kita sambut bulan Ramadhan dengan entheng. Selain entheng menahan makan dan minum di siang hari, entheng juga untuk mengajak sholat berjamaah. Juga entheng untuk memafkan saudara-saudara kita. Matur nuwun Pak AR atas nasehatnya, semoga Ramadhan tahun ini dapat dijalani kanthi enteng.Tabik.
*Penulis adalah Founder Komunitas Literasi Janasoe dan Alumni Tafsir Hadis UAD
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow