Mari Beradaptasi, Jangan Berdamai
Oleh: Heru Prasetya*
Saya pernah testimoni di sini bahwa “sedang libur” nonton stasiun televisi nasional, dan pindah channel lain. Alternatif pengganti tivi nasional antara lain hiburan di youtube. Kalau acara televisi, saya ambil paket yang ada AXN dan Fox Sport. Ada hal menarik untuk dua channel ini.
Di AXN ketika sedang memutar serial Blacklist. Serial itu bukan baru, artinya sudah diproduksi lumayan lama. Paling tidak sebelum korban pertama virus corona ditemukan di Wuhan, China, akhir 2019. Tapi, para pihak yang terlibat dalam produksi Blacklist menyisipkan pesan untuk hati-hati terhadap penyebaran Covid-19. Semua pakai masker.
Artinya, tim Blacklist melihat pentingnya memberikan pesan kepada masyarakat (dalam hal ini penonton) untuk waspadai virus corona. Menghindari dan memutus rantai penyebarannya. Tidak bisa dibuat main-main, selengekan, bercanda, tidak serius, dan harus memberikan empati kepada para korban.
Sedangkan Fox Sport menayangkan Bundes Liga, Liga Sepakbola Jerman. Saya tidak paham liga kasta berapa, tapi jelas bukan Bayern Munchen atau Borussia Dortmund. Ini bukan tentang kualitas permainan, juga bukan gol spektakuler. Dari awal saya perhatikan, ada hal aneh dalam pertandingan itu. Penonton sepi. Dari yang terekam kamera, hanya ada di beberapa sudut terpisah.
Keunikan lain, di luar lapangan (bangku cadangan, dan lain-lain) sebagian besar mengenakan masker. Ada lagi, tidak terlihat pemain merayakan gol dengan berpelukan atau bertumpuk-bertumpuk menjatuhkan diri di lapangan, seperti di kebanyakan pertandingan. Mereka merayakan gol cukup dengan menyenggolkan kepalan tangan ke kepalan tangan pemain lain. Wuuuhhh…jauh dari kemeriahan pertandingan sepakbola profesional selama ini.
Di akhir pertandingan, usai wasit meniupkan peluit panjang, antara wasit dengan asisten wasit tidak bersalaman tangan seperti biasa, tapi mereka bersalaman kaki. Menyenggolkan sepatu ke sepatu orang lain. Hal sama dilakukan antara pemain dengan wasit. Ohhh…itulah pertandingan sepakbola di masa Covid-19. Tidak ada yang main-main, semua serius.
Dua contoh di atas menggambarkan betapa dunia sekarang punya “musuh bersama” bernama Covid-19. Virus baru yang tidak bisa dilawan dengan senjata perang secanggih apapun. Para ahli menyebut, belum ada antivirusnya. Jika ada yang mengklaim sudah menemukan antivirusnya, ternyata masih harus diuji lebih lanjut.
Data per Senin 18 Mei 2020 menyebutkan, virus super mini ini telah “menyerang” 213 negara dengan jumlah kasus 4.818.025. Dari sejumlah itu, 316.925 meninggal dunia dan 1.863.870 dinyatakan sembuh.
Sedangkan di Indonesia, jumlah kasus secara akumulatif per Senin 18 Mei 2020 tercatat 18.010, naik 496 dibandingkan sehari sebelumnya. Jumlah yang meninggal dunia 1.191 orang dan dinyatakan sembuh 4.324 pasien.
Angka-angka di atas menunjukkan bahwa Covid-19 benar-benar kasus global yang luar biasa dahsyat perkembangannya. Sehingga penanganan harus benar-benar serius, tidak bisa main-main atau setengah hati. Tapi di sisi lain, masyarakat harus ditumbuhkan rasa optimismenya untuk tetap bisa survive pada periode seperti ini.
“Kita tetap harus optimistis bisa survive,” tegas Agus Samsudin, Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) PP Muhammadiyah dalam pertemuan secara online yang diprakarsai Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah bersama media yang berafiliasi ke ormas yang didirikan Kiai Dahlan tersebut.
Stay at home maupun work from home sudah dijalani lebih dari sebulan ini. Pelajar dan mahasiswa melakukan kegiatan belajar dari rumah masing-masing bersama guru atau dosen secara daring atau online. Keluh kesah sering telontar baik dari pelajar/mahasiswa atau guru/dosen. Menurut saya, sesuatu yang baru memang butuh pembiasaan, memerlukan waktu untuk trial and error sampai menemukan standar sempurna.
Pekerja dan kalangan swasta merasakan hal sama. Pendapatan atau omset terjun bebas, bahkan ada yang sampai kena “potongan” hingga 50 persen. Tidak berhenti disitu, THR yang biasanya sudah turun di minggu kedua Ramadhan, hingga sekarang ada yang belum turun. Ketika saya tanya, kapan turun? Kawan saya yang karyawan swasta menjawab singkat, “Mbuh…” Tidak tahu.
Beberapa guru sekolah Muhammadiyah menceritakan hal tak beda jauh. Sulit menarik uang dari siswa. Bahkan ada yang hingga 80 persen siswa “belum” membayar. Kata “belum” saya beri tanda petik, karena menurut kawan guru itu, tidak ada kejelasan apakah bisa membayar atau tidak. Padahal katanya, “Sekolah punya kewajiban membayar gaji guru dan karyawan.” Pening. Pusing. Padahal kawan saya tadi tidak memasukkan THR sebagai yang harus dibayarkan juga.
Hal itu tidak begitu dirasakan sekolah negeri, karena masalah keuangan sudah dihandle anggaran negara. Kalaupun ada dampak, tidak seberat yang dirasakan swasta. Meskipun jika diurutkan maka peran masyarakat sangat besar menjadikan sekolah atau institusi negara tidak terlalu kelimpungan. Pajak yang disetor warga negara menjadi salah satu sektor penghasilan anggaran negara. Padahal para pembayar pajak sedang kelimpungan.
Oleh karena itu, kata Agus Samsudin, masyarakat harus mulai membiasakan hidup dalam situasi kondisi seperti sekarang. Tetap bekerja, tetap disiplin menjaga kebiasaan hidup sehat. Misalnya, jauhi/hindari kerumunan, selalu pakai masker, dan sesering mungkin cuci tangan pakai sabun. “Hidup harus tetap berjalan,” tegas Agus.
Dalam istilah Wiwid Widiyastuti, salah satu anggota MPI PP Muhammadiyah, “Harus mulai beradaptasi dengan virus ini.” Beradaptasi itu bukan berdamai, karena virus tidak mungkin diajak damai. Cara adaptasi dengan mengubah perilaku dan budaya agar tetap bisa survive. Cotohnya tentang gempa bumi yang sering terjadi di sini.
“Gempa bumi nggak bisa kita hilangkan. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita beradaptasi dengan linkungan alam yang memang rawan bencana ini,” kata Wiwid dalam perbincangan dengan saya melalui wall facebook.
Ketika kehadiran negara terlihat minim pada saat-saat dibutuhkan seperti ini, maka rakyat harus secara kreatif mengurus dirinya sendiri, saling menolong di antara warga negara. Ini bukan soal negara abai dari kewajibannya, tapi tentang nyawa masing-masing orang yang harus diselamatkan. Si kuat menolong yang lemah, kaya menolong miskin, yang sehat menolong yang sakit. Semua saling membantu. Kata “kaya” dan “miskin” tidak semata-mata membedakan dari sisi materi atau harta benda yang dimiliki.
Muhammadiyah melalui MCCC sudah melakukan langkah konkrit. Memang masih ada kekurangan, tapi harus diakui manfaatnya sangat dirasakan masyarakat luas. Dan, pertandingan sepakbola Bundes Liga memberi contoh bahwa hidup harus tetap berlangsung meski ada virus corona di sekitarnya. Salam sehat dan adaptasi. (*)
*Penulis adalah Tim Redaksi mediamu.com
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow