Merunut Istilah New Normal yang Diralat
Oleh: Heru Prasetya*)
Tidak hanya sekali dua kali terjadi di negeri ini, pernyataan pejabat yang sudah tersebar luas di masyarakat kemudian diralat (istilah halusnya adalah “muncul penjelasan kemudian”). Jurus akrobatik meralat sering dipertontonkan secara kasat mata di muka publik. Contoh agak hangat adalah munculnya pernyataan akan diproduksi masal kalung anticorona. Itu tetap wooowww…meski kemudian ada penjelasan dari staf ahli.
Kabar paling mutakhir tak kalah maknyus adalah pengakuan bersalah pemerintah atas penggunaan istilah new normal selama masa wabah Covid-19 ini. Kata new normal bahkan disebut sebagai diksi salah.
Adalah Achmad Yurianto, Juru Bicara Pemerintah pada Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 , yang mengatakan hal tersebut dalam acara peluncuran buku “Menghadang Corona: Advokasi Publik di Masa Pandemi” karya Saleh Daulay di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Jumat 10 Juli 2020.
“Diksi new normal itu sebenarnya di awal diksi itu segera kita ubah, waktu social distancing itu diksi yang salah, dikritik langsung kita ubah, new normal itu diksi yang salah, kemudian kita ubah adaptasi kebiasaan baru tapi echo-nya nggak pernah berhenti, bahkan di-amplify ke mana-mana, gaung tentang new normal itu ke mana-mana,” kata Yuri seperti dilansir portal berita CNN Indonesia.
Pernyataan tersebut menjadi menarik karena istilah new normal sudah sangat familiar di tengah-tengah masyarakat. Tokoh masyarakat dari tingkat pusat sampai level RT sering menyebut-nyebut istilah ini ketika mengajak masyarakat beraktivitas seperti sediakala meski virus Corona masih mengancam.
Tanggal 15 Mei 2020 (sesuai tanggal pemuatan di antaranews.com) Presiden Joko Widodo sudah menyebut istilah new normal sebagai era yang akan dihadapi bangsa Indonesia, dimana masyarakat harus hidup berdampingan dengan Covid-19. Dalam keterangan resmi dari Istana Merdeka, Jakarta, Presiden kembali menjelaskan bahwa hal tersebut bukan berarti menyerah dan menjadi pesimistis. Justru dari situlah menjadi titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat untuk dapat beraktivitas kembali sambil tetap melawan ancaman Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Istilah new normal awalnya dikemukakan Direktur Regional WHO Eropa, Dr Hans Henri P Kluge. Tapi untuk bisa sampai pada level new normal ada 6 (enam) syarat yang harus dipenuhi. Mengutip pendapat Hans Henri, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Prof Ridwan Amiruddin Ph.D., menyebut syarat-syarat tersebut.
Pertama, negara yang akan menerapkan konsep new normal harus memiliki bukti bahwa penularan Covid-19 di wilayahnya telah bisa dikendalikan. Bila mengacu pada angka reproduksi (R0), situasi bisa dikatakan terkendali bila angka R0 di bawah 1.
Kedua, sistem kesehatan yang ada sudah mampu melakukan identifikasi, isolasi, pengujian, pelacakan kontak, hingga melakukan karantina orang yang terinfeksi. Sistem kesehatan ini mencakup rumah sakit hingga peralatan medis.
Ketiga, risiko wabah virus corona harus ditekan untuk wilayah atau tempat dengan kerentanan tinggi. Utamanya adalah panti wreda, fasilitas kesehatan mental, serta kawasan pemukiman yang padat.
Keempat, penetapan langkah-langkah pencegahan di lingkungan kerja. Langkah-langkah pencegahan ini meliputi penerapan jaga jarak fisik, ketersediaan fasilitas cuci tangan, dan penerapan etika pernapasan seperti penggunaan masker.
Kelima, risiko terhadap kasus dari pembawa virus yang masuk ke suatu wilayah harus bisa dikendalikan.
Keenam, masyarakat harus diberikan kesempatan untuk memberi masukan, berpendapat dan dilibatkan dalam proses masa transisi menuju new normal.
Enam syarat tersebut merupakan bagian tak terpisahkan untuk menyebut suatu wilayah atau negara memasuki era new normal. Dari syarat pertama hingga keenam, Indonesia sepertinya harus bekerja keras bisa mencapainya. Sehingga ketika new normal dilontarkan awal oleh Presiden Jokowi respon menolak muncul di tengah-tengah masyarakat.
Muhammadiyah melalui MCCC (Muhammadiyah Covid-19 Command Center) bahkan menyebut era kehidupan masa pandemi ini sebagai era abnormal, bukan new normal. Argumentasinya sangat sederhana, karena – jika mau terhindar virus corona – memang tidak ada yang normal seperti semula. Contoh sederhananya adalah harus mengenakan masker dan selalu jaga jarak dengan orang lain.
Dalam rilisnya tanggal 6 Juli 2020, MCCC PP Muhammadiyah menegaskan bahwa penyebaran Covid-19 belum berakhir, sehingga masyarakat harus secara ketat menerapkan protokol kesehatan dalam kehidupan sehar-hari.
Update data Covid-19 sampai Sabtu 11 Juli 2020 pukul 12.00, ada penambahan 1.671 kasus baru dalam 24 jam terakhir. Penambahan itu menyebabkan kini ada 74.018 kasus di Indonesia, terhitung sejak diumumkannya pasien pertama oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Hingga saat ini virus ini sudah menyebar di 34 provinsi dengan 459 kabupaten/kota.
Di saat penyebaran virus corona belum juga mereda, sebenarnya yang dibutuhkan adalah analisis komprehensif untuk bisa dilakukan penanganan secara komprehensif. Keputusan atau pernyataan yang hanya mengutamakan satu dua kepentingan seharusnya dihindari, karena hanya akan memunculkan ralat dan ralat lagi. Lebih baik seluruh energi yang ada dipakai untuk mengatasi pandemi global ini. (*)
Tim Redaksi mediamu.com
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow