Prihatin pada Kesehatan Fisik para Ustadz Muhammadiyah
Oleh: Bambang Wahyu Nugroho
Hari ini, 2 Januari 2020, Prof. Dr. Yunahar Ilyas wafat pada usia 63 tahun. Kepulangan beliau mengingatkan kita pada wafatnya para tokoh dakwah lain. Yang akan saya sorot kali ini adalah wafatnya ustadz Suprapto Ibn Juraimi (2009, 66th) dan Dr. Said Tuhuleley (2015, 62 tahun).
Sebelumnya saya mengingatkan pembaca bahwa tulisan ini akan meninjau dari segi kesehatan di mata seorang awam. Saya bukan dokter atau perawat, saya hanya sesekali menjadi pasien di PKU Muhammadiyah. Jadi para dokter dan ahli kesehatan mohon dapat memberi pencerahan lebih jauh.
Mengapa saya menggarisbawahi ketiga tokoh tersebut? Karena saya melihat adanya ‘triangulasi’ yang berkaitan dengan masalah kesehatan (fisik) ini.
Pertama, ketiganya adalah tokoh dakwah Muhammadiyah yang tak mengenal lelah. Bagi aktivis Muhammadiyah, pasti hapal kisah tentang bagaimana dulu sang pendiri Muhammadiyah, KHA Dahlan, tetap bersikeras untuk keluar rumah berdakwah sekalipun beliau dalam keadaan demam dan sudah diingatkan oleh istrinya, Nyi Walidah. Semangat itu pula yang barangkali membawa takdir beliau wafat pada usia 54 tahun (1923).
Semangat dakwah seperti itu diteruskan oleh para kader Muhammadiyah hingga saat ini, dan tampaknya termasuk semangat untuk “tidak peduli pada kondisi kesehatan fisik” tersebut.
Ustadz Ibn Juraimi suatu kali pernah berpesan kepada para santrinya, (termasuk saya):,
“Jika ummat memerlukanmu dan mereka bersedia menjemput, menyambut baik, mengantar pulang dengan honor dan cinderamata, dan kamu SENANG karena itu, maka janganlah menjadi juru dakwah. Jika ummat memerlukanmu tetapi mereka memintamu datang sendiri dengan biaya sendiri dan mereka tidak menyambutmu dengan baik, bahkan mereka lupa berterima kasih, dan kamu KECEWA karena itu, maka janganlah bersedia menjadi juru dakwah. Jadilah juru dakwah karena engkau ridla kepada Allah.”
Dalam arti “dakwah” yang luas, semangat seperti inilah yang, saya yakini, menjadi “energi kinetik-spiritual “ Muhammadiyah yang membuat persyarikatan ini semakin tua justru semakin mencerahkan dan memberdayakan ummat. Dan ketiga tokoh tersebut sudah memberi bukti berupa bakti mereka sepanjang hayatnya, walau hrs mengorbankan kesehatan fisik mereka.
Kedua, ketiga tokoh tersebut sebelum wafat mengalami penyakit degeneratif. Nah, berkaitan dengan yang pertama, semangat dakwah para kader Muhammadiyah kadang menepikan perhatian mereka pada aspek kesehatan pribadi. Tanpa berniat mengurangi rasa hormat kepada mereka sedikit pun, banyak bukti bahwa para juru dakwah bertumbangan di usia produktif bukan oleh para penentang dakwahnya, atau bukan karena ditentang oleh keluarganya, tetapi justru oleh kebiasaan mereka seperti kurang istirahat, makan-minum yang tidak terkontrol di sepanjang rihlah dakwahnya, dan tidak pernah melakukan check up, dan mungkin juga kurang suka berolah raga. Kalau bukan karena sakit berat mereka tidak beristirahat. Inilah yang bisa menjadi fatal, terlepas bahwa usia manusia itu Allah swt yang menentukan. Dalam konteks ini saya ingin mengingatkan kepada kita semua, khususnya ummat yang mengundang kehadiran mereka. Jangan sampai demi menghormati para ustadz, lantas mereka memberi suguhan-suguhan makan dan minum yang justru dapat mengganggu kesehatan para guru kita tersebut, seperti makanan berlemak, manis, minum es, dan sebagainya.
Sebagian ustadz sudah menyadari resikonya, namun terdorong oleh rasa ingin menghormati tuan rumah, mereka pun tetap menyantap suguhan “berbahaya” itu. Dan akumulasinya, sejumlah ustadz muda pun sekarang sudah terpapar penyakikt degeneratif. Tidak percaya? Ayo kita survai!
Ketiga, mereka bertiga “tinggal serumah” di Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta. Buya Prof Yunahar Ilyas, Bang Said Tuhuleley, dan Ustadz Suprapto Ibn Juraimi adalah tiga di antara banyak ustadz yang mendedikasikan dirinya sebagai pengasuh PP Budi Mulia. Bahkan Prof Yun dan Bang Said, hingga wafatnya bertempat tinggal di sana. Lantas apa hubungannya?
Entah secara kebetulan atau tidak, ketiga tokoh tersebut merupakan “kader penerus” dari Prof Amien Rais di PP Budi Mulia. Namun kini Prof Amien Rais telah ditinggalkan lebih dahulu oleh para kader tersebut. Sekali lagi, terlepas dari maut sebagai qadarullah, Padahal, sama dengan semua juru dakwah Muhammadiyah, Prof Amien Rais hingga saat ini (usia 75 tahun) masih aktif berdakwah. Bahkan di kancah politik bisa dibilang masih se-‘garang’ jaman beliau memimpin reformasi dulu.
Apa rahasianya? Sepanjang yang saya ketahui, prof Amien Rais menjaga kesehatannya dengan membiasakan diri berpuasa Daud, sebagaimana juga dilakukan oleh presiden BJ Habibie Allah yarham. Dengan membiasakan berpuasa, termasuk mengendalikan diri dalam acara-acara dakwah yang mendorong makan banyak dan enak, lantas juga berolahraga, prof Amien Rais bisa tetap dikaruniai kesehatan dan kebugaran. Saya duga prof Amien Rais juga rutin melakukan cek kesehatan pribadinya.
Kesimpulan saya, pertama, para juru dakwah harus menyeimbangkan antara semangat dakwah dengan semangatnya menjaga kesehatan fisiknya sendiri. Kedua, ummat juga harus menyadari bahwa para ustadz harus dijaga kesehatannya. Ketiga, harus ada lembaga yang concern dalam masalah ini. Hemat penulis, Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Muhammadiyah, didukung oleh amal-usaha Muhammadiyah lainnya, harus segera mengagendakan masalah kesehatan para juru dakwah Muhammadiyah. Meteka adalah aset yang sangat berharga. Misalnya dengan menjadwal check up serta konsultasi kesehatan.
Ibarat sedia payung sebelum hujan, cek kesehatan membuat para juru dakwah lebih waspada dan antisipatif terhadap problem kesehatan fisiknya demi kelangsungan dakwahnya tersebut. Hal ini penting sebab mendidik kader dakwah adalah sebuah ikhtiar yang sangat sulit, tapi lebih cepat kehilangan kader dakwah, apalagi sekaliber Prof Yun, Bang Said, dan Ustadz Prapto, jauh lebih sulit untuk segera mendapatkan penggantinya.
Wallahu a’lam.
UMY 20200103
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow