Sejarah Salat Idul Fitri Muhammadiyah di Lapangan
Oleh: Mu’arif*
Salah satu “identitas” Muhammadiyah adalah salat Idul Fitri di lapangan, sekaligus juga membedakan dengan NU, yang memilih salat di masjid. Sejak kapan Muhammadiyah mempraktikkan penyelenggaraan salat Id di tanah lapangan, di tanah terbuka? Atas ijtihad siapa?
Memang sulit untuk menjawab pertanyaan di atas. Tapi baiklah, saya akan mencoba membahasnya dalam tulisan pendek ini. Semoga saja ada manfaatnya.
Penentuan hilal Ramadan maupun Idul Fitri dan Idul Adha menggunakan metode hisab merupakan tradisi praktik keagamaan peninggalan KH. Ahmad Dahlan, pendiri dan President pertama Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah. Tetapi, praktik penyelenggaraan salat Id di lapangan yang sudah menjadi ciri khas Muhammadiyah hingga kini tidak ditemukan dalam rekam jejak kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan.
Sesulit apapun pertanyaan ini tentu tersedia jawabannya, sekalipun mungkin masih perlu diverifikasi kembali. Hasil penelusuran beberapa dokumentasi Muhammadiyah periode awal memang tidak menemukan indikasi, apalagi bukti, bahwa praktik penyelenggaraan Salat Id di tanah lapangan pada masa Kiai Ahmad Dahlan, tetapi pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim.
Metode Hisab
Penggunaan metode hisab dalam penentuan awal bulan di kalangan Muhammadiyah merupakan tradisi yang diwariskan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Pada masanya, praktik semacam ini merupakan ’kebaruan’ (tajdid) karena merupakan umat Islam di Yogyakarta masih berpegang pada kalender Jawa (Aboge).
Sumber Junus Salam (2009) pernah mengungkap peristiwa penting yang berkaitan dengan proses interaksi antara Kiai Ahmad Dahlan dengan kekuasaan Kraton Yogyakarta dalam rangka mengenalkan paradigma baru praktik keagamaan pada waktu itu.
Sebagai seorang abdi dalem, Kiai Ahmad Dahlan tentu tidak memiliki otoritas untuk mengubah tradisi keagamaan yang sudah melekat dalam kultur Kraton Yogyakarta. Tetapi pada akhirnya, gagasan Kiai Ahmad Dahlan dapat ditolerir oleh sang raja (Sultan), sekalipun tidak mampu memengaruhi tradisi di kalangan internal Kraton Yogyakarta.
Peristiwa ini terjadi ketika jabatan Hoofdpenghulu Kraton Yogyakarta dipegang oleh K.H. Muhammad Kamaludiningrat (K.H. Sangidu), tepatnya pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono (HB) VII.
Kiai Ahmad Dahlan diterima pihak Kraton lewat perantara Hoofdpenghulu. Dengan penuh hormat mengikuti prosedur kraton, Kiai Ahmad Dahlan menyampaikan pandangannya tentang perhitungan hilal Syawwal yang menurut metode ilmu hisab berbeda dengan perhitungan kalender Aboge.
Namun, ada yang aneh dengan suasana tempat di mana K.H. Ahmad Dahlan diterima oleh Sultan HB VII. Ruangan tampak gelap gulita. Tetapi suara sang Sultan terdengar jelas sekali. Sehingga Kiai Ahmad Dahlan pun tidak kikuk, tidak grogi, karena ia menyampaikan pandangannya dalam kondisi ruangan gelap gulita.
Selesai Kiai Ahmad Dahlan berargumentasi, lampu ruangan dinyalakan sehingga terang benderang. Betapa terkejut Kiai Ahmad Dahlan karena di ruangan tersebut Sultan HB VII beserta seluruh jajarannya tampak lengkap menyaksikan dengan seksama kehadiran tokoh Muhammadiyah ini. Suatu kebijaksanaan yang di luar dugaan Kiai Ahmad Dahlan karena pada waktu itu Sultan HB VII memutuskan:
”Berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, sedang Grebeg di Yogyakarta tetap bertradisi menurut hitungan Aboge” (Junus Salam, 2009: 156-157).
Kebijakan Sultan HB VII inilah yang menjadi satu argumen kuat bahwa gerakan pembaruan keagamaan Muhammadiyah tidak mampu menyentuh struktur tradisi Kraton Yogyakarta hingga kini. Mengapa?
Sebab, Muhammadiyah memang dibolehkan menyelenggarakan Shalat Idul Fitri lebih dahulu, bahkan diizinkan menggunakan fasilitas Masjid Agung Yogyakarta untuk menggelar salat Id. Sementara pihak Kraton tetap berpegang pada kalender Aboge yang berbeda dalam penentuan awal Syawwal.
Kiai Ahmad Dahlan memang dikenal menguasai Ilmu Falak (Astronomi) ketika mengusung gerakan pembaruan Islam di Kauman, Yogyakarta, pada awal abad ke-20. Penguasaan terhadap Ilmu Falak jelas memiliki korelasi dengan metode hisab dalam penentuan awal bulan.
Sumber Junus Salam (2009: 59-60) menyebutkan bahwa Kiai Ahmad Dahlan belajar Ilmu Falak (Astronomi) dan juga Ilmu Bumi kepada Raden Haji Dahlan (Semarang) dan Syekh Jamil Jambek (Bukittinggi). Raden Haji Dahlan adalah putra Kiai Tremas (Pacitan), menantu Kiai Saleh Darat (Semarang). Dia pakar Ilmu Falak yang tersohor di tanah Jawa. Sedangkan Syekh Jamil Jambek adalah ulama kelahiran Bukittinggi. Dia termasuk salah seorang murid Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawiy ketika belajar di Makkah.
Djamil Djambek memiliki wawasan yang luas tentang bagaimana sikapnya dalam menghadapi kemajuan zaman. Kemampuan spesifik yang dimiliki Djamil Djambek adalah di bidang Ilmu Falak (Astronomi).
Selain Raden Haji Dahlan di Semarang dan Syekh Djamil Jambek di Minangkabau, ulama pakar Ilmu Falak yang cukup tersohor di nusantara pada waktu itu adalah Sayid Usman al-Habsyi di Batavia. Kiai Ahmad Dahlan yang berprofesi sebagai pedagang kain sering bepergian ke Batavia (Jakarta).
Dalam sebuah kesempatan, Kiai Ahmad Dahlan pernah bertemu dengan Sayid Usman al-Habsyi untuk belajar mengasah kemampuan Ilmu Falaknya. Dengan cara demikian, matanglah kemampuan Ilmu Falak Kiai Ahmad Dahlan sewaktu menggunakan metode hisab dalam penentuan hilal Syawwal yang hasilnya berbeda dengan kalender Aboge.
Salat Id di Tanah Lapangan
Sampai sejauh ini, sumber-sumber primer maupun sekunder yang memuat informasi praktik penyelenggaraan Shalat Id di tanah lapangan pada masa Kiai Ahmad Dahlan belum ditemukan.
Dalam artikel ”Agama Islam” yang ditulis langsung oleh Kiai Ahmad Dahlan di majalah Soewara Moehammadijah no. 2 tahun 1915 tidak ditemukan penjelasan praktik Salat Id di tanah lapangan. Begitu juga artikel ”HARI-RAIA” yang ditulis oleh Junus Anis di majalah Soewara Moehammadijah (edisi no. 5 & 6 th. 1923) tidak menyebutkan indikasi tentang pelaksanaan salat Id di tanah lapangan.
Ketika menyebut tentang salat Id, dalam artikelnya, Kiai Ahmad Dahlan memaparkan:
”Sunat ’Ain itu, seperti: Shalat Hari Raya dua (Hari Raya Haji dan Hari Raya Fitri), dan Shalat Gerhana ada dua (gerhana matahari dan bulan)…” (Soewara Moehamamdijah no. 2 th. 1915).
Sedangkan Yunus Anis ketika menulis artikel ”HARI-RAIA” tidak menyinggung sama sekali pelaksanaan salat Id di tanah lapangan. Berikut saya kutip sepenggal tulisannya:
”Ketika terbit MATAHARI-RAIA, jang ditoenggoe-toenggoe oleh segenap kaoem Moeslimin dari moelai petang hari, bergilang-goemilanglah mereka itoe dari senang dan girang dari moelai tjahaja sinarnja menerangi Doenia Islam. Karena telah selesih dan tjoekoep bolehnja mendjoendjoeng beban kewajiban jang diperintahkannja oleh Toehan Allah Jang Maha Koeasa jang akan memberi anoegerah dan pahla bagai di Doenia dan Acherat…”
Penelusuran dokumentasi Muhammadiyah yang memuat informasi tentang praktik penyelenggaraan salat Id di tanah lapangan mulai menemukan kejelasan ketika dalam Almanak Muhammadiyah 1394 H/1974 Mterdapat tulisan kronik peristiwa dengan judul ”Peristiwa-peristiwa Bersejarah dalam Muhammadiyah” yang ditulis oleh H. Surono W.
Dengan sangat kreatif, Surono menginventaris peristiwa-peristiwa berdasarkan urutan tahun, dimulai dari tahun 1918 hingga 1971. Pada tahun 1926, Surono menulis peristiwa ”SHALAT ’IED DI TANAH LAPANG: Kongres ke-15 di Yogya memutuskan: menjalankan Sholat ’Ied di tanah-tanah lapang” (lihat Almanak Muhammadiyah 1394 H/1974 M: 19). Informasi seputar awal pelaksanaan salat Id di tanah lapangan dalam sejarah Muhammadiyah ’hampir’ menemukan titik terang.
Kenapa hampir? Bukankan sudah jelas dan tegas kronik yang disusun oleh Surono itu? Kita janganlah gegabah menerima dan langsung mencerna data sejarah tanpa proses verifikasi. Kekuatan sejarah terdapat pada bagaimana suatu sumber diverifikasi secara ketat sehingga menjadi data yang valid.
Berdasarkan sumber Surono (1974), sangat jelas disebutkan dua jenis data: pertama, Kongres ke-15 di Yogya. Kedua, keputusan kongres tentang pelaksanaan salat Id di tanah lapang.
Jika dianalisis kedua data tersebut menggunakan sumber-sumber sejarah yang lain, maka ditemukan hubungan yang tidak singkron antara keduanya. Terutama karena data pertama tidak sesuai dengan data kronologi peristiwa kongres-kongres Muhammadiyah yang disusun oleh Djarnawi Hadikusuma (1977).
Kongres Muhammadiyah ke-15 yang diselenggarakan pada tahun 1926 sudah benar, tetapi tempat pelaksanaannya tidak di Yogyakarta—merujuk sumber Surono, tetapi di Surabaya—merujuk sumber Djarnawi Hadikusuma. Kongres Muhammadiyah ke-15 pada tahun 1926 di Surabaya diselenggarakan pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim.
Dengan demikian, sejarah pertama kali salat Id di tanah lapangan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah pada tahun 1926, melalui keputusan Kongres ke-15 di Surabaya, pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim.
*Penulis adalah Pengkaji sejarah Muhammadiyah, kini menempuh program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: https://alif.id/read/muarif/sejarah-salat-idul-fitri-muhammadiyah-di-lapangan-b210101p/
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow