Mu’allimat, Sekolahnya para Pendidik

Mu’allimat, Sekolahnya para Pendidik

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Dr. Faiz Rafdhi, M.Kom*)

Rasanya, baru kemarin saya mengantarkan ananda Rifda Hanun ke Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Terlihat saat itu ada yang menangis terharu, baik sekadar terisak-isak, ada juga yang menangis histeris dilakukan anak-anak maupun para ibundanya.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Di depan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir, M.Si, Ketua Umum PP ‘Aisyiyah Dra Hj Siti Noordjannah Djohantini, MM, M.Si, Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Mu’allimin-Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta Dr Agung Danarto, M.Ag beserta anggota: Dra Hj Shoimah Kastolani, Dr Habib Chirzin, Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta Aly Aulia, Lc, M.Ag, Direktur Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta Agustyani Ernawati, M.Pd beserta wakil direktur, para ustadz dan ustadzah serta pamong asrama, saya mewakili orang tua para siswi kelas VI Mu’allimaat yang lulus, merasa sangat terharu.

Sudah enam tahun masa itu terlewati. Kini, saatnya berpisah. Meski perpisahan sesungguhnya sudah terjadi sejak negeri ini dinyatakan darurat Covid-19. Dan pihak madrasah mengambil keputusan pahit dengan mengembalikan ananda ke orang tua masing-masing, demi kemaslahatan bersama.

Kini, secara resmi pihak Mu’allimaat mengembalikan amanah yang diberikan para orang tua siswi untuk dapat mendidik, membina, menempa, menggembleng anak-anak tersebut selama 24 jam x 6 tahun karena masanya telah usai. Untuk itu, saya haturkan terima kasih tak terhingga atas jerih payah Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta, utamanya kepada Direktur, Wakil Direktur, staf, ustadz dan ustadzah, pamong, termasuk ibu dapur, yang telah sabar mendidik mereka dengan segala dinamika dan “kenakalan”-nya, baik di kelas maupun di asrama.

Atas nama orang tua siswi Mu’allimaat saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf atas segala polah anak-anak kami.

Cerita tentang Mu’allimat dan Mu’allimin bagi saya tidak asing. Atau, sekadar baru kenal enam tahun ini.

Sejarah Mu’allimat dan Mu’allimin bagi saya justru sepanjang usia saya. Karena dari rahim alumni Mu’allimat saya dilahirkan. Dan Mu’allimin adalah tempat saya dilahirkan karena saat itu bapak saya, Drs Chusnan Jusuf — yang juga alumni Mu’allimin tahun 1965 — pernah menjadi pembimbing di sana. Dan ibunda saya, Prof Dr. Masyitoh, M.Ag, mantan Rektor UMJ pernah menjadi ibu asrama.

Andaikan tahun 70-an sudah ada smartphone, tentu jendela pembimbing atau musyrif menjadi saksi sejarah dan meninggalkan jejak digital. Di sana tertulis nama saya lengkap dengan tanggal lahir. Saya masih sempat menyaksikan jendela tersebut saat saya kelas 1-6 Mu’allimin.

Mungkin, saya satu-satunya yang dilahirkan di sana. Kini, jendelanya telah roboh akibat gempa dan direnovasi pada tahun 2005. Mu’allimin menjadi saksi bisu. Di sanalah terjadi diskusi serius tapi santai tentang pendirian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) antara bapak saya Chusnan Jusuf, Musthofa Kamal Pasha, Alfian Darmawan, Habib Chirzin dan yang lainnya.

Terlihat, Mu’allimin tidak sekadar melahirkan anak didik yang berpikir merdeka seperti Buya Syafii Maarif. Tapi juga melahirkan pemikiran dan karya monumental seperti UMY yang memiliki tagline “Muda Mendunia”.

Perkenalan saya dengan Mu’allimat setelah dari rahim alumni berlanjut ke kehidupan saya berikutnya. Ketika saya menikah dengan gadis alumni Mu’allimat: Maisaroh Nurharjanti, M.Ag.

Oleh karena itu, saya menjadi saksi, produk Mu’allimat membanggakan dan jaminan mutu. Saya kira, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir, MSi juga mengakui. Mengapa? Karena saya yang dididik ibu yang alumni Mu’allimat merasakan langsung.

Teringat saat di Ibtidaiyah/SD, saya pernah mendapatkan nilai imlak Bahasa Arab yang jeblok di bawah 5. Berkat kesabaran dan ketekunan ibu, nilai imlak saya meningkat menjadi teratas, bahkan berlanjut hingga ke Mu’allimin. Insya Allah saat ini saya masih bisa imlak.

Tentu, didikan ibu bukan sekadar masalah imlak. Hingga jenjang doktorpun saya diajar dan dididik ibu. Di sisi lain contoh akhlak, kesantunan, jiwa mau berbagi, pengabdian antara tugas ‘Aisyiyah dan ibu rumah tangga termasuk memimpin Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) membekas di ingatan saya.

Maka, ketika saya menikahi alumni Mu’allimat, saya haqqul yakin tugas saya sebagai suami dan kepala rumah tangga relatif lebih ringan. Saya tidak perlu mendidiknya lagi. Karena isteri sudah paham apa yang harus dilakukan dalam mendidik dan mengelola rumah tangga karena dia pernah dididik di Mu’allimat,  sekolahnya para pendidik.

Suatu saat ada teman bertanya pada saya, minta pandangan, apakah sebaiknya menyekolahkan anaknya di Mu’allimat atau di pondok Muhammadiyah yang lain? Tanpa ragu saya jawab, “Mu’allimat!” Lalu, dia bertanya, “Mengapa?” Karena, kultur akademik dan non-akademik seperti pembentukan karakter seperti keikhlasan, dedikasi, totalitas pada pengabdian dari guru-guru, para pamong, dan lingkungan belajar madrasah yang membedakan dengan yang lain. Ini sudah jadi kultur positif sejak 1 abad yang lalu.

Bagi saya, (maaf) tanpa bermaksud menjelekkan pondok yang lain, saya belum yakin dengan kultur yang terbangun. Terbukti, persis setahun yang lalu saat diskusi dengan Pak Muhadjir Effendy, Mendikbud saat itu, menurutnya wajah Islam wasathiyah dan corak Islam berkemajuan pondok Muhammadiyah yang lain belum sebaik Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta.

Waktu itu, Pak Menteri bercerita, tampak wajah pondok lain masih rada-rada (maaf) salafi. Saat itu beliau menyebut beberapa contoh. Kata beliau, mestinya pondok tersebut belajar dari Mu’allimin dan Mu’allimat.

Alumni Mu’allimin dan Mu’allimat, insya Allah berkarakter: mandiri (manusia merdeka), unggul, kreatif, solutif. Bukan bagian dari masalah, tapi bagian dari solusi.

Saat ada kawan membandingkan prestasi penerimaan SNMPTN Mu’allimat yang berjumlah 11 siswi, kalah dengan sekolah swasta lain yang siswa-siswinya diterima hingga 50 siswa, saya sampaikan kalau itu tidak Apple to Apple dalam membandingkannya.

Sekolah lain hanya belajar 8 jam.  Mu’allimin dan Mu’allimat belajar 24 jam. Mereka belajar hanya 2-3 disiplin ilmu, sementara Mu’allimin dan Mu’allimat multidisiplin. Termasuk belajar kehidupan, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola keuangan kiriman orang tua, mengelola waktu belajar dan berorganisasi, dan lain sebagainya.

Secara khusus, saya haturkan terima kasih kepada pimpinan madrasah yang telah lelah memantau, mengelola segala persiapan kelanjutan studi ananda. Alhamdulillah anak-anak kami bisa diterima jalur undangan (SNMPTN) di Unibraw, UGM, UIN, dan PTN lainnya. Itu berkat pimpinan madrasah dan para guru yang setia mendampingi dan membimbing. Tentu juga peran BPH Mu’allimin-Mu’allimaat yang telah membina madrasah, tidak bisa diabaikan.

Tadinya saya mau usul. Di masa pandemi Covid-19 dan disrupsi agar pihak madrasah menyiapkan model pembelajaran online yang lebih terstruktur. Tidak seperti yang dialami anak ke dua kami.

Namun ternyata, pihak madrasah sudah bergerak lebih cepat dan tengah menyiapkan platform moodle e-learning yang sesuai dengan kebutuhan madrasah. Salut dan jempol 10. Tentu, diharapkan ke depan juga perlu disiapkan secara matang bahan ajar, baik teks maupun video, agar siswi-siswi tidak hanya bergantung pada Mbah Google. Bahkan platform digital e-learning bisa menjadi satu ekosistem yang bernilai profit, baik ajrun maupun ujroh.

Sekarang di era informasi dan era digital. Kepada ananda saya budayakan literasi. Untuk meningkatkan kecerdasan dan kesalihan digital, kritis pada setiap masalah, jangan taklid buta.

Menurut saya, taklid era ini tidak semata-mata melek pada hadis-hadis sahih, tetapi juga harus melek pada sumber yang sahih dan sharih, tidak mudah menshare informasi yang tidak valid, apalagi dari situs-situs yang tidak jelas sumbernya. Ini namanya taklid digital. Perbanyak bacaan. Membaca akan meningkatkan kecerdasan baik intelektual dan spiritual. Itulah mengapa perintah membaca diletakkan sebagai ayat yang pertama turun.

Sebagai orang tua saya selalu berpesan kepada ananda untuk tetap memegang teguh Al-Qur’an, seperti yang diajarkan dalam karakter Mu’allimat dengan semangat ikhlas (prinsip dasar tauhid), merdeka (manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka/hadis), solutif, unggul dan tawadhu, tidak sombong di manapun.

Kepada ananda juga saya suruh selalu mengingat bahwa kesuksesan hari ini bukan semata-mata jerih payah ananda, tetapi ada tangan-tangan lain yang membantu, baik lewat bimbingan, kebijakan, maupun doa orang tua dan guru. Tentu saja ada peran BPH Mu’allimin-Mu’allimaat PP Muhammadiyah dan PP ‘Aisyiyah di dalamnya. Juga jangan tinggalkan salat. Karena salat mencegah perbuatan keji dan munkar. Salat adalah kunci kesuksesan hidup.


*)Penulis adalah Ketua STMIK Muhammadiyah Jakarta dan Wakil Ketua Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah periode 2010-2015/2015-2020.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait