Mewujudkan Manusia Spiritual (Bagian 1)

Mewujudkan Manusia Spiritual (Bagian 1)

Smallest Font
Largest Font

Oleh : Eko Harianto*

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Manusia adalah makhluk spiritual murni. Pada mulanya, manusia berada di tempat yang tinggi sebagai makhluk spiritual, yang kemudian ruh spiritual itu ditiupkan ke dalam tubuh manusia. Sifat-sifat spiritual itu dipadukan ke dalam materi konkret berupa tubuh atau jasad manusia yang terbuat dari tanah. Dari sana, lahirlah manusia yang tidak hanya memiliki tubuh, tetapi juga memiliki sifat spiritual.

Teori ini secara otomatis telah mampu menyangga teori Darwin yang hanya melihat manusia dari sisi fisiologisnya saja dan mengabaikan adanya sisi spiritual dalam diri manusia. Pendapat ini dapat dibuktikan dengan adanya penemuan ilmiah SQ (Spiritual Quotient) di California University oleh V.S. Ramachandra. Penemuan tersebut menekankan tentang adanya God Spot pada otak manusia yang kemudian dijadikan sebagai wadah yang memiliki potensi spiritual. Selain itu, juga ada penemuan Michael Persinger, Wolf Singer, dan Rodolfo Linas tentang osilasi syaraf spiritual. Para ahli tersebut telah membuktikan bahwa manusia memiliki unsur-unsur yang berfungsi sebagai pusat makna tertinggi kehidupan manusia (the ultimate meaning).

Keistimewaan manusia dibandingkan makhluk lain adalah pada sisi keunikannya yang tersusun dari wujud material dan immaterial dalam suatu sistem yang total. Dengan aspek materialnya, manusia tampak sebagaimana yang terlihat oleh panca indera, sehingga dapat dibedakan antara satu dengan yang lain dari wujud rupanya. Adapun aspek immaterialnya adalah mengemban misi hidup yang sangat mulia yang tidak dimiliki makhluk lain, sehingga manusia mampu melakukan hubungan spiritual.

Manusia tidak dapat dilihat dari wujud materialnya yang kasat mata, karena hakikat manusia tidak terletak pada wujud materialnya, melainkan pada dimensi immaterialnya yang spiritual tidak kasat mata. Wujud material manusia ibarat kendaraan bagi wujud immaterialnya, yang kemudian memanifestasi dalam bentuk konkret amal saleh yang kasat mata yang dijalankan oleh aspek material manusia. Dengan potensi immaterialnya ini, manusia disebut juga makhluk spiritual yang mampu mencari makna hidup terdalam dan terluas dari sekadar penampakan-penampakan lahiriahnya.

Pengetahuan tentang apa dan siapa manusia itu sangat penting, sebab hal ini menjadi pintu masuk keberanian sejati dan pengetahuan terhadap Tuhannya.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereja bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kaum) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Q.S. Fushshilat: 53)

Manusia diciptakan dengan bentuk fisik dan biologis yang sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Meskipun demikian, bukan karena itulah manusia menjadi makhluk pilihan. Pada waktunya nanti, ketika manusia mengalami de-komposisi salah satu unsur pembuat hidup, maka aspek fisiknya akan hancur dan akan kembali ke asalnya, yaitu tanah. Ia ibarat kendaraan yang ditumpangi untuk menjalankan tugaas, dan bukan subjek pengendara itu sendiri yang akan mempertanggungjawabkan segala tindakannya selama perjalanan dilakukan. Setelah perjalanan sampai pada tujuan, pengendara akan turun untuk meninggalkan kendaraan menuju tujuan abadi. Dengan demikian, bukan wujud bentuk dan rupa material manusia yang menjadi hakikat atau esensi, melainkan entitas immaterial yang dikandungnya.

Aspek immaterial manusia adalah wujud yang tidak kasat mata yang biasanya disebut ruhaniah. Ia tidak akan hancur dengan adanya de-komposisi unsur pembentukan kehidupan manusia sebagaimana halnya jasmani. Karena kehidupan tidak semata-mata di dunia sekarang ini, akan tetapi hidup abadi dalam kehidupan yang sesungguhnya, dan abadi dimana ia mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama hidup di dunia. Aspek immaterial inilah hakikat manusia sebenarnya. Dengan adanya aspek immaterial, manusia disebut sebagai makhluk spiritual yang mampu mencari makna substansi di balik penampakan-penampakan lahiriahnya.

Dalam konteks ini, kecerdasan spiritual (SQ) dalam pandangan Islam merupakan pembuka tabir misteri manusia, khususnya aspek immaterialnya. Banyak cabang ilmu, khususnya psikologi, yang mencoba menyibak tabir misteri manusia dengan berbagai eksperimen dan telaahnya. Ironisnya, sekalipun banyak dilakukan telaah mengenai manusia dengan hasil penelitian yang begitu beragam, namun problematika seputar manusia masih banyak yang belum terjawab secara memuaskan, termasuk pernyataan klasik “apa dan siapa manusia itu?” yang tidak kunjung tuntas jawabannya.

Untuk mencoba memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial, psikologi yang natabenenya adalah ilmu yang mengkaji manusia dengan segala perilaku yang dimunculkan, mengalami perkembangan wilayah kajian. Pada awalnya, para psikolog enggan memasuki kajian tentang dimensi immaterial dengan alasan kurang ilmiah, namun akhir-akhir ini para psikolog mulai mencoba ke wilayah-wilayah yang sebelumnya kurang mendapat perhatian tersebut.

Lain halnya dengan Islam, kajian tentang aspek immaterial manusia menempati kedudukan sentral dalam memahami misteri dirinya sendiri, bahkan menjadi landasan konsep kecerdasan spiritual. Allah SWT tidak memandang kualitas manusia dari bentuk lahiriahnya, melainkan dari ketakwaan dan ketulusan hatinya yang immaterial di sisi Allah SWT. Hati yang dimaksudkan di sini tentu buka bentuk lahiriah, melainkan aspek immaterial (ruhani). Jadi, inti ibadah manusia tidak ditunjukkan pada aspek lahiriah, tetapi aspek ruhaniah dengan setulus-tulusnya.

Untuk mengemukakan konsep dasar SQ dalam Islam, perlu dilakukan pengkajian terhadap keterangan-keterangan yang diambil dari sumber Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW yang membahas tentang aspek immaterial atau spiritual manusia. Gambaran Al-Qur’an mengenai manusia adalah bahwa manusia diciptakan dengan bentuk yang sebaik-baiknya dan rupa yang seindah-indahnya serta dilengkapi dengan berbagai organ fisik istimewa, seperti panca indera dan hati. Hal itu agar manusia dapat bersyukur kepada Tuhan yang telah menganugerahkan keistimewaan yang diberikan. Manusia juga diberi kemampuan berpikir untuk memahami alam semesta dan dirinya sendiri sebagai ciptaan Tuhan, untuk kemudian meningkatkan keimanan kepada Sang Pencipta. Selain itu, manusia memiliki akal untuk memahami tanda-tanda keagungannya; qolbu untuk mendapatkan cahaya iman; nafsu yang paling rendah sampai yang tertinggi; dan ruh yang ada padanya Allah SWT mengambil kesaksian manusia tentang ke-Esa-an Ilahi. Bahkan manusia diberikan agama sebagai tuntunan agar hidupnya selamat dunia dan akhirat.

Manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi dan diciptakan Tuhan bukan secara main-main, melainkan untuk mengemban amanah dan untuk beribadah kepada-Nya serta selalu menegakkan kebajikan sekaligus menghilangkan keburukan dengan segenap tanggung jawab. Keistimewaan lain manusia adalah memiliki kebebasan luas untuk mengembangkan diri setinggi-tingginya atau serendah-rendahnya, bahkan agama pun tidak dipaksakan kepadanya.

Selain berbagai keistimewaan itu, manusia juga memiliki kelemahan, seperti selalu tergesa-gesa, pembantah, melampaui batas, mudah putus asa, selalu berkeluh kesah, ingkar, tidak mau bersyukur, dan mudah lalai setelah mendapat nikmat. Sekalipun banyak memiliki kelemahan, namun manusia pada dasarnya baik. Fitrah manusia adalah suci dan beriman. Kecenderungan kepada agama merupakan sifat dasar manusia, dan sadar ataupun tidak sadar manusia selalu merindukan Tuhan, taat, khusyuk, tawakal, dan tidak ingkar, terutama ketika sedang mengalami kesulitan dalam kehidupan.

Jadi, hal tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang multi-dimensional. Dalam konteks ini setidaknya dapat diamati dari segi wujudnya bahwa manusia mempunyai dimensi materiil berupa bentuk raga yang sebaik-baiknya dan rupa yang seindah-indahnya serta dilengkapi dengan panca indera. Sedangkan dimensi immaterialnya berupa hati (qalb), jiwa (nafs), dan ruh (al-ruh). Ketiga potensi immaterial tersebut kemudian diperinci dengan beberapa istilah yang kerap kali dijumpai dalam wacana spiritual Islam, yaitu al-aql, as-shadr, al-fu’ad dan lubb.

Dengan berkumpulnya aspek material dan immaterial dalam diri manusia sebagai satu kesatuan sistem total dan saling berhubungan, maka hal itu menggambarkan suatu struktur yang disebut sebagai struktur eksistensial manusia. Karena hakikat manusia adalah aspek immaterialnya, maka diperlukan penjelasan mengenai wilayah tersebut sehingga kecerdasan spiritual manusia bisa dipahami.

Pertama adalah Ruh (ruh)

Ruh dianggap sebagai potensi fitrah yang selalu melekat dalam diri manusia. Siapa pun pasti menginginkan masuk surga, hidup dalam kedamaian, keikhlasan dan mendapatkan keridhaan dari Sang Pencipta. Namun, kesadaran akan hal ini kadang muncul kadang tenggelam. Saat muncul, manusia mampu mendengarkan hati nuraninya yang dihembuskan Allah, karena ruh itu urusan Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 85:“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Kata ruh juga digunakan untuk sesuatu yang berhubungan dengan dua pengertian berikut:

  • Ruh berupa jenis halus yang bersumber dari rongga hati jasmani, lalu tersebar ke seluruh bagian tubuh dengan perantaraan otot dan urat yang bermacam-macam. Mengalirnya ruh dalam tubuh dan membanjirnya cahaya hidup berupa perasaan, penglihatan, pendengaran dan pemciuman itu menyerupai membanjirnya cahaya lampu yang mengelilingi sudut-sudut rumah, sehingga tidak satu bagian pun yang tidak terkena cahaya. Hidup itu seperti cahaya yang kena dinding dan ruh itu adalah lampunya. Berjalannya ruh yang bergerak di dalam batin itu seperti geraknya lampu pada sudut-sudut rumah yang digerakkan oleh penggeraknya. Para dokter apabila menyebut kata ruh secara mutlak, maka yang dimaksud adalah ruh dalam pengertian di atas, yaitu uap halus yang terjadi karena pemaksaan oleh panasnya hati.
  • Ruh berupa sesuatu yang halus pada manusia, yang dapat mengetahui segala sesuatu dan juga dapat menangkap segala pengertian. Ruh dalam pengertian ini termasuk urusan Tuhan yang menakjubkan, yang kebanyakan akal dan pemahaman manusia tidak sanggup mengetahui hakikatnya.

Ruh yang berasal dari martabat Ilahi ini tidak dapat diketahui secara fisis, karena substansinya tidak dapat diketahui sembarang orang akibat pengetahuan yang dimiliki manusia untuk memahaminya sangat sedikit. Ruh ini dikenal dengan istilah ruh amr (nafakh ruh) yang merupakan wujud yang dinisbatkan ke martabat Ilahi dan mengikuti hokum-hukum alam jabarut. Ruh ini tetap suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material dan dosa. Spektrumnya merupakan sumber dari segala yang maujud di alam syahdah ini.

Hakikat ruh dalam arti tersebut tidak dapadt diketahui secara fisis, karena substansinya tidak dapat ditunjuk secara fisis dalam dimensi ruang dan waktu. Meskipun demikian, ruh ini mempunyai peran yang sangat signifikan bagi manusia. Ia merupakan sarana bimbingan dan pimpinan Allah SWT yang selalu mengarahkan kepada kebenaran yang bekerja secara spiritual. Dengan kata lain, ia adalah urusan Allah SWT yang diutus manusia ke jalan-Nya. Ia ibarat pelita yang memancarkan sinar Ilahi, sehingga manusia selalu berada di jalan-Nya yang lurus.

Ruh ini bukan sembarang ruh, melainkan ruh yang sangat tinggi, indah dan lembur sekali yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Sekalipun pengetahuan mengenai ruh ini sangat sedikit yang diberikan kepada manusia, tetapi dari perspektif tasawuf, yang sedikit tersebut bisa menggambarkan karakteristik ruh, antara lain: ruh yang berasal dari Tuhan bukan berasal dari tanah. Ruh itu sangat unik dan tidak sama dengan akal budi, jasmani dan jiwa manusia. Ruh yang berasal dari Allah SWT itu merupakan sarana pokok untuk bermunajat kepada-Nya. Ruh tetap hidup sekalipun manusia tidur atau tidak sadar, bahkan mati. Ruh dapat menjadi kotor dengan dosa dan noda, tetapi dapat pula dibersihkan dan menjadi suci. Karena sangat lembut dan halus, maka ruh itu mengambil wujud serupa dengan wadahnya, yakni manusia. Ini paralel dengan zat yang bentuknya serupa dengan tempatnya.

Jadi, ruh itu ada dalam diri manusia, tetapi tidak kasat mata (invisible) karena sangat halus dan sifatnya ghaib. Karena ruh berasal dari alam Ketuhanan, maka sifat asli (fitrah) ruh aadalah suci dan selalu mencari pengetahuan tentang Tuhan dan jalan Ketuhanan sebagai bekal kembali kepada-Nya. Ini berarti ruh memiliki potensi untuk menghubungkan secara ghaib dengan sumbernya, yakni Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Selain itu, dimensi ruh jauh lebih tinggi dari alam pikiran, dan tahapannya di atas alam sadar (supra-conscious). Ruh dengam karakteristik di atas adalah ruh dalam arti agama yang sudah jelas berbeda dengan dimensi spiritual seperti yang digambarkan psikologi humanistik.

Kedua adalah Nafs (Jiwa)

Nafs merupakan hasil interaksi antara ruh yang berasal dari alam atas yang tinggi derajatnya karena berasal dari Tuhan dengan jasad yang berasal dari alam ciptaan-Nya yang derajatnya rendah karena dari tanah. Hal itu menggambarkan perpaduan antara dua entitas atau barzakh yang memiliki sifat dinamis dan transformatif. Nafs memiliki potensi kefasikan dan ketakwaan. Jika ditransformasikan ke atas, maka akan mendekati takwa dan menjauhi kefasikan. Sebaliknya, jika tidak ditransformasikan, maka  akan cenderung ke bawah mendekati kefasikan. Dengan posisi yang menjauhi ketakwaan ini, nafs termasuk dalam tingka yang paling bawah dan rendah serta hina, yaitu nafs ammarah bi al-su’. Sedangkan transformasi ke atas akan membawa nafs ke tingkat yang lebih tinggi dan mulia, yaitu nafs muthmainnah.

Adanya perpaduan entitas tersebut, maka nafs memiliki kecenderungan yang bersifat material dan spiritual. Pada umumnya, aspek material mendominasi. Sehingga nafs tertarik pada kesenangan dan keuntungan duniawi, karena apa yang bersifat materi secara alami cenderung tertarik kepada dunia materi. Jika nafs tidak ditransformasikan, maka ia akan menempati derajat terendah, yakni nafs ammarah yang selalu mengajak pada kejelekan. Munculnya istilah hawa nafsu dalam konteks ini merupakan perwujudan dari nafs yang tidak ditransformasi dan berada ditingkatan terendah tersebut. Jika nafs ditransformasikan, setingkat demi setingkat akan menaik dan lebih tertarik kepada Tuhan daripada dunia.

Dalam pandangan Al-Ghazali, nafs disebut dengan jauhar, yaitu substansi yang berdiri sendiri, tidak berada di tempat manapun dan juga tidak bertempat pada apapun. Ia merupakan tempat berbagai pengetahuan intelektual yang berasal dari alam malakut dan alam ‘amr. Ia adalah alam sederhana yang tidak terformulasikan dari berbagai unsur materi sehingga tidak mengalami kehancuran sebagaimana tubuh material. Dialah hakikat atau esensi manusia yang akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama hidup manusia di dunia. Karena itu, kematian bagi manusia sesungguhnya hanyalah kematian tubuh yang akan hancur dan terurai kembali ke asalnya, yaitu tanah. Sedangkan jiwa tidak akan hilang dan tetap eksis.

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup dan di sisi Tuhannya mereka mendapat rejeki.” (Q.S. Ali Imran: 169)

Nafs akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama manusia hidup di dunia. Dengan kata lain, seruan dakwah Islam pada dasarnya ditujukan kepada jiwa, dengan argumentasi bahwa jiwa (nafs) adalah subjek yang mengetahui. Ketika ajal telah menjumpai manusia, jasmani akan mati dan kembali ke asalnya yaitu tanah, sedangkan jiwa akan tetap hidup untuk memasuki jenjang kehidupan, yaitu alam kubur (barzakh), alam makhsyar, dan alam akhirat yang kekal. Sedangkan ruh al-‘amr tetap berada pada martabat Ilahi yang tetap menjadi misteri Ilahi.

Nafs berfungsi sebagai penghubung jasmani dengan ruhani, karena ia berasal dari martabat Ilahi yang merupakan bagian paling terang. Sedangkan jasad (jism) merupakan bagian yang paling gelap karena berasal dari tanah.  Sebagai penghubung, keadaan setiap nafs tidaklah sama antara satu dengan yang lain. Ada jiwa (nafs) yang dekat dengan ruh al’amr, ada juga yang menjauhinya dan lebih mendekati dimensi kegelapan (jism). Nafs akan bersinar terang jika senantiasa naik menjadi zat yang hakiki, dan sebagainya akan sangat gelap jika terus bergerak turun menjauhi Tuhan, menuju ketiadaan. Dalam keadaan seperti ini, jiwa merupakan suatu keadaan yang berada di antara dua kutub dan dipengaruhi oleh keduanya yang selalu berubah.

Nafs merupakan esensi sempurna dan tunggal yang muncul dengan cara mengingat, menghafal, berpikir, dan merespons segala yang ada. Sifat tersebut bukanlah pekerjaan tubuh maupun otak yang sebenarnya hanyalah sebentuk materi. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan suatu kondisi yang ada pada jiwa. Adanya ilmu pengetahuan menggambarkan jiwa yang berpikir tenang (nafs al-nathiqah al-muthmainnah) tentang hakikat segala sesuatu. Artinya, adanya pengetahuan yang haq itu merepresentasikan tentang jiwa. Ini karena jiwa di dalam tubuh akan berusaha mencari kesempurnaan, agar sanggup mengikuti derajat Malaikat yang dekar dengan Allah SWT, dimana Allah adalah sumber segala pengetahuan yang juga merupakan objek ilmu yang paling utama, paling tinggi dan paling mulia. Dengan demikian, pada dasarnya muncul kecerdasan yang dimiliki manusia pada manifestasi nafs tersebut.

Transformasi nafs memiliki tingkatan. Imam al-Ghazali meringkasnya dalam tiga tingkatan, yaitu:

  • Nafs al-ammarah;
  • Nafs al-lawwamah;
  • Nafs al-muthmainnah.

Tiga tingkatan tersebut dalam wacana sufistik diperinci lagi menjadi tujuh tingkatan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Tujuh tingkatan tersebut adalah:

  • Nafs al-ammarah (jiwa dasar dan jiwa hina);
  • Nafs al-lawwamah (jiwa yang kritis);
  • Nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang);
  • Nafs al-radhiyyah (jiwa yang sadar);
  • Nafs al-mardhiyyah (jiwa yang diridhai);
  • Nafs al-kamilah (jiwa yang sempurna).

Tugas manusia adalah mentransformasikan nafsnya itu kepada tingkat yang lebih tinggi dengan cara menyucikannya dari segala bentuk kefasikkan. Struktur manusia terdiri dari jism, nafs dan ruh yang akan saling berinteraksi dan membentuk relasi-relasi dengan alam, kemudian mewujudkan dan menciptakan amalan-amalan baru yang tidak kalah eksisnya. Bahkan kehadirannya dapat membiasakan eksistensi struktur dasar, jiwa, ruh, dan jasad sehingga manusia menjadi makhluk yang kompleks. Pada titik inilah usaha mengenal diri akan terwujud, sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadis Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang mengetahui jiwanya, maka ia akan mengetahui Tuhannya”.

Pertemuan antara ruh dan martabat Ilahi yang terang dengan jasad dari unsur tanah yang gelap dicerminkan oleh jiwa. Dengan keadaan seperti ini, jiwa merupakan penengah antara ruh dan jasad yang tidak statis. Jiwa akan mengalami transformasi, baik ke bawah maupun ke atas. Namun, cenderung berada di bawah karena terbelenggu oleh jasad dan dunia material. Hal ini menjadi tugas manusia untuk mengarahkannya kepada transformasi ke atas melalui serangkaian pendakian spiritual untuk meningkatkan kualitas jiwanya. Bila manusia berhasil mentransformasikan jiwa ke atas, maka ia akan mencapai puncak kesadaran dan berhasil menuju dan menyatu dengan “asal” (taubat dan tauhid).


*Penulis adalah Mahasiswa Doktoral PPI UMY

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait