Pandemi Corona di antara Amerika, Cina, dan Islam

Pandemi Corona di antara Amerika, Cina, dan Islam

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Robby H Abror*

Di tengah meluasnya wabah Covid-19 di seluruh dunia, ketegangan antarnegara dalam mempersepsikan penyebab virus korona tak terelakkan. Rusia, Cina dan Iran sejak awal sudah menduga bahwa Amerika Serikat yang pertama menyebarkan virus ini di dunia. Yaitu sejak rombongan atlet prajurit AS mengikuti pertandingan dunia militer di Wuhan pada Oktober 2019 .

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Presiden AS, Donald Trump justru membuat pernyataan yang menyudutkan dengan menyebutnya sebagai “virus Cina”. Sedangkan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo mengatakan itu “virus Wuhan”. 

Pandemi ini mengancam hubungan AS-Cina lebih senjang lagi. Washington lambat dan boleh dibilang gagal dalam mengambil inisiatif berperan aktif membantu dunia, sebaliknya Beijing bergerak lebih cepat. Cina berhasil keluar dari krisis ini lebih cepat dari yang dibayangkan dan membantu beberapa negara lainnya. 

Sudah hampir sejuta kasus positif korona. AS masih yang terbanyak dengan hampir 200 ribu kasus. AS telah menjadi pusat pandemik korona dan mulai kalang kabut, sebagaimana Italia yang telah tembus lebih dari 100 ribu kasus. Di tengah usaha melawan wabah ini, AS dikejutkan oleh tornado yang menerjang Kota Jonesboro di Arkansas pada 29 Maret 2020. 

Dalam kondisi yang demikian, AS masih juga mempersiapkan kekuatan militernya di Irak dengan mengaktifkan beberapa baterai rudal patriotnya di markas Ein al-Assad. Pastilah ini bukan kewaspadaan membantu Irak melawan virus, bukan juga tekad Trump menghancurkan Hasad al-Shaabi dan Kata’ib Hezbollah, paramiliter atau milisi pro Iran yang selama ini selalu mengusik posisi-posisi penting AS di Irak dengan roket-roket Katyusha, roket artileri buatan Rusia. 

Dominasi Iran di Timteng dengan semua kekuatan proksinya tak dapat diremehkan. AS, Israel dan Arab Saudi berada dalam jangkauan rudal-rudal Iran. AS sudah dipermalukan Iran dengan belasan rudal presisi yang menghantam dua markas AS di Irak. Tidak kurang dari 109 militer AS mengalami gegar otak. Trump dan seluruh jajarannya sangat terkejut menyadari dengan muka merah dan tak percaya pada kemampuan kemajuan militer Iran yang signifikan.

Itu adalah balasan Iran atas pembunuhan jenderal Garda Revolusi Iran, Qassem Soleimani oleh drone AS dekat bandara internasional Baghdad. Ayatollah Khamenei, pemimpin tertinggi Iran menyebutnya, baru “tamparan” saja buat AS, dan itu bukan balas dendam yang sesungguhnya.

Sebab jika AS mengulangi lagi tindakan brutalnya yang melanggar aturan dunia sebagaiman pembunuhan atas Qassem sebagai representasi salah satu petinggi negara tersebut, Iran tak akan segan-segan untuk menutup Selat Hormuz dan membakar seluruh fasilitas militer AS dan Israel di Timteng.

Di balik permusuhan

Ganasnya penyebaran virus korona khususnya di AS telah menggerakkan Rusia, Cina dan Iran untuk mengirimkan bantuan peralatan medis kepada Amerika. Hal ini diakui Presiden dalam berbagai pernyataannya di media arus utama.

Padahal sebelumnya AS menawarkan bantuan medis kepada Iran, tetapi ditolak. Saat itu Iran sedang pada posisi yang sangat berat untuk mengatasi puluhan ribu rakyatnya yang positif korona, dan AS belum ada tanda-tanda ke arah meledaknya jumlah positif korona seperti yang dapat kita lihat sekarang. 

Iran menolak bantuan itu. Sebab sanksi AS atas Iran yang sudah terlanjur banyak, berat dan sangat membebani rakyat Iran telah lama dijatuhkan dan belum dicabut. Bahkan AS tidak membenarkan bantuan internasional masuk Iran.

Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif mengingatkan bahwa AS adalah teroris kesehatan atas rakyat Iran. Bagaimana mungkin menerima uluran tangan negara yang selama ini memusuhinya dan membuat rakyat Iran menderita. Iran bergerak cepat dengan melakukan tindakan sebaliknya. Bersama-sama dengan Rusia dan Cina, Iran a mengirimkan bantuannya kepada AS.

Mungkinkah permusuhan abadi ini akan berakhir dan tercipta keadilan di dunia? Harapannya demikian.

Tetapi justru dari situ muncul tafsir yang abadi pula, retorika terorisme adalah bahasa permusuhan. Barat dan Timur tidak akan pernah berdamai sebelum kepentingan mereka semua terpenuhi.

Lalu bagaimana dengaa posisi umat Islam di dunia khususnya di Timur Tengah? Tanpa kesadaran kritis dan upaya tulus dalam menjalin persaudaraan di antara mereka, kenyataan pahit ini akan tetap terjadi dalam permainan dan intervensi asing. Dilema ideologis dan historis yang tak dituntaskan.

Alih-alih menyelesaikan krisis Arab dan musim semi yang gagal, munculnya sikap curiga dan permusuhan internal umat Islam yang tak kunjung padam, jutaan pengungsi dalam penderitaan dan hidup yang dramatis. Sikap AS yang berhitung untuk tidak segera membalas serangan balasan Iran, ini pun ada yang menilainya sebagai sandiwara.

Sudah jelas-jelas jenderal Iran menjadi korban. Sekarang Iran membantu AS atas dasar rasa kemanusiaan, ini juga akan dianggap sebagai permainan bahasa persahabatan di balik permusuhan. Serba salah dan sulit menegakkan benang basah dengan sikap penuh curiga. 

Persaudaraan sejati

Umat Islam sesungguhnya mempunyai harapan yang sama: terciptanya keadilan di Palestina dan Timur Tengah, tanpa intervensi AS-Rusia dan sekutunya. Tapi tampaknya itu sulit diwujudkan, selama masing-masing pihak tidak pernah bersikap terbuka untuk dialog dan komunikasi antara ideologi dan firqah.

Umat Islam sadar tentang pentingnya menjaga ikatan persaudaraan, tetapi masih terjerat dalam rantai permusuhan proksi yang berdarah-darah. Umat ini belum mewakafkan kesadaran ukhuwahnya, membuka mata hati untuk berusaha membangun persaudaraan sejati demi kemaslahatan bersama. 

Sunni, Syiah dan Khawarij yang berkembang pascatragedi Perang Shiffin ini oleh Ahmad Syafii Maarif (2018) disebut sebagai perberhalaan yang menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam, termasuk juga umat Islam yang non-arab.

M. Amien Rais (1998) menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan yang bersifat Hobbessian, berada dalam peperangan saling menaklukkan yang lemah. Dua tokoh kharismatik Muhammadiyah ini dapat menjadi teladan dalam pemikiran dan persaudaraan sejati, meskipun kerapkali berbeda pendapat dan dinamis.

Perang saudara terus terjadi di depan mata. Arab Saudi dan milisi Houthi Yaman masih bertempur. Suriah hampir saja perang terbuka dengan Turki, setelah jatuh korban jiwa dari tentara masing-masing.

Pertemuan Erdogan dengan Putin mengakhiri ketegangan itu. Irak dan beberapa negara Arab di Timur Tengah dan negara yang mayoritas berpenduduk muslim di sekitar Iran seperti Pakistan, Afghanistan, Turkmenistan, Turki, dan lainnya masih menjadi pangkalan militer AS.

Cina yang awalnya dianggap sebagai pihak yang paling bertangung jawab. Karena awal mewabahnya virus ini dengan 80 ribu lebih warganya positif terinfeksi, sekarang sudah bebas dan bahkan telah membantu Italia, Iran, AS dan negara lain.

Iran, negara pertama yang meniadakan shalat jumat dan shalat berjamaah di masjid untuk mencegah korona dinilai sebagai tindakan yang tidak lazim. Namun, pada akhirnya Arab Saudi, Turki, Malaysia, dan Indonesia sendiri juga melakukan hal yang sama, meskipun melalui pro dan kontra yang multitafsir tentang takdir, kematian dan kewajiban beribadah. Ramadan dan Idul Fitri masih masuk dalam hitungan ledakan penyebaran.

Umat Islam ini umat yang satu. Semuanya ingin keadilan dan merindukan persaudaraan sejati. Tapi sebagian masih disilaukan oleh perdebatan dan bahasa permusuhan yang tak kunjung usai. Berada dalam konflik dan sikap suudzan yang terus diwariskan.

Padahal sejatinya mereka sadar bahwa mereka merindukan hal yang sama, cita-cita yang satu: persaudaraan sejati. Kebersamaan dalam menyebarluaskan pesan takwa dan membangun peradaban.

Virus korona adalah musuh bersama. Covid-19 tak pandang bulu. Penyebarannya sangat cepat. Ribuan tewas karenanya.

Perlu kedewasaan untuk mengatasi masalah ini. Bahasa permusuhan bukan solusi. Dunia harus bersama-sama melawannya.

Umat Islam di Indonesia khususnya, sebagai mayoritas di negeri ini, perlu menjadi teladan dalam mengambil keputusan terbaik. Demi rasa kemanusiaan, semua pihak hendaknya menghalau polarisasi yang kontraproduktif, menghilangkan sekat-sekat kepentingan pribadi, politik atau pun golongan.

Menahan diri dari sikap saling menyalahkan, menghambat dan menuduh untuk kebaikan bersama adalah sikap yang tepat. Ini harus dimulai dari masing-masing individu, dari bahasa tulisan di media sosial, hingga tutur kata kepada khalayak ramai.


*Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah DIY; Dosen Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga

Sumber: https://www.republika.id/posts/5712/amerika-cina-dan-islam-di-tengah-pandemi-korona

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Berita Terkait