Toleransi, Jalan Untuk Saling Menghargai

Toleransi, Jalan Untuk Saling Menghargai

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Eko Harianto*

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap tenggang rasa dan sikap kerjasama terhadap orang yang berbeda agama dengan kita, atau yang bertentangan pendiriannya dengan kita. Sedangkan pengertian toleransi sebagai istilah budaya, sosial dan politik, ia adalah simbol kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya.

Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita dalam mengelola dan menyikapi perbedaan pendapat yang mungkin terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama Muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mukmin untuk kembali kepada Allah SwT (al-Qur’an) dan Rasulullah Saw. (as-Sunnah).

Ada beberapa prinsip yang tidak boleh diabaikan sedikitpun oleh umat Islam dalam bertoleransi dengan penganut agama lain yaitu:

  1. Kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah di dunia ini adalah pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun kepadanya. Kebenaran itu hanya ada di agama Allah Ta’ala. “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka janganlah engkau termasuk kalangan orang yang bimbang.” (QS. Al-Baqarah: 147)
  2. Kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah bathil. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali-Imran: 19)

 “Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) dari padanya, dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali-Imran: 85)

  1. Kebenaran Islam telah sempurna sehingga tidak bersandar kepada apapun yang selainnya untuk kepastiaan kebenarannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku lengkapi nikmatku atas kalian dan Aku ridhoi Islam sebagai agama kalian.”  (QS. Al-Maidah: 3)
  2. Kaum mukminin derajat kemuliaannya dan kehormatannya lebih tinggi daripada orang-orang kafir dan lebih tinggi pula daripada orang-orang yang munafik. Sebagaimana Allah SwT menegaskan: “Maka janganlah kalian bersikap lemah dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali-Imran: 139)
  3. Kaum Muslimin dilarang ridho atau bahkan ikut serta dalam segala bentuk peribadatan dan keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya: “Katakanlah: wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah dan aku tidak menyembah apa yang kalian sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6).
  4. Kaum Muslimin jangan lupa bahwa orang kafir dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin menyimpan dihati mereka kebencian tradisional terhadap kaum Muslimin, khususnya bila kaum Muslimin mengamalkan agamanya. Oleh karena itu kaum Muslimin jangan minder (merasa rendah diri) menampakkan prinsip agamanya diantara mereka dan jangan sampai mempertimbangkan ketersinggungan perasaan orang-orang kafir ketika menjalankan dan mengatakan prinsip agamanya. Demikian pula keadaan orang-orang munafik (Ahlul Bid’ah) firman Allah SwT:  “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 120)

Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang meyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya beginilah kamu, kamu menyukai mereka padahal mereka tidak menyukai kamu dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata : “Kami beriman” dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu katakanlah (kepada mereka): Matilah kamu karena kemarahanmu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala isi hati.” (QS. Ali-Imran: 118-120)

  1. Kaum Muslimin dilarang menyatakan kasih sayang kepada orang-orang kafir dan munafik yang terang-terangan menyatakan kebenciannya kepada Islam dan Muslimin. Allah berfirman: “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak, saudara-saudara, keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanaman keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripadanya. Dan dimasukannya mereka kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai mereka kekal didalamnya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmatnya). Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah-lah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah: 22)

Tujuh prinsip tersebut menjadi dasar hubungan toleransi antar kaum Muslimin dengan orang kafir. Agar dengan di fahami dan dipegang erat-erat ketujuh prinsip tersebut, kaum Muslimin akan selamat dari upaya pendangkalan dan pengkebirian keimanan mereka kepada agamanya. Adapun hubungan toleransi diantara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir sebagaimana yang dituntunkan oleh Allah Ta’ala sebagai berikut:

  1. Kaum Muslimin walaupun sebagai penguasa dilarang memaksa orang-orang kafir untuk masuk Islam. Firman Allah Ta’ala: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah: 256)
  2. Kaum Muslimin harus tetap berbuat adil walaupun terhadap orang-orang kafir dan dilarang mendhalimi hak mereka. Firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka. Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan kemaksiatan dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)
  3. Orang-orang kafir yang tidak menyatakan permusuhan terang-terangan kepada kaum Muslimin, dibolehkan kaum Muslimin hidup rukun dan damai bermasyarakat, berbangsa dengan mereka. Firman Allah Ta’ala: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim.” (QS. Al-Mumtahanah: 8-9)

Maka tiga patokan bermasyarakat dengan orang-orang kafir sebagaimana tersebut diatas, seorang Muslim dengan mengingat tujuh prinsip toleransi beragama sebagaimana diuraikan diatas, kaum berhubungan baik dan bertoleransi dengan orang-orang kafir, bukanlah karena mencintai mereka. Tetapi semata-mata karena agama Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik dengan orang yang kita benci dan membenci kita. Sehingga orang-orang kafir yang hidup dimasyarakat Muslimin, mereka mempunyai hak sebagai tetangga, dan bahkan mempunyai hak sebagai famili karib kerabat, hak sebagai orang tua bila anaknya sebagai seorang Muslim. Untuk hal ini semua kita dapati banyak teladan perbuatan Rasulullah Saw.

“Dari Asma’ Binti Abu Bakar, ia berkata: ‘Di masa Nabi saw. masih hidup, ibuku pernah mengunjungiku dalam keadaan sangat berharap kebaikanku kepadanya dan takut kalau aku menolaknya dan merasa kecewa. Maka saya pun bertanya kepada Nabi saw.: “Apakah boleh aku menyambung hubungan silaturrahmi dengannya?” Beliau berkata: ”Ya”. Ibnu ‘Uyainah menerangkan: Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat 8 surat Al-Mumtahanah tersebut artinya (Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agamamu).” (HR. Bukhari)

“Dari Ibnu Umar, ia berkata: Umar r.a. pernah melihat sehelai sutra yang sedang dijual, lalu ia berkata: “Ya Rasulullah! Belilah sutra ini dan pakailah pada hari jum’at, dan jika datang kepada anda utusan-utusan.” Kata beliau: “Hanya saja mengenakan sutra ini adalah orang yang tidak akan mendapat bagian sedikitpun diakhirat. Suatu hari Nabi saw. pernah diberi beberapa helai pakaian sutra, kemudian beliau mengirimkan sebagian kepada Umar, lalu Umar berkata: “Bagaimana mungkin saya akan mengenakannya sedangkan anda telah mengatakan sutra itu seperti itu?” Beliau berkata: ‘Sesungguhnya saya tidak bermaksud memberikannya kepadamu untuk kau pakai, akan tetapi supaya kau menjualnya atau memakainkannya kepada yang lain.” Kemudian Umar mengirimkannya kepada salah seorang saudaranya yang ada di Makkah, sebelum saudaranya itu masuk Islam.” (HR. Bukhari)

“Dari Mujahid, ia berkata: ‘Saya pernah berada disisi Abdullah bin ‘Amr dan ketika itu pelayannya sedang menguliti seekor kambing. Kemudian Abdullah berkata: ‘Hai pelayan! Kalau engkau sudah selesai maka dahulukanlah tetangga kita si yahudi itu. ‘Tiba-tiba berkatalah salah seorang: “(Kau dahulukan) orang yahudi? Semoga Allah memperbaiki Anda.” Abdullah berkata: ‘Saya pernah mendengar Nabi saw. berwasiat tentang tetangga, sampai-sampai kami takut atau bahkan kami menganggap bahwa beliau akan menggolongkan tetangga itu sebagai ahli waris.” (HR. Bukhari).

Tidak ada seorangpun yang dapat mencapai derajat kesempurnaan sikap toleransi selain Rasulullah Saw.

  1. Toleransi Rasulullah Saw. dalam memutuskan suatu masalah

Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya ada seorang lelaki yang menagih Rasulullah sembari bersikap kasar kepada beliau, maka para sahabat-pun hendak menghardiknya, beliau bersabda: “Biarkanlah dia, karena setiap orang punya hak untuk berbicara, belikan untuknya seekor onta lalu berikan kepadanya” Para sahabat berkata: “Kami tidak mendapatkan kecuali yang lebih bagus jenisnya!” Beliau bersabda: “Belikanlah dan berikan kepadanya karena sebaik-baik kalian adalah yang terbaik keputusannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Toleransi Rasulullah Saw. dalam Jual-Beli

Dari Jabir bin Abdullah ra., bahwasanya Nabi Saw. pernah membeli onta dari dirinya, beliau menimbang untuknya dan diberatkan (dilebihkan). (HR. Bukhari dan Muslim). Dari Abu Sofwan Suwaid bin Qais r.a. dia berkata: “Saya dan Makhramah Al-Abdi memasok (mendatangkan) pakaian/makanan dari Hajar, lalu Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami dan belaiu membeli sirwal (celana), sedang aku memiliki tukang timbang yang digaji, maka Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan tukang timbang tadi. “Artinya: Timbanglah dan lebihkan!”. (HR. Abu Dawud, At-Timidzi, Ibnu Majjah)

Berikut juga ada beberapa contoh dari sikap toleransi, yaitu:

  1. Menahan angkara murka

Toleransi adalah kerelaan hati dan kelapangan dada bukan karena menahan, kesempitan dan terpaksa sabar melainkan toleransi adalah bukti kebaikan hati, lahir dan batin.

Hanya saja, toleransi tidak dapat dicapai kecuali melalui jembatan menahan angkara murka dan berupaya sabar, bila seorang hamba dapat dengan mantap melewatinya, maka dia akan memasuki -pintu-pintu toleransi- dengan pertolongan dan taufik dari Allah.

Allah Ta’ala berfirman memuji kaum mukminin.

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarah dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang berbuat kebajikan.” (QS. Ali-Imran: 134)

Firman Allah SwT yang lain:

 “…Dan apabila mereka marah, mereka memberi ma’af.” (QS. Asy-Syura: 37)

Rasulullah Saw. bersabda: Barangsiapa yang dapat menahan angkara murkanya padahal dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya dihadapan khalayak guna disuruh memilih bidadari mana yang dia kehendaki untuk Allah nikahkan dia dengannya.” (Shahih Al-Jami)

  1. Mema’afkan dan berlapang dada

Rasulullah Saw. bersabda: ”Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta benda, tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba dengan sikap pema’afnya kecuali kemuliaan dan tidaklah seorang bertawadlu karena Allah melainkan Allah mengangkat (derajat)nya.” (HR. Muslim)

  1. Mengharapkan apa yang ada di sisi Allah SwT dan berbaik sangka kepada Allah SwT

Pengharapan adalah masalah yang urgen bagi Muslim yang menempuh perjalanan (menuju Allah) karena dia berkisar antara dosa yang diharapkan pengampunannya, aib yang diharapkan perbaikannya, amal shalih yang diharapkan diterima, istiqamah yang diharapkan eksitensinya dan taqarrub kepada Allah serta kedudukan disisi-Nya yang diharapkan tercapai. Barangsiapa yang mengharapkan apa yang ada disisi-Nya maka dia akan mema’afkan orang lain, sebab Allah SwT tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebajikan.

Rasulullah Saw. bersabda: ”Ada seorang lelaki yang tidak beramal kebajikan sama sekali, dulunya ia biasa menghutangi orang lain, dia menyuruh utusannya: “Ambillah yang mudah dan tinggalkan yang kesulitan, ma’afkan semoga Allah mema’afkan kita!” Tatkala dia meninggal, Allah bertanya: “Apakah engkau pernah beramal kebaikan sedikitpun?!” Jawabnya: “Tidak! Hanya saja saya memiliki seorang budak dan saya biasa menghutangi orang, bila saya mengutusnya untuk menagih hutang saya perintah ia: “Ambillah apa yang lapang biarkan yang kesulitan dan ma’afkan semoga Allah mema’afkan kita!” Allah berfirman: “Sungguh Aku telah mema’afkanmu. (Shahih Al-Jami’)

Alangkah indahnya ucapan Ibnul Qayyim tatkala beliau bersyair.

Kalaulah tiada bergantung dengan pengharapan
Niscaya jiwa sang pencipta
akan nelangsa dan terbelah
Begitu pula, kalaulah dia
tidak mendinginkan panasnya
Hati, niscaya akan lebur terbakar tirai
Apakah teman yang mengerumuni
tak berlihat sama sekali
Pengharapan yang terkait dengan kekasihnya
Ataukah, setiap kali kecintaan kepada-Nya menguat
Menguat pula rasa pengharapan
hingga menambah kerinduan
Kalaulah tiada pengharapan, kendaraan
berdendang berjalan
Membawa beban menuju negerinya
mengharap perjumpaan

Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka dia akan melupakan kebaikan terhadap orang yang pernah dia berbuat baik kepadanya, hingga seolah-olah dia tidak pernah berbuat kebaikan. Dalam hal ini dikatakan.

“Dia melupakan segala perbuatannya dan Allah yang menampakkannya. Sesunguhnya perbuatan baik bila dilupakan akan nampak dengan sendirinya.”

Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim

Allah SwT berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”

Dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum Muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya.

 “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu salingmencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 12) 

Ayat di atas juga memerintahka orang mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia.

Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan pendapat yang mungkin terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama Muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih saying, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mukmin untuk kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah).

Hubungan antara Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama (Non-Muslim)

Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik dalam hal beribadah maupun aktifitas lainnya. Hal demikian dalam praktek-praktek sosial dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut agama dalam praktek sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.

Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi Saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi Saw. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SwT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.

Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir Surat Al-Kafirun ayat 6 yang artinya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

Al-Qur’an menegaskan bahwa umat Islam hendaknya tetap berpegang teguh pada sistem ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.

Dalam menyelenggarakan kehidupan dunia semua pihak haruslah bekerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat setiap Muslim wajib berdakwah mengajak kepada agama Allah. Akan tetapi urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SwT. Kita tidak berhak memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.

Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.

Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih berkaitan/demi kepentingan kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing.

 “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak menerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)


*Mahasiswa S-3 PPI UMY

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait