Ngenger dan Transformasi Idiologi (Eps. 2)

Ngenger dan Transformasi Idiologi (Eps. 2)

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Anang Masduk*

Proses kaderisasi Muhammadiyah

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Proses kaderisasi Muhammadiyah dalam tradisi ngenger  yang terjadi di Tempurjo, Ngawi dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Yaitu, di keluarga, di sekolah atau madrasah dan yang ketiga dilingkungan. Kategorisasi ketiga ranah ini karena para pemuda yang ngenger  berinteraksi dalam tiga ruang sosial tersebut. Dan ketiga-tiganya memiliki andil dalam mempengaruhi pandangan serta idiologi pada pelaku ngenger .

Pertama, di keluarga. Walaupun desa Tempurjo letaknya jauh dari perkotaan, namun warganya memiliki pandangan yang terbuka dan modern. Anak-anak muda yang ngenger , mereka diberikan kemerdekaan untuk belajar, berpikir dan berorganisasi. Bahkan mereka didorong untuk memajukan pendidikan Muhammadiyah di Tempurjo dengan mengaktifkan kegiatan siswa yang resmi dibawah institusi pendidikan Muhammadiyah setempat namun bukan ortom Muhammadiyah. Saat itu kegiatan Ortom Muhammadiyah belum berdiri di Tempurjo. Namun setiap kegiatan beridiologikan Muhammadiyah.

Keluarga tempat ngenger  memberi kemerdekaan dalam belajar. Tidak pernah keluarga mereka memaksakan untuk masuk dan aktif di salah satu ormas. Yang penting bagi mereka sebagai induk semang ngenger  adalah pekerjaan rumah maupun sawah selesai serta mampu mengasuh mereka dengan baik, mendorong mereka untuk belajar agama dengan maksimal. Keluarga induk semang merasa memiliki kepuasan tersendiri jika mampu mengasuh anak orang miskin dan menyekolahkanya. Apalagi jika kelak mereka menjadi orang sukses. Harapan mereka jika sudah pulang agar senantiasa menyambung silaturahmi. 

Selain itu, jika tokoh-tokoh masyarakat baik sebagai guru maupun sebagai induk semang ngenger  senantiasa memberikan suri tauladan tentang kehidupan. Maskur akan marah jika anak-anak yang ngenger  di rumahnya tidak mengaji, tidak menjalankan sholat maupun tidak sungguh-sungguh menuntut ilmu.

Kedua, di Lingkungan. Tokoh-tokoh pendidikan maupun masyarakat di Tempurjo adalah masyarakat terdidik dan memiliki pemikiran terbuka dan modern Tokoh tersebut tidak memaksakan kehendak untuk menganut satu idiologi dan tidak menuntut penyeragaman idiologi khususnya Muhammadiyah. Bahkan mereka bisa hidup berdampingan walau masih satu keluarga namun berbeda idiologi. Masyarakat Tempurjo memiliki kesadaran keagamaan sangat tinggi. Sehingga setiap acara keagamaan maupun kegiatan di sekolah senantiasa mendapat suport dari masyarakat, seperti pendanaan, gotong royong membangun sekolah. Bahkan saat akhirusanah siswa didatangkan reog dari Ponorogo, masyarakat berbondong-bondong menyaksikan sehingga sangat meriah.

Ketiga, di madrasah diniyah. Kurikulum di perguruan Muhammadiyah Tempurjo terdapat dua model pendidikan. Pagi hari sekolah madrasah formal yang mengajarkan mata pelajaran umum dan agama. Sedangkan sore hari ada madrasah diniyah yang khusus mengajarkan ilmu agama. Ilmu agama yang diajarkan berbagai macam, mulai dari bahasa Arab, fikih, tafsir, hadis, mantiq, nahwu shorof dan tentu membaca Al Qur’an dan kitab kuning. Namun tidak ada sama sekali mata pelajaran kemuhammadiyahan. Begitu juga dengan kegiatan ortom Muhammadiyah juga tidak ada. Yang ada adalah organisasi pelajar semacam OSIS.

Setiap proses pembelajaran, khususnya madrasah diniyah sore hari, para guru mengajarkan islam sebagaimana umumnya. Namun ada hal yang penting dalam proses pembelajaran tersebut. Guru dan para pengurus memiliki dedikasi yang tinggi untuk mengajar. Mereka prosfesional, kompeten dan juga terbuka dalam mengajarkan islam. Islam itu tidak eksklusif serta sangat moderat. Mereka banyak mencontohkan tokoh-tokoh pendahulu Muhammadiyah yang berjuang untuk bangsa dan negara. Seperti Ahmad Dahlan, Jendral Sudirman, Mas Mansyur, Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Hamka bahkan Soekarno juga guru Muhammadiyah.

Para pengajar, pengasuh senantiasa menekankan pentingnya bersungguh-sungguh dalam dalam menjalankan dakwah islam. Iklas tanpa pamrih serta penuh perjuangan. Banyak ujian serta tantangan itu sudah pasti, namun harus tetap dijalankan. Nuasa dan lingkungan keagamaan tercipta sangat kuat di komplek perguruan Muhammadiyah Tempurjo saat itu. Banyak sekali kegiataan keagamaan yang di buat seperti kegiatan-kegiatan hari besar islam, akhirusanah siswa maupun lomba-lomba siswa. Sehingga karakter siswa terbentuk sangat kuat untuk mengekspresikan nilai-nilai keislaman.

Proses Transformasi Idiologi

Sigmund Freud menjelaskan soal teori transformasi agama atau idiologi, maka faktor ayah atau orang tua sangat besar dalam proses perubahan tersebut (Samiun, 2006:61). Begitu juga dengan anak muda yang ngenger  di Ngawi. Mereka jauh dari keluarga kandung, maka induk semang saat ngenger , para pengasuh, guru dan tokoh masyarakat tentu menjadi orang tua mereka yang akan mempengaruhi pemikiran dan sikap anak ngenger .

80% anak-anak muda yang ngenger  di Ngawi mengalami perubahan idiologi dari NU dan Nasionalis menjadi Muhammadiyah. Namun ada sekitar 20% yang masih berafiliasi pada NU. Dalam pandangan Abdul Munir Mulkhan, Muhammadiyah di pedesaan dapat digolongkan menjadi empat macam. Yaitu, Al Ikhlas, Kiyai Dahlan, Munu dan Marmut, (Mulkhan, 2000: 251-265). Al Ikhlas adalah golongan Muhammadiyah yang totalitas memurnikan Islam, kelompok Kiyai Dahlan adalah kelompok Islam murni yang tidak mengerjakan sendiri tetapi toleran pada TBC, Munu adalah kelompok Muhammadiyah yang masih memelihara TBC dengan tahlilan, yasinan, mitoni, slametan dan berbagai macam tradisi keagamaan, terakhir adalah kelompok Marmut atau Muhammadiyah Marheinis yang melihat kehidupan banyak sekuler dan sinkretik.

Kondisi sosiologis dan geografis di Desa Grogol, Ponorogo sama dengan gambaran Abdul Munir Mulkhan, yaitu masyarakat pedesaan dan juga petani. Akan tetapi peneliti menemukan perbedaan varian Muhammadiyah. Para pemuda yang ngenger  memiliki latar belakang nasionalis atau abangan dan NU. Setelah ngenger  di Tempurjo, Ngawi transformasi mereka tidak menjadi Al Ikhlas atau Marmut. Melainkan kelompok Kiyai Dahlan dan Munu. Tidak ada yang menjadi Marmut. Walaupun dulu mereka dan keluarganya berasal dari nasionalis atau abangan. Hal ini disebabkan selama mereka ngenger, penanaman nilai-nilai agama dan berjuang dalam menegakan agama adalah keharusan telah mendarah daging. Adapun varian Munu ditemukan bukan semata karena pemahaman idiologi yang mengakulturasikan sikap keagamaan dengan tradisi budaya, melainkan lebih dikarenakan menjaga sikap atau perasaan lingkungan mereka yang NU atau karena keluarga mereka penganut fanatik NU.

Wiliam James menjelaskan dalam bukunya, “The Varieties of Religious Experience”, bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi perubahan idiologi yaitu faktor keluarga yang setiap saat terjadi interaksi, dan yang kedua adalah karena kepripadian individu. Yaitu sikap melihat, merasakan dan mengalami sebuah kejadian kemudian terjadi internalisasi kejadian yang disaksikan atau dialami tersebut ke dalam diri masing- masing, (Jalaludin, 2009:325). Sedangkan dalam konteks ngenger  di Ngawi,  Ada beberapa faktor yang membuat sebagian besar anak-anak yang ngenger  itu saat kembali kekampung halaman memilih berpindah idiologi dari NU menjadi Muhammadiyah.

Pertama, merasa simpatik dengan Muhammadiyah. Pada saat mereka ngenger  antara 1960 sampai 1970 perguruan Muhammadiyah di Tempurjo sangat maju, meriah dan bergeliat dengan progresif. Ada banyak santri baik yang mondok, nglaju dan ngenger . Keadaan tersebut membuat hati dan pikiran anak ngenger  terbuka bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi besar, modern, baik dan maju. Selain itu sikap terbuka, egaliter dan tidak memaksakan idiologi Muhammadiyah justru menjadikan anak yang ngenger  bersimpatik.

Kedua, tokoh masyarakat, pengurus dan pengasuh perguruan Muhammadiyah tempurjo memiliki dedikasi dan keiklasan yang cukup tinggi. Sehingga anak ngenger  merasa tersentuh hatinya melihat keiklasan tersebut. Mereka melihat tokoh Muhammadiyah bersikap sepenuh hati demi dakwah islam. Tidak mementingkan materi justru berani berkorban untuk kemajuan Islam.

Ketiga, penekanan yang dilakukan oleh induk semang, tokoh masyarakat dan pengasuh Perguruan Muhammadiyah Tempurjo soal pentingnya ilmu agama, kewajiban bersungguh-sungguh dalam mendakwahkan islam, membuat mereka yang ngenger terpanggil untuk berjihad mengembangkan dakwah islam. Mereka menyadari bahwa islam itu bagian dari hudup, penunjuk jalan kebenaran maka perlu di perjuangkan dengan sepenuh hati. Bahkan perlu pengorbanan, baik tenaga, pikiran, harta sampai waktu. Demi mendapatkan ridho Allah SWT. []


*Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY dan Dosen Ilmu Komunikasi UAD

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait