Refleksi Tahun Baru Hijriyah 1445 H

Refleksi Tahun Baru Hijriyah 1445 H

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Ali Ahmadi, M.Pd.

Tahun baru Islam atau Hijriyah memiliki makna tersendiri bagi umat Muslim. Bergantinya tahun baru Islam diperingati pada 1 Muharram, dan berbeda dengan penanggalan masehi. Ada peristiwa penting yang terjadi sehingga muncul penanggalan hijriah, yaitu hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Madinah ke Makkah. Peristiwa tersebut merupakan momen yang sangat bersejarah bagi umat Muslim karena semenjak itu agama Islam berkembang pesat di sebagian besar daerah Jazirah Arab.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Penanggalan Hijriyah yang diawali pada 1 Muharram digagas oleh sahabat nabi yaitu Ali bin Abi Thalib pada saat ke-khalifahan Umar Bin Khattab, sebagai tanda hijrah Nabi Muhammad.

Peringatan Tahun Baru Hijriyah 1445 H juga sebuah momentum untuk melakukan refleksi dan perubahan pada pribadi-pribadi muslim yang beriman dan tidak hanya sekedar menjadi rutinitas dan ceremony tahunan saja yang memang sangat dinanti-nanti dengan berbagai bentuk perayaan Tahun Baru Islam seperti pawai obor massal, yang senantiasa diikuti anak kecil hingga beranjak remaja di kampung halaman pedesaan.

Esensi serta keutamaan 1 Muharram yang sarat dengan tauladan dan nilai-nilai kehidupan baik didalamnya, tentunya menjadi momentum kebangkitan mental dan spiritual agar kita senantiasa kembali kejalan yang benar, sebagai seorang hamba-Nya.

Muharram memiliki arti yang diutamakan atau dimuliakan, karena beragam peristiwa bersejarah dan sangat penting bagi peradaban, perkembangan dan kemajuan Islam, salah satunya Hijrah Nabi Besar Muhammad SAW, terjadi di bulan yang penuh rahmat ini. Hijrah secara bahasa berasal dari kata hajara yang maknanya adalah berpindah atau menjauhi dan atau memutus dan meninggalkan sesuatu yang tidak baik.  Rasulullah SAW juga pernah mengatakan, orang yang berhijrah adalah orang yang berpegang teguh pada amar ma’ruf nahi munkar menjalani perintah serta menjauhi apapun yang dilarang oleh-Nya dan niat berhijrah untuk tujuan meninggalkan keburukan atau kondisi yang bertentangan dengan Al Quran serta hadits, idealnya semata-mata dilakukan karena Allah SWT, sebagaimana isi QS. Al-Baqarah ayat 218 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218).

Sangat jelas, hijrah dari keadaan atau perbuatan jahat, buruk dan tercela, seperti perilaku koruptif atau budaya/laten korupsi, sejatinya hanya dilakukan oleh orang-orang yang beriman.

Keutamaan Bulan Muharram khususnya tauladan Hijrah Nabi Besar Muhammad SAW, menyiratkan pelajaran hidup mengenai perubahan yang selalu menjadi impian dan harapan, yang seyogianya harus disertai dengan usaha dan tekad kuat dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, agar kita menjadi pribadi yang berbudi, sederhana, jujur dan istiqomah menjaga integritas sebagai hamba-Nya.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya dia ubah dengan tangannya (kekuasaannya). Kalau dia tidak mampu hendaknya dia ubah dengan lisannya dan kalau dia tidak mampu hendaknya dia ingkari dengan hatinya. Dan inilah selemah–lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Ada dua bentuk hijrah dalam ajaran Islam, yakni hijrah fisik dan hijrah rohani (maknawi). Pertama, hijrah secara fisik pernah terjadi sebanyak tiga kali. Dua kali ke negeri Habasyah (Ethiopia) yang berada di ujung benua Afrika dan satu kali ke Yastrib atau Madinah. 

Hijrah fisik ini membuktikan betapa hebatnya pengorbanan para sahabat dengan melakukan perjalanan sangat jauh melintasi dua benua Asia dan Afrika. Menelusuri luasnya hamparan  gurun sahara di bawah terik matahari yang membakar serta terpaan badai gurun pasir. Mengarungi lautan sebelum pada akhirnya sampai ke tempat tujuan. Namun demikian, semua rintangan berat tersebut mereka hadapi dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Tujuannya tidak lain hanya untuk menyelamatkan akidah yang telah ditanamkan Rasulullah SAW di dada mereka. 

Kewajiban hijrah secara fisik memang sudah berakhir setelah penaklukan kota Mekkah, namun apakah spiritnya masih tetap bersemayam di hati generasi demi generasi umat Islam saat ini? Ataukah sejarah heroisme perjuangan para sahabat ini hanya tinggal kenangan sejarah tergerus oleh penyakit pola pikir materialisme yang seringkali menjangkiti manusia modern? Istafti qalbaka, bertanyalah kepada hati nuranimu, di sana ada jawaban yang jujur. 

Kedua, hijrah rohani (maknawi). Secara fisik, jasad kita tetap berada di suatu tempat, namun hati dan pikiran, prilaku dan jiwa telah berhijrah. Pindah dari kondisi yang tidak baik kepada keadaan yang baik, dari keadaan yang baik kepada kondisi lebih baik.

“Tidak ada kewajiban hijrah setelah penaklukan kota Mekkah, melainkan jihad dan niat. 

Jihad dalam Islam tidak boleh dipahami secara sempit dalam arti hanya berperang melawan kaum kafir saja. Namun jihad di masa kini hendaknya dipahami secara lebih luas dan kontekstual. Bahwa jihad bagi para pemimpin adalah dengan keadilan, amanah, tanggung jawab untuk selalu memikirkan kesejahteraan rakyat. Rasulullah bersabda bahwa: Sehari keadilan seorang pemimpin lebih utama daripada ibadah 60 tahun. Dan satu  hukum yang ditegakkan di bumi Allah akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Bukhari dan Muslim). 

Setiap kali memasuki tahun baru, maka secara lahiriyah angka usia semakin bertambah, namum terkadang tidak sadar pada hakikatnya usia semakin menipis dan berkurang. Ini pertanda kematian terus mendekat. Rasulullah SAW berpesan agar tidak tertipu dengan pergantian masa sebagaimana berikut:

“Gunakan lima kesempatan sebelum datang lima keadaan: Gunakan masa mudamu sebelum datang masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu dan hidupmu sebelum kematianmu. (HR Al-Baihaki).

Akhirnya, kesadaran hijrah religiusitas secara fisik maupun rohaniyah seperti di atas tentu perlu bagi umat Islam. Karena semakin banyak agenda berhijrah secara fisik dan rohaniyah tentu akan membawa kebaikan baik bagi diri individu maupun kebaikan untuk ummat dan masyarakat pada umumnya. Tahun Baru Islam kali ini hendaknya dapat menjadi momentum dan renungan, sudah seberapa jauh Islam dan umat Islam dapat memberikan kebaikan dan kesejahteraan bagi umat manusia? Selamat memasuki Tahun Baru 1445 Hijriah, semoga kesehatan lahir dan batin, serta kesuksesan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan senantiasa menyertai kita.

Demikian, wa Allah a’lam.


*Penulis adalah Pengasuh Ponpes Muhammadiyah Al-Aqsho Babat, Lamongan

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait