Menyikapi Hidup Ini Harus Disyukuri, Dilakoni dan Dinikmati

Menyikapi Hidup Ini Harus Disyukuri, Dilakoni dan Dinikmati

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Hj Siti Hadiroh Ahmad

PADA pukul 01:44 WIB, Jum’at (8/5/2020), saya nglilir (terjaga) dan tidak bisa tidur lagi.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Dalam keterjagaan saya itu, saya lantas menerawang jauh. Pada tanggal 8 Mei 2020, usia saya tepat 75 tahun. Sudah dapat bonus 12 tahun dari usia Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah.

Saya lantas mencoba untuk mengingat kembali perjalanan panjang hidup ini.

Saya terlahir dari keturunan dua orang sahabat yang pernah mengukir keberadaan Muhammadiyah. Bapak saya adalah putera dari Sangidu, sahabat dan murid KHA Dahlan, yang juga kakek dari ibu saya.

Sangidu setelah diangkat sebagai penghulu Keraton Yogyakarta oleh KHA Dahlan diberikan no induk 1 keanggotaan Muhammadiyah.

Masa kecil saya dengan 7 bersaudara anak pegawai negeri saat itu, sangat-sangat sederhana. Menu lauk harian hupe alias tahu-tempe, menu andalannya kerupuk kecap. Saya tidak pernah merasakan daging ayam atau sapi. Menu istimewa setiap hari Jum’at adalah telur satu dibagi delapan. Tapi kami tetap bahagia dan rukun. Di sinilah ayah saya mengajarkan kepada kami tentang qanaah.

Waktu pun berjalan. Pada tahun 1956, ayah saya diangkat sebagai Penghulu Keraton dan sekaligus sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kotamaya Yogyakarta. Kami pun lantas pindah rumah dari Gerjen ke Pengulon, tapi tetap satu kampung: Kauman.

Akhirnya, kehidupan kami agak meningkat sedikit. Ketika lulus dari SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta tahun 1963, saya diterima di 2 fakultas di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta: Fakultas Hukum dan Fakultas Sastra Sejarah.

Ketika saya sampaikan keinginan saya untuk kuliah di fakultas hukum, maka ayah saya tidak mengizinkan. Karena, kata beliau, sembilan dari hakim akan masuk neraka. Akhirnya saya masuk sastra sejarah hanya sampai Sarjana Muda. 

Masyaa Allah, cita-cita yang kandas dulu Alhamdulillah sekarang bisa saya nikmati dan diwujudkan oleh dua anak perempuan, yang sekarang berkhidmad di Persyarikatan Muhammadiyah sebagai advokat dan pengelola museum Muhammadiyah.

Nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?

Perjalanan hidup saya sebagai aktifis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di dalam wanita Islam sampai sekarang berakhir di ‘Aisyiyah.

Di ‘Aisyiyah sendiri sejak tahun 1980-2015, saya berkhidmad di Pimpinan Pusat: satu periode masa kepemimpinan Ibu Baroroh Baried, tiga periode Ibu Elyda Djazman, dua periode Ibu Chamamah Soeratno dan satu periode Ibu Noorjannah Djohantini.

Dan tepat di usia 70 tahun, waktu Muktamar Muhammadiyah ke-47 dan Muktamar Satu Abad ‘Aisyiyah di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 3-7 Agustus 2015, saya tidak bersedia untuk maju lagi. Saya pun memberi kesempatan kepada yang muda.

Selama 35 tahun berkecimpung di Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, luar biasa pengalaman yang saya dapatkan. Alhamdulillah, saya bisa silaturahim di 34 propinsi. Bahkan bisa pergi ke London, Mesir, Kuala Lumpur dan Singapura.

Bersyukur, keaktifan saya di dalam organisasi ‘Aisyiyah ini telah dapat diteruskan oleh dua anak saya yang mulai berkiprah di persyarikatan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.

Mengenai kehidupan keluarga, Allah SWT telah mengirimkan saya seorang imam yang Alhamdulillah telah 50 tahun bersama berjuang untuk mengayuh biduk rumah tangga sebagai kepala keluarga, yang bagi saya dan anak-anak adalah imam dalam segala hal untuk kebahagiaan keluarga kami.

Bersyukur pula, doa-doa yang selalu kami panjatkan telah dikabulkan Allah SWT. Dan ketiga anak saya betul-betul menjadi qurrata a’yun bagi kami. Mereka bertiga sangat-sangat rukun menurut pandangan kami. Susah dihadapi bersama dan senang akan dinikmati bersama.

Kini, mereka bertiga telah berusaha: bagaimana kedua orangtuanya bisa bahagia di usia senjanya. Adapun yang menjadi kunci andalan keluarga kami adalah surat Attaubah ayat 105. Selain itu, dalam menyikapi hidup ini harus selalu dilandasi 3D: disyukuri, dilakoni dan dinikmati.

Kini, di usia yang menginjak 75 tahun ini, saya hanya ingin berusaha untuk “menata senja meniti surga”, meminjam istilah dari pesantren kilat lanjut usia (lansia) Gua Hira.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait