Opini

Opini

Opini

May 10, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Khalifah Umar Ibn Khattab, Presiden Jokowi, dan Masalah Kesehatan Spiritual

“Wal-‘Ashr, sesungguhnya manusia di dalam kerugian.

Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh

serta saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran”.

(QS Al-‘Ashr [103] : 1-5)

Manusia dari kata manu (bahasa Sanskerta) dan mens (bahasa Latin) yang berarti “makhluk berakal budi”. Otak budi (prefrontal cortex), otak yang terletak tepat di balik tulang dahi, adalah otak yang hanya dianugerahkan Tuhan kepada manusia, binatang tidak. Dengan otak budi yang digunakaan sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan Tuhan lewat kitab suci, maka manusia akan mendapatkan hati (amigdala-otak emosi) nurani.

Sebaliknya, akan mendapatkan hati zhulmani, hatinya menjadi gelap, menjadi manusia “gelap”, atau zalim (zhalim) karena mengikuti langkah-langkah setan. Adapun setan menggoda manusia, dari depan, belakang, kanan dan kiri dengan cara memperpanjang angan-angan dan memperindah perbuatan keji. Dari manusia politik berubah menjadi binatang politik, menjadi homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya, seperti kata Thomas Hobbes. Tujuan menghalalkan segala cara, kata Machiavelli, demi mengejar harkat “martabak”, tidak pedul lagi harkat martabatnya sebagai insan politik.

Menurut James Freeman Clarke, seorang politisi itu berpikir tentang pemilu berikutnya, sedangkan seorang negarawan berpikir tentang generasi berikutnya. Oleh karena itu, mengapa seorang politisi jatuh martabatnya menjadi binatang politik, karena hanya berpikir tentang pemilu berikutnya (the next election), pokoknya menang, segala cara ditempuhnya, berbuat curang. Sebaliknya, politisi yang berpikir demi generasi berikutnya (the next generation) akan “naik pangkat” menjadi negarawan, meskipun kalah dalam pemilu tidak masalah, karena kalah dengan terhormat.

Seperti kita ketahui bersama, manusia sering sekali menjadi tawanan dirinya karena ketidakmampuan dia melepaskan atau menyelamatkan diri dari dorongan hawa nafsu (vested-interest). Pada posisi yang demikian itu, dia tidak lagi mampu melepaskan diri dari kungkungan kepentingan dan posisi dirinya. Kalau sudah menjadi tawanan kepentingan dan posisi dirinya, seseorang akan sulit dan tidak mampu lagi membedakan antara yang benar dan yang salah. Kondisi yang merugikan diri itu kemudian sering diistilahkan sebagai became a captive of here and now (Madjid, 1998).

Nurcholish Madjid (1998), selanjutnya menulis, bahwa sejalan dengan konsepsi kaum sufi, manusia kemudian dikenal memiliki dua dimensi. Pertama, disebut unsur lahut, yakni potensi keilahian, yang selalu mendorong dirinya untuk merindukan dan mencintai kebenaran. Yang kedua adalah unsur nasut, sebagai makhluk bumi, yang memiliki kelemahan-kelemahan dan memiliki dorongan-dorongan nafsu sehingga pada suatu saat tertentu, manusia kemudian akan jatuh dan terperosok ke dalam kejatuhan moral dan spiritual (spiritual bankruptcy).

“Errare humanum est, perseverare diabolicum”, demikian kata Seneca, berbuat salah itu manusiawi, mempertahankan kesalahan itu perbuatan iblis. Maka, sudah tahu itu perbuatan salah, lalu mengajak orang lain untuk ikut perbuatan salah, itu perbuatan setan. Setan itu kata sifat, bukan kata benda. 

Oleh karena itu, setan dapat berwujud jin atau manusia, yaitu manusia berperilaku setan. Andaikata, Kanjeng Nabi Ibrahim masih sugeng, bisa jadi para binatang politik itu, sudah beliau lempari batu karena berperilaku setan! 

Bung Hatta, Bapak Bangsa Indonesia, Sang Proklamator, mengatakan, bahwa kurang pandai bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap bisa diperbaiki dengan latihan. Tapi, kurang jujur susah diperbaiki. Hidup itu pilihan, menjadi manusia politik, negarawan (stateman) atau binatang politik. Bapak Bangsa Indonesia, Sang Proklamator, Bung Karno berpesan : “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (Jasmerah)”.

Kuntowijoyo (2013), Guru Besar Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu budaya UGM, dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, menulis orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya. Kenyataan bahwa sejarah terus ditulis orang, di semua peradaban dan sepanjang waktu, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu.

Sejarah itu berguna secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, sejarah itu berguna sebagai pengetahuan. Seandainya sejarah tidak ada gunanya secara ekstrinsik, yang berarti tidak ada sumbangannya di luar dirinya, cukuplah nilai-nilai intrinsiknya. Akan tetapi, disadari atau tidak, ternyata sejarah ada di mana-mana.

Setidaknya ada empat guna sejarah secara intrinsik, yaitu 1) Sejarah sebagai ilmu, 2) Sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, 3) Sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan 4) Sejarah sebagai profesi.

Adapun guna sejarah secara ekstrinsik, sejarah dapat digunakan sebagai liberal education untuk mempersiapkan mahasiswa supaya mereka siap secara filosofis, tidak saja untuk yang belajar di jurusan sejarah. Di Indonesia, sejarah selain diajarkan dari SD, SMP, SMU, dan di perguruan tinggi, juga di sana sini diajarkan lewat penataran-penataran P4. Selanjutnya, secara umum sejarah mempunyai pendidikan, yaitu sebagai pendidikan 1) Moral, 2) Penalaran, 3) Politik, 4) Kebijakan, 5) Perubahan, 6) Masa depan, 7) Keindahan, dan 8) Ilmu bantu. Selain sebagai pendidikan, sejarah juga berfungsi sebagai 9) Latar belakang, 10) Rujukan, dan 11) Bukti.

Menurut Harun Nasution (2001), dalam bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, bahwa khalifah (pemerintahan), yang timbul sesudah wafatnya Nabi Muhammad, tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat merupakan republik, dalam arti, kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun.

Sebagai diketahui khalifah pertama adalah Abu Bakar dan beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad. Khalifah kedua, Umar Ibn Khattab, juga tidak mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar, demikian pula Khalifah ketiga Usman Ibn Affan dan Khalifah keempat Ali Ibn Talib, satu sama lain tidak mempunyai hubungan darah.

Demikianlah ungkapan sejarah tentang pengangkatan sahabat-sahabat Nabi Muhammad itu menjadi khalifah. Jelas bahwa cara pengangkatan kepala negara sebagai yang diungkapkan sejarah ini, bukanlah cara yang dipakai dalam sistem kerajaan. Cara itu lebih sesuai untuk dimasukkan ke dalam sistem pengangkatan kepala negara dalam pemerintahan demokrasi.

Ali Audah (2000), penerjemah buku Umar bin Khattab tulisan Muhammad Husain Haekal, dalam kata pengantar buku yang ia terjemahkan menulis, kepemimpinan Umar Ibn Khattab selama lebih dari sepuluh tahun sebagai Amirulmukminin, sebagai pemimpin dan kepala pemerintahan, dengan prestasi yang telah dicapainya memang terasa unik, jika kita baca langkah demi langkah perjalanan hidupnya itu, dan cukup mengesankan.

Umar sebagai Khalifah tidak sekedar kepala negara dan kepala pemerintahan, lebih-lebih dia sebagai pemimpin umat. Ia sangat dekat dengan rakyatnya, ia menempatkan diri sebagai salah seorang dari mereka, dan sangat prihatin terhadap kehidupan pribadi mereka. Peranannya dalam masyarakat jahiliah sebelum ia masuk Islam, kepribadiannya sebagai manusia Arab dan kemudian sebagai Muslim.

Sebagai murid dan sahabat Nabi, pergaulannya dengan Nabi dan dengan sahabat-sahabat yang lain, sampai peranannya sebagai kepala negara, wataknya yang keras dan yang lembut, dengan segala tanggung jawab dan kesederhanaan hidup pribadi dan keluarganya, merupakan teladan yang sukar dicari tolok bandingnya dalam sejarah.

Khalifah Umar Ibn Khattab, Presiden Jokowi, dan Bantuan Sosial (Bansos)

Menurut Djamaluddin Ahmad al-Buny (2001), dalam bukunya Lelaki Buta dari Surat ‘Abasa, Teladan Hidup para Sahabat Nabi, Umar Ibn Khattab adalah seorang khalifah yang sering mengadakan kunjungan sembunyi-sembunyi melihat keadaan rakyatnya. Kebiasaan Khalifah Umar ini menunjukkan sikap pribadinya yang sejak awal masuk Islam selalu dekat dengan orang-orang kebanyakan. Khalifah yang satu ini selain merakyat, ia termasuk orang yang memiliki sifat syaja’ah (pemberani), berbicara jelas dan transparan, tidak menyembunyikan sesuatu rahasia dan suka menolong orang-orang miskin.

Seperti biasa, ketika Khalifah Umar mengadakan perjalanan rahasia di waktu malam. Ia dikawal hanya oleh seorang prajurit yang berpakaian preman. Masuk kampung keluar kampung sampai ke desa-desa yang terpencil di sekitar Madinah. Khalifah ingin mengetahuio, apakah keadilan dan kemakmuran telah dirasakan oleh seluruh rakyatnya. Karena berat rasanya beban tanggung jawab dari amanah yang dipikulkan ke atas pundaknya kalau selama ia menjadi Khalifah masih ada di antara rakyatnya yang hidup menderita.

Malam telah lelap. Tidak seorang pun yang nampak melewati lorong-lorong di kota maupun di desa. Hanya cahaya bintang gemerlap di langit yang menyaksikan apa yang sedang dikerjakan Khalifah bersama pengawalnya di malam itu.

Tiba-tiba Khalifah mendengar dari jarak yang tidak terlalu jauh, menangis suara anak kecil terisak-isak. Beliau bersama pengawalnya mendekati suara isakan yang sangat menyentuh perasaannya. Sampailah Khalifah ke sebuah gubuk. Dari luar pengawal mengintip melalui dinding rumah yang sudah berlubang. Nampak di dalam rumah itu seorang ibu muda yang menunggu tungku yang nampaknya sedang memasak sesuatu. Tiga anaknya yang masih kecil-kecil bergelayutan di ujung kainnya sambil menangis terisak-isak.

Khalifah mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Walaikumussalam terdengar suara dari dalam. Pintu dibuka dan Khalifah minta izin untuk masuk. “Silahkan masuk” ujar wanita itu tanpa takut.

“Ada apakah gerangan di malam hari seperti ini anda berdua kemari?” tanya wanita itu. “Apakah ada keperluan penting? Maaf ini gubuk kami yang sangat jelek dan tidak ada sesuatu pun di dalamnya”, lanjut wanita itu merendah. “Kami orang miskin”, wanita itu menjelaskan tanpa ragu.

Bertanya Khalifah Umar : “ Apa yang sedang ibu kerjakan?”. “Saya sedang menanak sesuatu, tetapi bukan gandum, melainkan batu-baru kerikil untuk menenangkan hati anak saya yang sedang kelaparan. Sejak siang tadi kami belum merasakan sesuap nasi (gandum). Oleh karena itu anak-anak ini menangis, seperti anda berdua dengar. Barangkali sebab inilah, anda berdua mengetuk pintu gubuk kami ini. Mereka sekarang tertidur seperti yang anda berdua lihat. Sebentar lagi akan terbangun sebab dengan perut kosong mustahil mereka dapat tidur lelap”.

Tersentak keras hati Khalifah mendengar ucapan wanita ini. Hatinya bagai disayat sembilu melihat keadaan mereka. Dalam hatinya barangkali Khalfiah akan berkata : “Sungguh sangat besar tanggung jawabmu di hadapan Allah wahai Umar, apabila umatmu banyak yang keadaannya seperti ini. Tidak boleh terjadi hal seperti ini terus-meneerus dalam hidup umat, selama Umar masih menjadi Khalifah”.

Khalifah bertanya pula “ “Di mana suami ibu sekarang?”. Dijawabnya : “Suami saya adalah mujahid yang bertempur membela Islam, dari medan perang satu ke medan perang lain hingga kini ia syahid. Allah Ta’ala telah memberinya bahagian dari jihadnya”.

Ketika hidupnya ia adalah seorang pekerja keras dan kuat beribadah, seperti yang diajarkan Rasulullah. Kami mendapatkan kebutuhan sehari-hari dari mata pencahariannya. Ketika medan jihad memanggilnya ia langsung mengikuti panggilan itu.

Semangat membela Islam menyala di dalam dadanya. Imannya bergetar deras. Sumbu iman itu dikobarkannya sendiri. Ia ingin mengikuti semangat para syuhada’ lainnya yang telah gugur mendahuluinya. Dan kini ia pun telah gugur sebagai syuhada’.

Sepeninggalnya nasib kami tak menentu, dan semakin melarat. Nasib saya dan anak-anak saya sebagai janda perang tidak menjadi perhatian Khalifah Umar. Saya akan menuntut hak-hak saya, hak janda saya sebagai keluarga korban perang kepada Khalifah. Ia harus mengetahui hal ini. Mungkin tidak hanya saya. Barangkali ada lagi wanita dan ibu-ibu lain yang perlu mendapat perhatian sebagai janda para syuhada’. Saya tidak menuntut banyak kepada Khalifah, sebab akan merusak amal ibadah suami saya yang telah syahid. Hanya kehidupan sehari-hari ini sajalah yang saya harapkan dari Khalifah”. Wanita itu tidak mengetahui sama sekali bahwasanya laki-laki yang diajak bicara itu adalah Khalifah Umar Ibn Khattab.

“Engkau benar wahai ibu,” ujar Khalifah. “Saya akan sampaikan keluhanmu ini kepada Khalifah, agar engkau mendapat bantuan secukupnya. Mungkin Khalifah belum tahu bahwasanya ada di antara rakyat yang belum mendapat perlakuan yang sewajarnya dari pemerintah. Kasus anda ini akan menjadi salah satu awal program pemerintah kelak agar lebih jeli melihat kehidupan umat.

Mungkin juga pemerintah telah melaksanakan tugas-tugasnya, namun belum seluruhnya dapat dijangkau. Barangkali karena laporan dari orang-orang di lapangan yang belum disampaikan kepada Khalifah”.

“Saya tidak begitu faham apa yang tuan ucapkan. Akan tetapi saya sangat berterima kasih atas kedatangan tuan. Tuan yang telah rela masuk ke dalam gubuk saya yang kotor dan berbau asap ini, menunjukkan kemuliaan hati tuan. Kalau saja Khalifah Umar seperti tuan, mau turun ke bawah, melihat langsung keadaan umatnya, sudah tentu keadaan seperti ini tidak akan terjadi”.

“Benar”, ujar Khalifah, seraya mohon pamit. “Saya minta diri dulu. Assalamu’alaikum”. “Walaikumussalam”, balas wanita itu. Khalifah beranjak keluar dari gubuk itu membawa hati yang perih sambil meneteskan sedikit air mata di atas pipinya. Seorang janda pahlawan yang suaminya telah mengorbankan nyawa untuk Islam, ujarnya di dalam hati.

Bersama pengawalnya itu ia berjalan cepat menuju gudang penyimpanan bahan makanan milik pemerintah. Di ambilnya sekarung gandum dan dipikulnya di atas pundaknya. Pengawalnya yang berusaha mengambil karung itu dari tangannya ditolak oleh Khalifah. Umar yang bertanggung jawab maka Umar pula yang harus memanggulnya. Seperti itulah kira-kira ucapan hati Khalifah. Segera langkahnya lebih dipercepat lagi menuju rumah wanita miskin itu.

Disampaikan sendiri satu karung gandum itu kepada wanita itu seraya berkata : "Masaklah makanan untuk anak-anakmu. Ini cukup untuk beberapa hari. Saya akan memperjuangkan nasibmu kepada Khalifah Umar. Beberpa hari mendatang engkau akan mendapatkan hak-hak jandamu itu”.

Khalifah sendiri yang membuka tali karung gandum itu dan mengeluarkan beberapa liter untuk dimasak. Ia sendiri yang menyalakan kembali api sambil mengangkat dan mengeluarkan batu-batu kerikil dari dalam tempayan. Ia juga yang meniup api sehingga jenggot beliau penuh dengan abu dari tungku itu. Menunggu sampai gandum itu masak kemudian membagi-baginya ke dalam beberapa piring yang ada. Setelah itu Khalifah mohon diri.

Anak-anak itu telah bangun dari tidurnya. Mereka sangat gembira dan tertawa-tawa melihat makanan yang telah tersedia. Mereka tidak tahu apa yang yang telah terjadi beberapa jam yang lalu.

Sampai selesainya Umar menolong keluarga itu dan beranjak pergi meninggalkan gubuk itu, mereka tidak mengetahui sama sekali bahwa yang datang langsung ke rumah itu, tidak lain adalah Khalifah Umar Ibn Khattab. Demikianlah kisah jadul (jaman dulu), bagaimana dengan kisah zaman now.

Haedar Nashir (2021), dalam bukunya Agama, Demokrasi dan Politik Kekerasan, kekerasan politik ialah kekerasan yang ditimbulkan oleh dan terkait perebutan kepentingan politik. Kekerasan politik ataupun kekerasan lainnya dapat berupa kekerasan verbal, seperti ujaran verbal, intimidasi, yang secara psikologis membuat korban mengalami tekanan psikis kuat.

Lebih-lebih kekerasan fisik secara langsung seperti menyakiti tubuh korban dalam berbagai bentuk, bahkan sampai melukai dan melenyapkan nyawa korban. Kekerasan politik biasanya memperoleh legitimasi politik dari pelakunya, dengan berbagai dalih. Kekerasan politik pun sering terkait politisasi dan politik kekerasan. Pihak berkuasa dapat menggunakan otoritas hukum dan kekuasaan untuk melemahkan mereka yang dianggap melawan atau kritis. Tujuannya melemahkan siapapun yang dianggap ancaman terhadap kekuasaannya.

Kekerasan politik biasanya dilakukan pihak yang memiliki kedudukan kuat terhadap yang lebih lemah, baik negara maupun nonnegara atau kekuatan masyarakat sampai individu. Kelompok dalam masyarakat yang merasa kuat, baik secara jumlah maupun akses dapat melakukan kekerasan.

Termasuk yang dilakukan kelompok semimiliter atau ala premanisme, yang sering bertemali dengan kekuatan dan kepentingan politik tertentu melalui dalih pembenaran yang seakan absah. Korban kekerasan politik pun tidak jarang melakukan politisasi kekerasan.

Maka itu, terjadi saling politisasi kekerasan, yang satu mencari pembenaran atas kekerasan yang dilakukannya, sedang lainnya mendramatisasi kekerasan yang diderita sebagai ikhtiar kapilalisasi meraih simpati dan dukungan politik.

Betapa kompleksnya kekerasan politik sehingga di dalamnya terdapat politisasi kekerasan, polirik kekerasan, dan ideologi kekerasan. Namun, kekerasan politik sebagaimana kekerasan pada umumnya tetaplah kekerasan sebagai perbuatan fasad fil-ardi.

Menurut Sulistyowati Irianto (2024), Guru Besar Antropologi Hukum FH-UI, dalam tulisannya yang berjudul Pemilu dan Jalan Kebudayaan bagi Indonesia, tulisan ini dibuat dalam rangka Renungan Pemilu 2024, Indonesia selama ini dipuji dunia sebagai negara hukum dan negara demokrasi Islam terbesar yang mampu merawat keberagaman. Namun, dalam waktu singkat menjelang Pemilihan Umum 2024, menjadi negara kekuasaan.

Persoalan utama Pemilu 2024 adalah netralitas palsu dan kecurangan yang diperlihatkan justru oleh penyelenggara negara, dengan pengerahan kekuatan struktur negara dan sumber dana tanpa batas.

Kecurangan masif dimulai dari politisasi yudisial dan penyebaran kesadaran palsu kepada publik bahwa semua wajar tanpa pelanggaran hukum. Namun, sebenarnya, keruntuhan demokrasi sedang terjadi, perlahan tetapi pasti, dan membahayakan kohesi masyarakat.

Berbagai kecurangan politik itu dapat dikategorikan sebagai kekerasan budaya. Dalam era digital ini kekerasan tidak harus dalam bentuk perang dan penyerangan fisik, tetapi juga penyerangan terhadap kesadaran berupa pengikisan nilai-nilai, ide, dan peranan yang ditujukan terus-menerus kepada seseorang atau kolektiva (Greenland & Mocek, 2020, dalam Irianto, 2024).

Kekerasan budaya dilakukan secara simbolik, termasuk melalui simbol agama, potret pemimpin, pidato, poster yang ada di mana-mana dan mempengaruhi kesadaran (Galtung, 1990, dalam Irianto, 2024). Publik cemas, kehilangan kepercayaan, tetapi tidak tahu ke mana bertanya kebenaran.

Kekuatan oposisi politik sangat lemah. Selebihnya adalah mayoritas masyarakat diam meskipun ada kelompok kecil gerakan masyarakat sipil yang cukup beragam, para aktivis, forum-forum pemantau pemilu, dan mahasiswa yang sesekali bergerak.

Kekuatan ini kalah dengan gegap gempita serbuan penyadaran palsu dan politik uang. Universitas yang seharusnya menjadi pioner demokrasi – karena menghasilkan manusia kritikal dan skeptikal serta berargumentasi berdasarkan data berbasis bukti – kali ini banyak diam, kecuali membiarkan mahasiswa turun ke jalan.

Mungkin hal itu karena selama ini keberadaan universitas dan lembaga riset diabaikan, termasuk hasil penelitian sains teknologi, ilmu sosial, dan humaniora yang tidak sungguh-sungguh menjadi dasar kebijakan.

Pemilu sering diplesetkan menjadi sekedar 'Pegel Mikirin Lu!' Bangsa Indonesia pandai membuat joke politik untuk mengurangi rasa gerah akibat suhu politik yang makin meningkat menjelang Pemilu. 

Bansos atau Bantuan Sosial merupakan bantuan negara kepada warga miskin atau tidak mampu. Penyaluran Bansos biasanya dilakukan oleh Kementerian Sosial/ Menteri Sosial. Kali ini beda, menjelang hari-hari pencoblosan. Rakyat menyaksikan penyaluran Bansos, langsung dilakukan oleh Presiden.

Tidak sulit untuk menebak perubahan perilaku ini, bahwa hal itu dilakukannya guna mendongkrak, agar suara pemilih sang “putra mahkota” Cawapres Gibran Rakabuming Raka, meningkat sehingga tercapai kemenangan dalam satu putaran saja. Begitulah harapannya. Presiden Jokowi melakukan kampanye terselubung. Bansos berubah jadi Ban-elek, maksudnya Bantuan elektoral !

Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, mboya keduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersane Allah, begja begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada. (Kalatidha Sinom 7).

Syair yang sangat alegoris dan indah karya pujangga besar Kraton Surakarta, R Ng. Ranggawarsita. Adapun artinya, Mengalami di zaman yang edan, akan senantiasa kebingungan dalam menentukan sikap, langkah, perilaku dan pemikiran. Kalau ikut ngedan atau menggila jelas tidak mungkin akan tahan. Tetapi kalau tidak ikut-ikutan arus, tak akan mendapat bagian (jatah – terakses segala kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan budaya atau pergaulannya) yang ujungnya hanya akan kelaparan. Namun karena sudah menjadi kehendak (takdir) Tuhan, sungguh sebahagia dan seberuntung-beruntungnya manusia yang lupa diri, masih tetap akan beruntung orang yang senantiasa eling (sadar) dan waspada.

Khalifah Umar Ibn Khattab, Khalifah Usman Ibn Affan, Presiden Jokowi, dan Nepotisme

Menurut Ali Audah (2000), keikhlasan Umar dan integritasnya mengabdi kepada Islam dan kepada umat, pribadinya yang sering disebut-sebut sebagai teladan karena ketegasannya, keadilannya yang benar-benar tanpa pilih bulu dan sikapnya yang sangat anti kolusi dan nepotisme. Semua itu dibuktikan dalam perbuatan. Salah seorang anaknya sendiri, karena melakukan suatu pelanggaran dijatuhi hukum cambuk dan dipenjarakan, yang akhirnya mati dalam penjara.

Menjelang kematiannya Umar menolak usul beberapa sahabat untuk mendudukkan anaknya yang seorang lagi, atau anggota keluarganya untuk dicalonkan duduk dalam majelis syura yang dibentuknya, yang berarti memungkinkan mereka menduduki jabatan khalifah penggantinya. Dimintanya jangan ada dari keluarga dan kerabatnya dicalonkan untuk jabatan itu. Menjelang kematiannya itu ia berkata, bahwa kalau Abu Ubaidah atau Salim bekas budak Abu Huzaifah masih hidup, salah seorang yang akan ia calonkan. 

Umar tidak ingin mengangkat pejabat yang tidak mengenal amanat, tetapi karena hanya ambisinya ingin menduduki jabatan itu. Dia juga yang memelopori setiap pejabat yang diangkat terlebih dahulu harus diperiksa kekayaan pribadinya, begitu juga sesudah selesai tugasnya.

Betapa keras keadilan dan disiplin yang dipegangnya, terutama dalam disiplin militer, yang juga telah mengagumkan tokoh-tokoh dunia. Bagaimana disiplin itu terjaga begitu kuat, sehingga seolah-olah tak masuk akal. Sekedar contoh, Khalid Ibn Walid – jenderal jenius yang sangat menentukan pembebasan Irak, Syam dan sekitarnya dan dengan gemilang telah mengusir Heraklius Kaisar Romawi kembali ke negerinya – mendapat sanksi berat dan diturunkan pangkatnya karena dianggap telah melanggar disiplin militer, malah pernah dibelenggu karena dianggap melanggar ketentuan hukum yang berlaku. 

Tidak heran, begitu perasaan para pemikir dan orang-orang terkemuka. Apalagi kaum duafa dan orang-orang miskin, mereka lebih merasakan lagi, karena musibah itu telah menimpa mereka juga. Ketika Madinah ditimpa kelaparan, ia juga ikut menderita, makan seadanya, sehingga mukanya yang berisi dan putih bersih, tampak cekung dan hitam. Bagi mereka Umar adalah ayah dan saudara, dan dia menjadi benteng mereka, menjadi tempat perlindungan mereka yang dapat dipercaya.

Menurut Harun Nasution (2001), Usman Ibn Affan sebagai Khalifah yang ketiga dan masa pemerintahannyalah mulai timbul persoalan-persoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang lemah dan tak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat Arab pada waktu itu.

Ia mengangkati mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah-daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar, khalifah yang dikenal sebagai orang kuat dan tidak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman.

Politik nepotisme ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi kedudukan Usman sebagai khalifah. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, akhirnya berpaling. Orang-orang yang ingin menjadi khalifah atau orang-orang yang ingin calonnya menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul itu.

Di daerah-daerah timbul perasaan tidak senang. Di Mesir Amr Ibn Al-Aas dijatuhkan sebagai gubernur dan diganti dengan Ibn Arbi Sarh, salah seorang dari anggota keluarga Usman. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus pemberontak bergerak dari Mesir menuju Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir itu.

Menurut Haryatmo (2024), Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Komisi Kebudayaan dan Dosen Universitas Sanata Dharma, dalam tulisannya yang berjudul Warga Negara Kompeten Versus Oligarki, yang merupakan Renungan Pemilu 2024, masalah yang sedang terjadi di Indonesia adalah lingkaran setan : lemahnya partisipasi masyarakat karena kedaulatan rakyat disita dan pimpinan partai lebih berpengaruh terhadap wakil rakyat.

Lalu, bersama pengusaha dan penegak hukum, mereka membentuk oligarki. Oligarki mengakibatkan merebaknya korupsi kartel-elite. Korupsi semakin memperlemah partisipasi karena korupsi memberi imbalan kepada tiadanya efisiensi, yang kemudian melemahkan institusi-institusi demokrasi. Akibatnya, oligarki semakin merajalela. 

Dari rumor yang beredar – jika itu benar – dalam kunjungan pertama ke China, Presiden Joko Widodo mendapat bisikan dari Presiden Xi Jinping tiga resep membangun negara : “bangunlah infrastruktur, pendidikan, dan kuasai parlemen”.

Dua program pertama dilaksanakan. Program ketiga juga terwujud sehingga tiada oposisi kuat. Mungkin karena ini harga yang harus dibayar “oligarki”.

Sangat mendesak memperluas partisipasi melalui pemberdayaan masyarakat agar terwujud warga negara kompeten yang mampu meningkatkan daya tawar politik menghadapi oligarki. Maka, Pemilu 2024 ini momen menentukan untuk bisa memilih secara bijaksana agar bisa keluar dari cengkraman oligarki dengan menjadi warga negara kompeten.

Menurut Wiliam Liddle (2024), Profesor Emeritus Ilmu Politik Ohio State University, Peraih Bakrie Award 2022, dan Anugerah Kebudayaan Republik Indonesia 2018, dalam tulisannya yang berjudul Jangan Merusak Demokrasi, yang merupakan Renungan Pemilu 2024, bahwa apa yang terjadi pada Indonesia hari-hari ini adalah seperti yang digambarkan oleh beberapa pakar dalam buku Democracy in Indonesia : From Stagnan to Regression ? (Thomas Power dan Eve Warburton, ISEAS, Singapura, 2020).

Setelah mengalami stagnasi selama dua periode pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 – 2014), demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sejak akhir masa jabatan pertamanya, melalui beberapa manuver politiknya Presiden Jokowi dinilai telah merusakkan secara sistematis sendi-sendi demokrasi Indonesia. Menurut Power, “Tren ini terlihat terutama dalam persenjataan pelaksanaan hukum oleh eksekutif, yang pada awal masa jabatan Jokowi kedua, telah mencapai tingkat seburuk Orde Baru”.

Setelah dilantik kembali pada 2019, Presiden Jokowi langsung mengambil alih kekuasaan atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sejak 2003 menjadi lembaga terpercaya masyarakat.

Ia (KPK) merupakan bintang cemerlang dalam konstelasi lembaga-lembaga Reformasi. Kebebasannya terjamin undang-undang. Oleh karena itu, KPK berhasil menangkap serta mengadili lebih dari 500 politisi dan pebisnis yang korup. Setelah 2019, legitimasi itu lenyap sama sekali.

Serentetan tindakan antidemokratis menyusul. Misalnya, ada sinyalemen usaha bertahun-tahun untuk memaksakan penggantian kepemimpinan Partai Demokrat, partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, mantan Panglima TNI, yang kini Kepala Staf Kepresidenan.

Tindakan mirip berhasil dilancarkan pada September 2023 tatkala Kaesang Pengarep, anak ketiga Jokowi, ditunjuk selaku pimpinan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai kecil yang sejak 2014 terkenal menjunjung partisipasi perempuan dalam politik.

Jokowi disinyalir juga memaksakan revisi undang-undang pemilu yang dimaksudkan agar gubernur dan bupati/walikota di sejumlah daerah bisa diturunkan sebelum masa jabatan mereka berakhir. Mereka diganti dengan pejabat yang diangkat pemerintah, sejenis cawe-cawe sebelum istilah itu memicu kontroversi.

Selama masa jabatan kedua Jokowi, semakin banyak perwira TNI diberi tugas dalam pemerintahan sipil tanpa diharuskan pensiun dulu – suatu pantangan selama masa Reformasi. Hal itu mengacaukan peran sipil dan militer. Ini mengingatkan kita pada dwifungsi ABRI dalam praktiknya meski belum dalam doktrinnya.

Pada awal Januari 2024, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) direvisi. Menurut Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, “Revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah, seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi dan hak kebebasan berekspresi di Indonesia”.

Tindakan paling berbahaya bagi demokrasi di Indonesia terjadi pada 16 Oktober 2023. Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai oleh Anwar Usman, mengabulkan gugatan yang membuat Gibran Rakabuming Raka (36), anak sulung Jokowi, sah dicalonkan sebagai wakil presiden berpasangan dengan calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Sebelum itu, undang-undang pemilu yang berlaku tidak memperbolehkan orang di bawah umur 40 tahun menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.

Tangan Jokowi terlihat jelas di belakang keputusan itu karena Anwar Usman adalah ipar Jokowi, yang menikahi adik Jokowi pada 26 Mei 2022. Konflik kepentingan sudah mulai dipersoalkan waktu itu.

Mengapa tindakan nepotis ini membahayakan kelangsungan demokrasi di Indonesia ? Nepotisme dalam politik Indonesia sebenarnya sudah lama menjadi barang yang sangat umum, di setiap tingkat pemerintahan, di Indonesia.

Di Indonesia, sejak 1998, stabilitas bergantung pada kepercayaan publik pada sejumlah lembaga, termasuk Komisi Pemilihan Umum dan undang-undang yang menjamin kebebasan pers.

Namun, peran utama dimainkan oleh MK sebagai pemilik hak putus akhir menurut Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Korupsi Jokowi terhadap MK bisa berakhir dengan tumbangnya demokrasi.

Kemungkinan berikutnya yang bisa muncul adalah potensi penolakan hasil pemilu. Hal itu diungkapkan, antara lain oleh pengamat politik dari Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah. Diungkapkannya, “Kalau Prabowo dan Gibran menang, semua kubu bisa saja beranggapan itu kemenangan yang diperoleh secara tidak jujur, maka mereka akan menolak hasil pemilu. Begitu hasil ditolak, itu kan tidak legitimate”.

Presiden Jokowi dan Masalah Kesehatan Spiritual

"Kesehatan bukan segalanya, tetapi tanpa kesehatan segalanya tidak ada maknanya, health is not everything, but without it everything is nothing”, demikian kata Schopenhauer.

Kata pepatah : “Bahasa menunjukkan bangsa”. Sayangnya, bahasa Indonesia kita itu miskin, hanya mengenal dua kosa kata yang berkaitan dengan kesehatan, yaitu sehat jasmani dan sehat rohani. Mestinya, empat kosa kata, yaitu sehat jasmani (fisik), sehat nafsani (jiwa atau mental), sehat rohani (spiritual atau maknawi) dan sehat mujtama’i (sosial).

Gangguan kesehatan nafsani atau jiwa atau mental, menurut Kusumanto Setyonegoro, Guru Besar Psikiatri FK-UI, identik dengan penderitaan manusia (human suffering). Jika penderitaannya demikian memuncak, terjadilah disintegrasi (retak atau pecah) kepribadiannya, sehingga daya nilai realitas maupun insight (tilikan dirinya) demikian terganggu, muncul perilaku kacau, orang awam mengatakan gila atau psikosis.

Sebenarnya ini merupakan puncak penderitaan manusia, mereka tidak bisa membela diri dan memperjuangkan nasibnya. Apa yang terjadi di masyarakat ? Karena dianggap sakit rohani, mereka diejek, direndahkan, mendapat perlakuan diskrimatif, dianggap merendahkan martabat keluarga, dipasung bahkan dibuang, tidak segera diobatkan. Dalam bahasa agama, masyarakat melakukan amal salah bukan amal saleh, kepada para penderita gangguan nafsani atau gangguan jiwa. Adapun diagnosis gangguan jiwa lebih dari 300 diagnosis, dari yang ringan sampai berat, bahkan sembuh sendiri juga ada.

Adapun penyebab gangguan nafsani, multifaktorial : organobiologik, psikoedukatif, dan sosiokultural. Maka, imunisasi untuk mencegah timbulnya gangguan nafsani belum ditemukan. Oleh sebab itu, gangguan nafsani bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Bisa menimpa dari sinden sampai presiden, dari dukun sampai dekan, dari selebriti sampai politisi! Tidak ada yang kebal.

Lalu, apa itu kesehatan rohani atau spiritual atau maknawi. Ini berkaitan dengan etik, moral, maupun akhlak. Para Nabi adalah manusia yang diutus Tuhan, yang dalam bahasa kesehatan agar umat manusia menjaga dan memelihara kesehatan rohaninya. Agar manusia berperilaku manusiawi, tidak berperilaku hewani. Tuhan tidak menuntut manusia berperilaku malaikat, tetapi juga manusia jangan menurunkan derajatnya sendiri dengan berperilaku binatang. Para Nabi adalah instruktur kesehatan rohani. Maka, para Nabi tidak hanya sehat rohani, mereka telah mencapai taraf bugar rohani (moral fitness). Para Nabi adalah contoh manusia yang sesungguhnya manusia, manusia yang perilakunya manusiawi. 

Kesehatan spiritual, kata spiritual (bahasa Latin) dari kata spiritus yang artinya menyalakan, atau membuat terang. Jadi, manusia yang sehat spiritual, membuat terang bukan kegelapan, menebar kebaikan bukan keburukan, menebar kebenaran bukan kesalahan. Dalam bahasa agama, berperilaku rahmatan lil ‘alamin, bukan berperilaku rahmatan lil kantonge dewe, keluarga, para kroni. Singkat kata, tidak berperilaku PKI, pokoke kantong isi! 

Adapun kesehatan maknawi, maka manusia yang sehat maknawi, perilakunya bermakna di hadapan Tuhan maupun manusia, contohnya para Nabi, maka umat manusia disuruh Tuhan meniru perilaku para Nabi, sehingga hidupnya senantiasa dapat ridho Ilahi.

Dari paparan di atas sejak dari awal, kami sebagai rakyat kecil bertanya-bertanya, benarkah Presiden Jokowi tidak bermasalah dengan kesehatan spiritualnya? Jika Presiden Jokowi tidak mampu mawas diri atas kritikan para pengkritiknya, lalu membuat apologi, “Ah, biasalah presiden dikritik, kami biasa direndahkan”, kritikan pada dirinya hanya dianggapnya angin lalu.

Apalagi tidak berubah perilakunya, tidak berubah kebijakannya, bisa jadi patut diduga, gangguan kesehatan spiritual Presiden Jokowi, telah mencapai taraf berat! “Kekuasaan itu cenderung korup, dan semakin absolut kekuasaan semakin absolut pula korupsinya”, demikian kata Lord Acton.

Kepada Gibran Rakabuming Raka, berkacalah kepada Presiden Marcos Jr, Presiden negara sebelah, Philipina. Dia berhasil menjadi presiden setelah babe-nya telah lama tiada, Presiden Marcos Sr. Jika, anda berhasil jadi Wakil Presiden, bisa jadi rakyat akan meledek anda, bisa berhasil jadi Wakil Presiden karena berlindung di bawah (maaf) “ketiak” sang babe Presiden RI yang sedang berkuasa. Gemoy, santuy bro!

Ada pepatah yang mengatakan “Ular busuk mulai dari kepalanya”. Maka, berhati-hatilah dengan pikiranmu, sebab akan jadi kata-kata. Berhati-hatilah dengan kata-katamu, sebab akan jadi perbuatan. Berhati-hatilah dengan perbuatanmu, sebab akan jadi kebiasaan. Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu sebab akan jadi watak. Berhati-hatilah dengan watakmu, sebab akan menentukan nasibmu !

Bangsa Indonesia selama ini mengira, AS adalah pengekspor produk industri terbesar di dunia. Padahal AS sebenarnya, juga salah satu negara pengekspor produk pertanian terbesar di dunia, meskipun di kenal sebagai negara industri. Indonesia meskipun negara agraris, akan tetapi masih impor produk pertanian/makanan. Hal ini bisa jadi karena sejak presiden pertama, Indonesia belum pernah punya presiden yang pro petani, demikian pendapat Jacob, Guru Besar Antropologi Ragawi FK-UGM.

AS lebih beruntung, karena mempunyai dua presiden yang dikenal pro petani. Pertama Presiden Abraham Lincoln. Sedangkan yang kedua Presiden Franklin Delano Roosevelt (FDR). Presiden FDR jika beliau hidup di zaman now, bisa jadi tidak terpilih karena kemana-mana pakai kursi roda ketika kampanye, akibat sakit polio yang dideritanya sejak masih anak-anak.

Beliau sukses mewujudkan janji kampanyenya landreform, sehingga tidak mengherankan beliau merupakan satu-satunya presiden AS yang menjabat sampai tiga kali masa jabatan. Sayangnya, pada masa jabatan ketiga tidak sukses. Rakyat AS sadar, benar pendapat/kearifan Presiden AS yang pertama, George Washington, presiden cukup dua kali masa jabatan saja.

Akhirnya, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu. Tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu”, demikian kata Presiden AS ke-35, John F Kennedy, pada tahun 1961 di hadapan Kongres AS, yang sering dikutip orang. Sebenarnya kata-kata itu terdapat dalam salah satu syair Kahlil Gibran, sang penyair dari Lebanon, yang salah satu syairnya yang terkenal berjudul “Sang Nabi (The Prophet)”. (*) 

Penulis:

Wildan (Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul) dan Nurcholid Umam Kurniawan (Dokter Anak RS PKU Muhammadiyah Bantul) 

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here